Mengapa Rasulullah saw melakukan hijrah sendirian? Paska hijrah Rasulullah saw, mengapa kaum musyrikin tidak membunuh Imam Ali dan anak-anak Rasulullah saw? Dan juga tidak mengusik kaum Muslimin lainnya?

Dengan Nama-Nya Yang Mahatinggi,

Pengguna situs Tanya Islam yang budiman,

Berdasarkan dakwah Rasulullah saw pada musim haji dan pada kesempatan-kesempatan lainnya[1] banyak masyarakat Madinah yang memeluk Islam dan penetrasi Islam di Madinah pun semakin luas.[2] Setelah Islam tersebar di Madinah, kaum Quraisy Mekkah yang mulai mencium dan merasakan adanya bahaya, semakin menekan dan mempersulit kaum Muslimin sedemikian rupa sehingga kaum Muslimin berada dalam kondisi sulit yang tak pernah terjadi sebelumnya.[3]

Dan mengingat dua suku, Aus dan Khazraj, yang bermukim di Madinah dan berperang satu sama lain, Rasulullah saw menyeru dan mengajak mereka kepada Islam dan mengetahui ajaran-ajaran suci agama dan kepribadian beliau. Dengan seruan tersebut, Rasulullah mendapatkan kesempatan emas untuk menyudahi perang dan pertikaian diantara mereka.[4]

Sebagai akibatnya, kaum Muslimin memohon agar dapat hijrah ke Madinah sehingga pada bulan Rabiul Awwal tahun tiga belas bi’tsat (masa ketika hijrah Rasulullah saw terjadi pada bulan tersebut), tak ada yang tersisa dari kaum Muslimin di Mekkah selain Rasulullah saw, Imam Ali, Abu Bakar dan sebagian kecil kaum Muslimin yang ditawan atau sakit dan sudah renta.[5]

Keluarnya kaum Muslimin dari Mekkah telah membuat kaum musyrikin kalang kabut. Karena mereka merasa bahwa komunitas kaum Muslimin kian hari kian bertambah banyak di suatu tempat dan setiap waktu menjadi ancaman serius bagi mereka dan karavan-karavan niaga mereka. Karena itu, mereka memutuskan untuk mencelakai Rasulullah saw yang masih berdiam di Mekkah dengan memilih satu diantara tiga cara:

Pertama, membiarkan beliau sampai hijrah ke Madinah dengan sendirinya. Kedua, memenjarakannya. Ketiga, membunuh beliau saw.

Pada awalnya mereka memutuskan untuk tidak membunuh Rasulullah saw,  namun semata-mata menangkap atau mengeluarkannya dari Mekkah. Tapi tentu saja dua keputusan ini tidak akan dapat memecahkan masalah yang mereka hadapi. Karena kepergian Rasulullah saw dari Mekkah boleh jadi akan menyiapkan kubu Yatsrib (Madinah) untuk memerangi mereka. Sementara itu apabila beliau ditangkap, maka sudah pasti pula akan memprovokasi kaum Muslimin untuk membebaskannya.[6]

Oleh karena itu, mereka pun memutuskan untuk membunuh Rasulullah saw. Para algojo yang disiapkan untuk mengeksekusi keputusan ini pun dipilih mereka yang berasal dari seluruh suku. Hingga pada suatu malam secara berjamaah ‘orang-orang pilihan’ itu pun benar-benar menyerang rumah Rasulullah dan hendak membunuh beliau saw.[7]

Pada saat itulah malaikat pembawa wahyu turun, mengabarkan plot dan konspirasi kaum musyrikin kepada Rasulullah saw sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an, Dan (ingatlah) ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya-upaya untuk menangkap dan memenjarakanmu, membunuhmu, atau mengusirmu (dari Mekkah). Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (Qs. Al-Anfal [8]:30)

Rasulullah saw mendapat tugas dari Allah Swt untuk melakukan hijrah dan bergerak ke kota Madinah. Untuk berhijrah maka harus dilakukan secara diam-diam dan dengan menjalankan prosedur keamanan dan penjagaan sehingga beliau dapat dengan selamat masuk ke kota Madinah. Apalagi bila mengingat kelestarian ajaran Islam yang baru saja didakwahkan pada kondisi seperti ini sangat tergantung pada keterjagaan Rasulullah saw dari segala jenis mara-bahaya.

Atas dasar itu, pada malam itu pun Rasulullah saw menempatkan Ali bin Abi Thalib as di pembaringan beliau sehingga tak seorang pun tahu bahwa Rasulullah saw belum rebah di pembaringannya. Penempatan ini dilakukan supaya Rasulullah saw dapat keluar dari kepungan sebelum diketahui oleh pihak musuh. Rasulullah saw keluar dari kepungan tersebut dan hijrah bersama Abu Bakar ke Madinah.[8]

Apabila Rasulullah saw membawa banyak orang bersamanya untuk hijrah maka boleh jadi pihak musuh mengetahui posisi dimana Rasulullah saw berada dan dapat dengan mudah membunuh Rasulullah di pertengahan jalan menuju Madinah.

Terdapat dua alasan mengapa kaum musyrikin tidak mengusik dan menyakiti keluarga Rasulullah saw paska hijrah.

Adapun mengapa kaum Musyrikin tidak menyakiti kaum Muslimin paska hijrah Rasulullah saw?

Pertama: Kebanyakan kaum Muslimin telah melakukan hijrah terlebih dulu sebelum Rasulullah saw. Karena sejatinya, sebab utama plot pembunuhan Rasulullah saw justru karena hijrah besar-besaran yang dilakukan kaum Muslimin ke Madinah dan tersebarnya Islam di kota tersebut.

Kedua, kaum Muslimin yang berasal dari Mekkah (Quraisy) memiliki sanak saudara dan kerabat di Mekkah. Hubungan kekerabatan inilah, pada kebanyakan urusan, telah menjadi penghalang mereka menggangu dan menyakiti kaum Muslimin. Kaum Musyrikin, karena takut terhadap suku dan kabilah seorang Muslim, mereka menghindar untuk tak mengganggu dan menyakitinya.

Namun demikian, kaum Muslimin yang tetap berdiam di Mekkah paska hijrah Rasulullah saw, tidak selamat dari gangguan dan usikan kaum Musyrikin, sedemikan rupa sehingga banyak harta mereka ditahan dan setelah hijrah mereka jatuh miskin dan tidak memiliki harta benda sama sekali. Bahkan sebagian mereka yang bernama ashab sufha tidak mampu memperoleh tempat tinggal di Madinah sehingga terpaksa berdiam diri dan menetap di masjid.

Dengan demikian, pada kenyataannya dapat dikatakan bahwa kaum Musyrikin paska hijrahnya Rasulullah saw, selagi mampu, mereka tetap mengganggu dan menyakiti kaum Muslimin. [Tanya Islam.Net]

Diadaptasi dari Islam Quest


[1]. Rasul Ja’fariyan, Sireh-ye Rasûl-e Khudâ, hal. 374 – 375, Dalail Ma, Qum, 1382 S.

[2]. Ibnu Sa’ad, Thabaqât al-Kubrâ, jil. 3, hal. 622.

[3]. Thabaqât al-Kubrâ, jil. 5, hal. 225 – 226.

[4]. Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jil. 2, hal. 446 (dengan sedikit tambahan).

[5]. Ja’far Subhani, Farâzhâ-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islâm Saw, hal. 191, Nasyr-e Masy’ar, Tir, 1378.

[6]. Sireh-ye Rasûl-e Khudâ, hal. 405.

[7]. Sirah Ibnu Hisyam, jil. 1, hal. 480 – 482.

[8]. Farâzhâ-ye az Târikh-e Payâmbar-e Islâm Saw, hal. 194-198.

[9]. Mahdi Pisywai, Sire-ye Pisywâyân, hal. 39.

[10]. Al-Sirah al-Halabiyah, jil. 2, hal. 37.

© 2024 Tanya Islam. All Rights Reserved.