Dengan Nama-Nya Yang Mahatinggi
Salahuddin Yusuf bin
Ayyub bin Syadzi[1]
yang kemudian setelah itu terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi (orang-orang Eropa menyebutnya sebagai Saladin),
merupakan salah seorang adalah salah seorang panglima perang dan jenderal dalam sejarah Islam. Ia banyak
melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas
wilayah-wilayah Islam di hadapan agresi orang-orang Kristen Eropa yang akan
kita bahas bersama pada kesempatan ini.
Najmuddin Ayyub
adalah ayah raja-raja Ayyub yang hidup di Tikrit dan Salahuddin Ayyubi juga
lahir di kota tersebut.[2]
Ia tinggal di kota ini suku Kurdi ini dan keluarga Ayyubi adalah termasuk
sebagai salah satu kaum pada suku Kurdi.[3]
Namun karena dominasi
bangsa Arab pada masa itu sehingga mereka kurang dikenal sebagai suku Kurdi.
Hal ini disebabkan oleh karena pada masa itu bangsa-bangsa selain Arab sebagai
bangsa khusus yang memiliki kekuasaan.
Najmuddin Ayyub hidup
pada masa Imaduddin Zanggi penguasa kota Balbak (Ba’labak,
Libanon Selatan).[4]
Salahuddin semenjak kecil sangat gemar mempelajari strategi dan teknik berperang, khususnya bermain
pedang dan berperang dengan pisau. Pada akhirnya Salahuddin menguasai seni
berperang ini. Kemungkinan besar, Salahuddin telah mengenal fikih Syaf’i semenjak masa kecilnya; mazhab fikih yang
kelak ia usahakan penyebarannya.[5]
Salahuddin tentulah
seorang Sunni fanatik dan bermazhab Syafi’i.
Tatkala berhasil merebut kekuasaan di Mesir, Salahuddin berusaha keras
untuk menyebarkan mazhab ini dan menjadikanya sebagai mazhab resmi menggantikan
mazhab Syiah yang akan kami jelaskan nantinya.[6]
Masuknya
Salahuddin ke Mesir dan Akhir Pemerintahan Bani Fatimiyyah
Orang-orang Kristen
pada awal-awal tahun perang Salib mampu menaklukkan banyak daerah yang didiami
oleh masyarakat Muslim dan penaklukan ini telah banyak memompa semangat mereka
sehingga tertanam keinginan untuk menaklukkan Kairo, ibu kota pemerintahan Bani
Fatimiyyah.
Pasukan besar
orang-orang Kristen bergerak ke arah kota Kairo dan merebut, merampas dan
membunuh orang-orang yang tinggal daerah-daerah yang terdapat dalam lintasan
perjalanan menuju Kairo di antaranya kota besar Belbeis (Mesir).[7]
Pada akhirnya mereka sampai di Kairo dan mengepung kota Kairo. Namun warga kota
Kairo yang merasa takut jangan-jangan Faranggi memperlakukan orang-orang di
Kairo sebagaimana apa mereka lakukan di Bilibis bangkit mengusung perlawanan
membela kota mereka.
Al-‘Adhid yang
merupakan Khalifah Bani Fatimiyyah memerintah di tempat itu meminta bantuan
dari pemerintahan Bani Abbasiyah. Ia meminta kepada pemerintahan Abbasiyah
untuk mengirim bala tentara untuk berperang dengan pasukan orang-orang Kristen.
Al-‘Adhid mengetahui dengan baik bahwa tanpa bantuan, ia tidak memiliki
kekuatan untuk menghadapi orang-orang Barat. Karena itu ia memutuskan supaya
Asaduddin Syirkuh
panglima besar dan paman Salahuddin untuk memimpin pasukannya menuju Kairo.
“Asaduddin dengan
enam ribu bala tentara bergerak menuju Mesir dan sebelum bergerak, ia memenuhi
segala kebutuhan bala tentaranya. Ia memberikan dua puluh Dinar kepada setiap
prajuritnya. Terdapat sekelompok orang juga yang berkhidmat kepadanya dan Salahuddin
Yusuf bin Ayyub bersama ayahnya Ayyub saudara Syirkah ikut serta bersamanya.
Setelah bala tentara tersebut mendekat ke Kairo, Eropa menarik pasukannya dan kembali ke
kotanya. Syirkuh
pada pertengahan tahun tersebut memasuki kota Kairo. Al-‘Adhid Lidinillah
Khalifah Bani Fatimiyyah memberikan penghargaan kepadanya dan
ia dan bala tentaranya ditempatkan pada satu tempat yang khusus.”[8]
Asaduddin setelah
beberapa memasuki Kairo mampu membunuh Perdana Menteri Khalifah, Syawar dibantu oleh para jenderalnya dan sesuai
dengan permintaan al-‘Adhid
sendiri.
Syawar sebelumnya adalah panglima yang berkuasa dan memerintah pada batasan tertentu di Mesir.”[9]
Dengan kematian Syawar,
Asaduddin telah menjadi orang yang sangat penting di Kairo. Praktis, dengan pengaruh ini, Al-‘Adhid
hanya mengemban nama sebagai khalifah saja. Namun setelah menaklukkan Kairo, Asaduddin tidak berumur panjang dan ia
meninggal dunia dua bulan setelah itu.[10]
Setelah Asaduddin,
orang-orang berbeda pendapat tentang siapa yang layak menggantikannya sebagai
panglima, hingga sesuai dengan permintaan Khalifah Bani Fatimiyyah dan sebagian
jenderal, mengangkat Salahuddin Yusuf bin Ayyub sebagai penggantinya dan
demikianlah pemerintahan Salahuddin bermula di Mesir.
Setelah Salahuddin naik takhta, tidak
tersisa bagin Al-‘Adhid kekuasaan kecuali
nama saja sebagai khalifah. Ia sama sekali tidak memiliki peran dalam urusan
pemerintahan hingga ia jatuh sakit dan ditarik dari pemerintahan yang akan kita
bahas pada bagian pemerintahan Bani Fatimiyyah.
Pemerintahan
Bani Fatimiyyah
Pemerintahan Bani
Fatimiyyah dapat disebut sebagai pemerintahan Alawi; sebuah pemerintahan yang memiliki wilayah
kekuasaan yang luas dan masa pemerintahan yang panjang. Pemerintahan Bani Fatimiyyah bermula
semenjak tahun 296 H dan berakhir pada tahun 567. Khalifah Pertama Bani
Fatimiyyah bernama al-Mahdi Billah. Ia adalah Abu Muhammad Ubaidillah bin Ahmad
bin Ismail Ketiga (Tsalits) bin Ahmad bin Ismail Tsalits (Kedua) bin Ismail
A’raj bin Ja’far al-Shadiq As.[11]
Adapun terkait nasab-nasab yang dinukil
bagi penguasa Bani Fatimiyyah yang lain terdapat perbedaan. Namun apa yang
pasti dari perbedaan nasab ini adalah bahwa mereka adalah Alawi dan Ismaili,
sambungan nasabnya hingga Ali.”[12]
Para Khalifah Bani
Fatimiyyah banyak membantu penyebaran Syiah di Mesir yang tentunya bukan
tempatnya di sini untuk membahas masalah itu. Namun demikian kita akan mencukupkan tulisan ini bahwa
Bani Fatimiyyah mengibarkan bendera Syiah dan menyatakan Syiah sebagai mazhab
resmi orang-orang Mesir.
Kejatuhan Bani
Fatimiyyah disebabkan dua hal yang mereka miliki pada akhir-akhir
pemerintahannya:
1. Para
menteri Bani Fatimiyyah memperoleh kekuasaan besar sehingga memperlemah
kekuasaan para khalifah Bani Fatimiyyah.
2. Rapuhnya
fondasi-fondasi pemerintahan; para menteri memperoleh kekuasaan dan mereka saling memperbutkan kekuasaan satu
sama lain. Perebutan kekuasaan internal ini telah melemahkan internal pemerintahan.
Al-‘Adhid,
Khalifah Terakhir Bani Fatimiyyah tidak terlalu panjang berkuasa karena kebanyakan
urusan pemerintahan berada di tangan para menteri. Salah satu menteri yang
paling berpengaruh dan paling berkuasa adalah Syawar yang kemudian terbunuh di tangan Asaduddin
Syirkuh.[13]
Setelah
kematian Syawar,
Asaduddin mengambil alih urusan pemerintahan Mesir. Asaduddin yang bermazhab
Sunni dan merupakan salah
seorang mitra koalisi Khalifah Baghdad, mengambil alih urusan pemerintahan yang
merupakan penyebar Syiah.
Pemerintahan Bani Fatimiyyah memandangnya dirinya sebagai musuh
pemerintahan Baghdad menujukkan
pemerintahan Bani Fatimiyyah berada
alam kondisi yang sangat terjepit. Pengurusan pemerintahan yang berada di tangan Asaduddin
disertai dengan penguasa yang lemah, telah menjadi cikal-bakal runtuhnya
pemerintahan Bani Fatimiyyah.
Setelah
Asaduddin, Salahuddin naik takhta kekuasaan dan memberikan beberapa potong
tanah yang sangat berharga kepada sanak saudaranya yang datang kepadanya. Ia
mempersempit ruang gerak para pendukung Adhid dan ia sendiri yang langsung
mengatur urusan pemerintahan. Setelah beberapa lama, Adhid jatuh sakit dan
akhirnya meninggal dunia, pada tahun 567.
Pada
masa ini, masyarakat menunjukkan sikap acuh-tak-acuh terkait dengan seseorang
yang namanya harus disampaikan pada mimbar-mimbar sebagai khalifah, hingga hari
Jum’at dan seseorang naik ke atas mimbar menyampaikan khutbah dan menyebut nama
al-Mustadhi (Khalifah Abbasiyah) dan tiada seorang pun yang protes atas
penyebutan nama itu. Di Mesir, setelah
itu dan seterusnya, khutbah yang menyebut nama Bani Abbasiyah
disampaikan dan Mesir pada saat itu
lepas dari pemerintahan Bani Fatimiyyah dan Salahuddin Yusuf bin
Ayyub tanpa adanya saingan dan penentang pemerintah
di Mesir.”[14]
Demikianlah
pemerintahan Bani Fatimiyyah berakhir dan Salahuddin Ayyub menjadi penguasa
tanpa penentang.
Salahuddin
Ayyubi dan Orang-orang Syiah
Pemerintahan-pemerintahan
Sunni pada umumnya tidak memiliki hubungan baik dengan orang-orang Syiah.
Umumnya mereka berusaha melenyapkan Syiah yang hidup di sekeliling mereka.
Bahkan pada kebanyakan hal, para penguasa Sunni berlaku baik dan hormat
terhadap pemeluk agama lainnya seperti Yahudi dan Nasrani. Bahkan mereka
memberikan jabatan-jabatan kepada mereka. Namun mereka tidak berlaku seperti
ini terhadap Syiah. Mereka akan memerangi Syiah dalam bentuk yang terburuk.
Atas
hal itu, kita dapat menyebutkan dalil-dalil dan bukti-bukti atas perlakuan ini
yang memerlukan pembahasan lain dan akan kita bahas pada kesempatan yang lain.
Pemerintahan
Dinasti Ayyubi yang puncaknya diduduki oleh
Salahuddin berdasarkan sirah ini, berusaha keras untuk memberantas ajaran Syiah
di Mesir. Usaha ini boleh jadi ditopang oleh selaksa dalil. Dan satu hal yang
pasti dari dalil tersebut adalah dalil-dalil mazhab. Salahuddin Ayyub adalah
seorang pemeluk mazhab Syafi’i
yang sangat fanatik dan tidak kuasa membendung keberadaan kaum minoritas
seperti Syiah. Salahuddin sedemikian memerangi orang-orang Syiah sehingga
seolah-olah menjadi taklif syar’i.
Di
samping itu, ia juga memiliki dalil-dalil politik; karena pemerintahan Bani
Fatimiyyah adalah pemerintahan Syiah dan Salahuddin mengambil alih pemerintahan
dari mereka dan sebagai ikutannya ia menganggap orang-orang Syiah sebagai rival
yang besar kemungkinan suatu hari orang-orang Syiah akan bangkit melawannnya.
Dengan demikian Salahuddin menyatakan perang dan perlawanan melawan Syiah.
Namun
dengan dua dalil, pelbagai peperangan yang terjadi di luar Mesir, ia berusaha untuk tidak banyak mempekerjakan
prajurit di Mesir. Karena itu, ia berusaha menjadikan perang melawan orang-orang Eropa sebagai prioritas
pekerjaannya. Pada kesempatan ini kita akan membahas secara ringkas beberapa
perlawanan dan terkadang sikap tidak ksatria Salahuddin terkait dengan Syiah.
1.
Berperang melawan
ajaran-ajaran dan simbol-simbol mazhab Syiah: Salahuddin mengisolir ulama Syiah
dan merusak sekolah-sekolah mereka atau merubahnya menjadi sekolah-sekolah
Sunni. Ia juga memerintahkan untuk membakar perpustakaan besar Bani Fatimiyyah.
Dan yang paling penting adalah syiar-syiar Syiah harus dihentikan. Di antara syiar tersebut adalah Asyura. Salahudin mengumunmkan hari Asyura
sebagai hari gembira dan berpesta
nasional.
Tindakannya
ini telah menjadi penghalang besar pelaksanaan acara Asyura di Mesir bagi
orang-orang Syiah.[15]
Demikian juga, ungkapan “Hayya ‘ala Khair al-‘Amal” yang merupakan salah
satu syiar mazhab Syiah dihapus dari azan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal
10 Dzulhijjah 565.[16]
2.
Ia menginstruksikan
supaya nama-nama para khalifah rasyidun yang merupakan simbol Ahlisunnah
disebutkan pada setiap khutbah.[17]
3.
Pergantian para hakim
Syiah adalah salah satu tindakan Salahuddin dalam melenyapkan Syiah.[18]
Dengan menempatkan hakim Syafi’i sebagai ganti hakim Syi’ah berusaha supaya
fikih Syiah dihapuskan dan fikih Syafi’i dijalankan di tengah masyarakat Mesir
sehingga masyarakat akrab dengan jenis fikih ini.
4.
Pada sebagian waktu
berujung pada adanya pemberontakan-pemberontakan Syiah di beberapa daerah namun
Shaluhuddin lebih memilih melakukan kegiatan-kegiatan kultural dan ideologikal, namun ia tetap saja melakukan perlawanan
militer melawan Syiah. Menjatuhkan dan mengejar orang-orang Syiah merupakan
salah satu pekerjaan serius para menteri di bawah pemerintahan Salahuddin. Pada
masa Salahuddin menjadi Syiah adalah sebuah tindak pidana dan orang-orang Syiah
akan ditindak secara hukum dan diseret ke hadapan pengadilan yang hakimnya
dipilih oleh Salahuddin hanya karena mereka Syiah.[19]
5.
Mengatur urusan ekonomi dengan melibatkan pihak pemerintah secara aktif: Pada
akhir-akhir pemerintahan Bani Fatimiyyah, kondisi ekonomi masyarakat sangat
susah dan dua ratus ribu Dinar yang harus dibayar oleh rakyat setiap tahunnnya. Namun pada masa Salahuddin, ia memberikan kelonggaran kepada rakyat
untuk membayar sekali saja pajak mereka.[20]
Hal ini dilakukan supaya rakyat akan senantiasa bergantung kepada pemerintahan Salahuddin
dan melupakan pemerintahan Syiah dan pemikiran Syiah.
6.
Mendirikan
sekolah-sekolah Syafi’i: Salahuddin yang berusaha menyebarkan mazhab Syafi’i
mendirikan sekolah Syafi’i di
Mesir dan melalui madrasah ini
kebanyakan alim dan pendakwah Syafi’Ii
akan memasuki kehidupan masyarakat sehingga dapat membantu penyebaran mazhab
Syafi’i di Mesir.[21]
Perang-perang Salib dan Salahuddin
Perang-perang Salib (I, II, III, dan IV) adalah perang yang
dikobarkan oleh kaum Krisetn melawan kaum Muslimin. Perang Salib ini bermula
semenjak tahun 1096 M dan berlanjut hingga dua abad kemudian.[22]
Peperangan ini berkecamuk dalam beberapa tingkatan.
Peristiwa bersejarah ini
dikaji secara detil oleh para sejarawan dan salah satu literatur yang menulis
peperangan ini secara detil adalah buku al-Kâmil fi al-Târikh karya Ibnu Atsir
yang kira-kira bermula semenjak pertengahan jilid 22 hingga pertengahan jilid
24. Buku ini kurang lebih tujuh puluh persen yang berkaitan dengan perang-perang Salib dan Salahuddin.
Pada masa-masa perang ini, Salahuddin
memerintahkan orang-orang kuat di pelbagai kota dan menguatkan fondasi-fondasi
kota-kota supaya orang-orang Eropa tidak
mampu mendekati daerah itu.
Dari sisi lain, pasukan Salahuddin menyerang kota-kota di Suriah (Syam) yang
jatuh di tangan orang-orang Eropa dan
menaklukkannya kemudian menangkap orang-orang
Eropa. Salahuddin
dalam masa kurang dari lima tahun banyak menguasai kota-kota, namun yang lebih
penting dari semua itu adalah
penaklukkan Baitul Muqaddas.
Kota Baitul Muqaddas
merupakan salah satu tempat strategis dan sangat penting dari sudut pandang
keagamaan. Baitul Muqaddas adalah
tempat strategis dan ideologis. Kota ini pada perang Salib I jatuh di tangan orang-orang Kristen dan Salahuddin
mampu mengambil alih kota tersebut dari tangan orang-orang Kristen.
Shalahudin dengan
menaklukkan Baitul Muqaddas dan membebaskannya dari tangan orang-orang Kristen,
mampu membuat namanya terkenal dan
terpatri di seantero penjuru kota Islam.
Kiprah Salahuddin khususnya
dalam peperangan Salib, menjadi sebab ia dikenal dan dihormati di kalangan kaum
Muslimin khususnya Sunni dan kebanyakan ulama dan sejarawan Sunni
menyebutnya namanya dengan harum.
Akan tetapi keterkenalan dan
kiprahnya tidak dapat menjadi dalih bahwa seluruh perbuatannya dapat dibenarkan. Ia juga melakukan tindakan-tindakan yang secara moral dan
syariat tidak benar dan bahkan dapat dipandang sebagai perbuatan tercela. Salah satu dari
perbuatan tercelanya adalah sikapnya terhadap orang-orang Syiah yang telah
disebutkan sebelumnya.
Di samping itu, supaya tidak membiarkan orang-orang Kristen begitu saja tanpa balasan, ia juga melakukan
tindakan serupa. Membunuh dan merampas, banyak menyiksa rakyat sipil sebagaimana yang dilakukan
orang-orang Kristen setelah menaklukkan kota-kota. Ia juga melakukan hal yang
sama setelah menaklukkan kota-kota. Perbuatan-perbuatan ini meski pada masa
tersebut dinilai sebagai perbuatan biasa, namun sekali-kali kita tidak dapat
memandangnya sebagai perbuatan islami.
Pada kesempatan ini, kami
akan mencukupkan dengan menyebutkan beberapa contoh dari perbuatannya:
“…Salahuddin singgah di tepi
pada Nahr al-Aswad.
Di tempat itu ia membunuh dan menjarah harta orang-orang di kota itu.”[23]
“…Salahuddin pergi ke Ra’s al-‘Ain dan mengusir orang-orang di tempat itu. Kemudian ia
membawa lasykar ke
Mardin (sekarang bagian tenggara Turki) dan
ditempat itu ia menjarah dan memunuh orang-orang di tempat itu. “[24]
“…Salahuddin menjarah kota
Tabariyah (Tiberia, Suriah) dan
membakarnya.[25]
Wafat Salahuddin
Pada bulan
Shafar tahun 589, Salahuddin Yusuf bin Ayyub bin Syadzi panglima Mesir, Suriah,
al-Jazirah dan kota-kota lainnya, tutup usia di Damaskus. Ia menjadi penguasa
di Mesir pada tahun 564 H. Ia sakit disebabkan karena ia pergi untuk menemui
jama`ah haji. Ia pulang dan jatuh sakit. Sakitnya sangat keras. Ia bertahan
selama 8 hari dari saat ia jatuh sakit, lalu meninggal dunia.[26]
[iQuest]
[1]. Abdurrahman bin Muhammad bin Khaldun, Ibnu Khaldun ,Kitab
al-‘Ibar wa Diwân al-Mubtadâ wa
al-Khabar fi Târikh al-‘Arab wa al-Barbâr wa man ‘Ashârahum min Dzawi al-Sya’n
al-Akbâr, Riset oleh:
Khalil Syahadat, jil. 1, hal. 316, Dar al-Fikr, Beirut, 1408 H.
[2]. Khairuddin al-Zarkali, al-A’lâm Qâmus Tarâjim li Asyhâr
al-Rijâl wa al-Nisa min al-‘Arab wa al-Musta’ribin wa al-Mustasyriqin, jil.
2, hal. 38, Beirut, Dar al-‘Ilm Beirut, 1989.
[3]. Al-A’lâm, jil,
3, hal. 183.
[4]. Dawud Kazhim Pur, Wadhiyyat-e Syi’ahyân Meshr dar
‘Ashr Shalâhuddin Ayyûbi, hal. 143, Fashlname Tarikh dar Ayine Pazyuhesy,
Tahun Kelima, No. 2, Tabistan, 1387 S.
[5]. Wadhiyyat-e Syi’ahyân Meshr dar ‘Ashr Shalâhuddin Ayyûbi, hal. 143.
[6]. Ibid, hal.
144.
[7]. Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Dimisyqi, Ibnu
Katsir, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 12, hal. 255, Beirut, Dar
al-Fikr, 1407 H/1986 M.
[8]. Târikh Ibnu Khaldun, jil. 5, hal. 330.
[9]. Al-A’lâm, jil.
3, hal. 154.
[10]. Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Târikh
al-Islâm wa Wafâyat al-Masyâhir wa al-A’lâm, Riset oleh Umar Abdul Islam
Tudmari, jil. 39, hal. 196, Beirut, Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1413 H.
[11]. Muhammad bin Ali bin Thabathabai, Ibnu al-Thaqthaqi, al-Fakhri
fi al-Adâb al-Sulthâniyah wa al-Duwal al-Islâmiyah, Riset oleh: Abdul Qadir
Muhammad Mayo, hal. 257, Beirut, Dar al-Qalam al-‘Arabi, 1418 H/1997.
[12]. Wadhiyyat-e Syi’ahyân Meshr dar ‘Ashr Shalâhuddin Ayyûbi, hal. 142.
[13]. Al-Fakhri, hal.
257-258.
[14]. Namun terdapat pendapat lain bahwa tatkala al-A’dhid
sakit namanya telah dihapus dari khutbah-khutbah dan ia wafat setelah
dimakzulkan dari khilafah. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Târikh
Ibnu Khaldun, jil. 4, hal. 105.
[15]. Wadhiyyat-e Syi’ahyân Meshr dar ‘Ashr Shalâhuddin Ayyûbi, hal. 155.
[16]. Ibid, hal.
144.
[17]. Ibid, hal.
145.
[18]. Ibid, hal.
151.
[19]. Al-Bidâyah wa al-Nihâyah, jil. 12, hal. 363.
[20]. Ibid, hal.
146.
[21]. Ibid, hal.
153.
[22]. Hasan Khairi, Târikh Tamaddun Syarq, hal. 51, Majalah
Ma’rifat, Paiiz (Autumn), 72.
[23]. Ibnu Khaldun, Târikh Ibnu Khaldun, penerjemah, Abdul Muhammad Ayati, jil. 4,
hal. 449, Muassasah Muthala’at wa Tahqiqat-e Farhangi, 1363 S.
[24]. Ibid, jil.
4, hal. 285.
[25]. Izzudin Abul Hasan Ali bin Abi al-Karim, Ibnu al-Atsir, al-Kâmil
fi al-Târikh, jil. 29, hal. 78, Beirut, Dar Shadir-Dar Beirut, 1385 H.
[26]. Ibid, jil.12, hal. 96.