Mengapa pada ayat 3 surah al-Insan (76), “Imma syâkirân wa immâ kafûrân” pada kata syakiran yang digunakan adalah subyek atau pelaku (ism fâ’il) sementara dalam masalah kufur yang digunakan adalah sigha mubâlagha?

                                  <div style="text-align: center;"><b><font face="Lucida Sans" size="3">Dengan Nama-Nya Yang Mahatinggi</font></b></div><div style="text-align: center;"><b><font face="Lucida Sans" size="3"><br></font></b></div><div><b><font face="Lucida Sans" size="3">Pengguna Site Tanya Islam  Yang Budiman, </font></b></div><div><p class="MsoNormal" style="text-align:justify;line-height:150%"><span lang="IN" style="line-height: 150%;"><font face="Lucida Sans" size="3">Redaksi kata “<i>syâkir</i>” adalah

subyek atau pelaku (isim fâ’il) akar katanya (derivat) dari “syu-k-r
dan “ka-fû-r” adalah bentuk sigha mubâlagha (bentuk kata hiperbolik yang
digunakan untuk menyatakan berlebih-lebihannya sesuatu atau bermakna amat-sangat)
derivasinya dari “ku-f-r.”

Adapun sehubungan dengan mengapa bagian pertama ayat menggunakan subyek atau pelaku (isim fâ’il) dan bagian kedua ayat menggunakan bentuk kata sigha mubalâgha, para penafsir berpendapat sebagai berikut:

Lantaran jumlah orang-orang yang bersyukur lebih sedikit ketimbang orang-orang yang tidak bersyukur, maka digunakanlah kata subyek atau pelaku untuk mendeskripsikan syukur dan diterapkan sigha mubâlagha untuk mencirikan kekufuran.[1]

Dalam Tafsir Nemune disebutkan, “Mengingat bahwa tiada satu pun tangan dan lisan yang mampu menyampaikan rasa syukur kepada Allah Swt, maka digunakanlah isim fâ’il (subyek/pelaku, syâkir) untuk kata syukur. Sementara sehubungan dengan kekufuran dinyatakan dengan kata kafûr. Kafûr adalah bentuk mubâlaghah; artinya bahwa bentuk kata yang digunakan adalah bentuk kata untuk menyatakan berlebih-lebihannya sesuatu atau bermakna amat-sangat; karena mereka tidak mengindahkan karunia besar ini maka mereka telah melakukan tindakan kekufuran yang amat-sangat;  karena Allah Swt telah memberikan pelbagai media petunjuk kepada mereka dan merupakan puncak kekufuran  apabila manusia tidak mengindahkannya dan memilih jalan yang keliru.[2]

Disebutkan bahwa kata “ka-fu-r” juga digunakan bagi orang-orang yang tidak bersyukur kepada nikmat (kufur nikmat) juga digunakan bagi orang-orang yang ingkar secara ideologis (kufur akidah) sebagaimana yang diungkap oleh Raghib Isfahani dalam Mufradât-nya.[3] [Tanya Islam.Net]

Diadaptasi dari Islam Quest


[1]. Silahkan lihat, Darwisyi Muhyiddin, I’râb al-Qur’ân wa Bayânuhu, jil. 10, hal. 318, Dar al-Irsyad, Suriah, 1415 H.  

[2]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 25, hal. 338, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1374 S.  

[3]. Husain bin Muhammad Raghib Isfahani, al-Mufradât fi Gharîb al-Qur’ân, jil. 714, Dar al-‘Ilm al-Dar al-Syamiyah, Damaskus, 1412 H.

© 2024 Tanya Islam. All Rights Reserved.