Salam. Di masyarakat kita marak dengan praktek perzinahan, baik yang belum menikah maupun yang sudah menikah. Dalam surah an nur ayat 2, disebutkan hukuman bagi pezina. yang ingin saya tanyakan: 1. Bagaimana penerapan hukuman bagi pezina yang belum menikah, apakah ada syarat tertentu utk penerapannya? 2. Bolehkah menikahkan pezina, karena ada juga yang berpendapat tidak boleh menikahkan sampai anak dari hasil perzinahan itu lahir? 3. Apabila ada anak yang lahir dari hasil zina, apa hak2 yang menyertai anak tsb?

Dengan Nama-Nya Yang Mahatinggi

Pengguna Site Tanya Islam Yang Budiman,

Sebelumnya kami memohon maaf atas keterlambatan menjawab pertanyaan Anda. Hal itu disebabkan karena banyaknya pertanyaan yang masuk ke meja redaksi. 

Untuk menjawab pertanyaan Anda, kiranya Anda mencermati beberapa poin di bawah ini:

1.Berzina (berhubungan badan antara lelaki dan wanita tanpa akad syar’i) adalah merupakan salah satu perbuatan dosa besar yang diancam oleh Allah Swt di dalam Al-Qur’an al-Karim dengan siksa neraka bagi pelakunya. Dan ajaran Islam telah memberikan solusi yang baik dan tepat untuk menghindari perbuatan keji dan  munkar tersebut. Di antara solusinya adalah dengan jalan menikah, baik nikah daim ataupun nikah  mut’ah.

2.Apabila pelaku zina itu belum pernah menikah atau tidak mempunyai isteri atau suami, maka dinamakan zina ghairu muhshan. Dan apabila pelakunya sudah menikah atau mempunyai isteri atau suami, maka dinamakan zina muhshan. Baik zina muhshan maupun zina ghairu muhshan mempunyai hukum-hukum tersediri yang dibahas secara mendetil di dalam kitab-kitab fikih.

3.Hukuman atau sanksi  bagi pelaku zina itu harus diterapkan apabila telah memenuhi beberapa syarat tertentu. Dan sudah tentu yang menerapkan atau menjalankan sanksi tersebut adalah Hukumah atau Daulah Islamiyah (pemerintahan Islam). Di antara syaratnya adalah ada empat orang lelaki yang menyaksikan secara jelas (sebagaimana mereka menyaksikan dengan jelas masuknya benang ke lubang jarum) atas perbuatan zina tersebut, atau tiga orang lelaki dan dua orang wanita. Apabila orang-orang yang menyaksikan secara jelas itu kurang dari empat orang, maka hukuman atau sanksinya tidak bisa dilaksanakan. Syarat lainnya adalah si pelaku telah mencapai usia balig dan berakal sehat.

4.Secara singkat bahwa sanksi atas perbuatan zina adalah seratus kali cambukan bagi pelaku zina yang belum menikah dan dirajam hingga mati bagi pelaku zina  yang sudah menikah atau mempunyai isteri atau suami. Dan sekali lagi bahwa sanksi ini tidak bisa dijalankan pada pemerintah  yang konstitusinya tidak berasaskan Islam. Imam Khomeini Ra telah membahas masalah had zina ini di dalam kitabnya yang terkenal Tahrirul Wasilah pada jilid 2 lebih dari sepuluh halaman. Jika Anda ingin mengetahui dan memahami masalah ini secara detil silahkan merujuk kitab tersebut. Karena tidak mungkin kami menjelaskannya secara rinci di tempat yang sangat terbatas ini.

5.Terdapat  perbedaan pendapat mengenai kebolehan melakukan akad nikah dengan seorang wanita yang berzina. Rahbar (Imam Ali Khamene’i Hf) berpendapat bahwa dibolehkan dan sah hukumnya seorang lelaki melakukan akad nikah dengan seorang wanita yang telah melakukan zina, baik wanita itu pada kondisi hamil ataupun tidak. Dan ketika wanita itu pada kondisi hamil, maka tidak perlu menunggu kelahiran anaknya. Baik yang menikahinya itu adalah lelaki yang melakukan zina dengannya ataupun lelaki lainnya. Bahkan seorang lelaki dibolehkan menikah dengan wanita pelacur atau PSK secara da’im atau permanen ketika wanita itu telah betul-betul bertaubat secara nashuh (taubat yang sesungguhnya).

6.Hak-hak anak hasil zina tidak berbeda dengan anak-anak yang lahir secara syar’i. Artinya bahwa anak yang terlahir dari hasil berzina itupun harus mendapatkan nafkah (sandang, pangan, papan dan pendidikan) dari ibu dan ayahnya yang telah berbuat zina. Hanya satu hal saja yang tidak mungkin ia peroleh, yaitu harta warisan ibu dan ayahnya. Dengan kata lain anak hasil berzina tidak bisa memperoleh warisan dari harta ayah dan ibunya yang melakukan zina dan tidak juga dari lelaki yang menikahi ibunya yang kemudian lelaki itu menjadi ayahnya. Jelasnya adalah bahwa sekalipun wanita itu bisa dipanggil sebagai ibunya dan walaupun lelaki itu bisa dipanggil sebagai ayah dan walinya, maka anak itu tidak berhak mendapatkan warisan dari keduanya. [Tanya Islam.Net]

© 2025 Tanya Islam. All Rights Reserved.