Dengan Nama-Nya Yang Mahatinggi
Pengguna Situs Tanya Islam Yang Budiman
Pada ayat 69 surah al-Ahzab disebutkan tentang tuduhan yang dilontarkan Bani Israel kepada Nabi Musa As. Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan dia adalah seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.” Ayat ini memiliki ragam penafsiran. Di antara penafsiran tersebut adalah:
Dengan adanya lima penafsiran yang disebutkan di atas kita tidak dapat menyatakan dengan pasti tentang maksud ayat. Namun yang lebih mendekati pada makna ayat adalah penjelasan satu hukum universal dan menyeluruh; karena Bani Israel senantiasa menyakiti dan menggangu Nabi Musa dari pelbagai sisi. Gangguan yang mereka lakukan kepada Musa yang hampir sama dengan gangguan yang dilancarkan masyarakat Madinah kepada Rasulullah Saw. Gangguan itu seperti menyebarkan tuduhan dan menukil kehohongan serta tudingan keji terhadap istri Rasulullah Saw. (Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Jawaban No. 4523), Pelbagai Celaan terkait dengan Pernikahan Rasulullah Saw dan Zainab (Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Jawaban No. 2685). Menimbulkan Pelbagai Gangguan di Rumah Rasulullah Saw dan Panggilan yang Tidak Sopan kepada Rasulullah Saw, (Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat Tafsir Ayat 2 surah al-Hujurat).
Adapun menyandarkan sihir, magik dan semisalnya atau adanya cacat pada badannya itu pun pada Nabi Musa As, namun hal itu tidak sesuai dengan seruan ayat, “Wahai orang-orang yang beriman” sekaitan dengan Rasulullah Saw, karena orang-orang beriman tidak akan menuding Musa As dan Rasulullah Saw dengan sihir dan kegilaan. Demikian juga, tuduhan adanya cacat pada badan, dengan asumsi terdapat pada diri Musa As, dan Allah Swt melepaskannya dari tuduhan seperti itu, namun tidak ada dokumen sejarah yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw memiliki hal yang sama. Karena itu, kemungkinan bagian kedua dan keempat tidak dapat dibenarkan dalam masalah ini.
Namun dalam hadis-hadis disebutkan tentang inti terjadinya peristiwa ini. Artinya bahwa hadis-hadis tersebut menukil ihwal telanjangnya Nabi Musa As. Seperti Tafsir (Ali bin Ibrahim) yang menukil dari Imam Shadiq As, “Bani Israel menyebarkan rumor bahwa terdapat cacat pada badan Musa. Karena setiap kali Musa ingin mandi maka ia akan pergi ke suatu tempat yang tersembunyi dan tiada seorang pun yang melihatnya. Suatu hari Musa terpaksa harus mandi di tepi sungai dan meletakkan bajunya di atas batu. Allah Swt memerintahkan pada batu tersebut untuk menjauh dan tatkala Musa mengejar batu itu, Bani Israel melihatnya dan menjadi tahu bahwa tuduhan mereka tentang Musa As sama sekali tidak benar. Kemudian Allah Swt mewahyukan ayat ini, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan dia adalah seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.”[3]
Hadis ini juga disebutkan pada literatur-literatur lainnya.[4] Bagaimanapun, dari ayat ini dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila seseorang memiliki kedudukan dan maqam di sisi Allah Swt maka Allah Swt akan membelanya di hadapan orang-orang yang mengganggunya dan menyandarkan tuduhan-tuduhan keji. Hendaknya kalian menjadi hamba yang suci dan menjaga kedudukan kalian di sisi Allah Swt maka Dia juga akan memperlihatkan kesucian dan kedudukan kalian pada waktunya. Meski orang-orang jahat berupaya semaksimal mungkin melemparkan tuduhan kepada kalian.[5]
Dengan demikian, karena maksud ayat di atas telah menjadi jelas maka kiranya kita perlu membahas tidak sesuainya kejadian ini dengan maqam kenabian.
Ulama Syiah berkata bahwa para nabi dan imam harus terjauhkan dari segala jenis cacat, cela, aib, pelbagai perilaku dan gerakan yang dapat menimbulkan kebencian umat. Karena itu, para ulama memandang kemaksuman para nabi dan imam sebagai sebuah kemestian sehingga tidak menciderai kepercayaan umat kepada mereka.
Allamah Thabarsi, penyusun buku Tafsir Majma al-Bayan, sehubungan dengan tersingkapnya aurat Nabi Musa As, menyampaikan bahwa Abu Hurairah menjelaskan riwayat ini dan menyandarkan hal tersebut kepada Nabi Musa. Namun sekelompok ulama menolak riwayat ini dan memandangnya tidak boleh karena tersingkapnya aurat seorang nabi Allah Swt di hadapan orang-orang akan menyebabkan kebencian mereka terhadap nabi tersebut…[6]
Dalam hal ini harus ditegaskan bahwa pertama, tersingkapnya aurat bertentangan dengan kemaksuman tatkala perbuatan itu dilakukan dengan suka rela dan dengan ikhtiar. Sementara peristiwa ini terjadi di luar kehendak Nabi Musa. Kedua, tersingkapnya aurat Nabi Musa As terjadi ketika orang-orang memandangnya memiliki aib dan cela sehingga dengan peristiwa ini pandangan orang-orang berubah.
Karena itu, tersingkapnya aurat tidak sesuai dengan konsep kemaksuman dan kenabian tatkala menimbulkan kebencian orang-orang. Sementara peristiwa tersingkapnya aurat Nabi Musa justru dimaksudkan untuk menghilangkan kebencian ini.
Dari apa yang diuraikan di atas menjadi jelas bahwa apabila kita meninjau asumsi penafsiran tersingkapnya aurat Nabi Musa As pada ayat tersebut maka tetap saja tidak akan menimbulkan masalah dan sejatinya hal ini tidak bertentangan dengan maqam kenabian dan kemaksuman Nabi Musa As. [Situs Tanya Islam.Net]
diadaptasi dari Islam Quest
[1]. Sekelompok penerjemah, terjemahan Persia Majma al-Bayân fi Tafsir al-Qur’an, jil. 20, hal. 186, Nasyr Farahani, Teheran, Cetakan Pertama, 1360 S.
[2]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 17, hal. 444, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S.
[3]. Silahkan lihat, Tafsir al-Qummi, jil. 2, hal. 197, Dar al-Kitab, Cetakan Keempat, Riset oleh: Sayid Thayyib Musawi Jazairi, Qum, 1367 S. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 13, hal. 9, Muassasah al-Wafa Beirut, 1404 H.
[4]. Nasir bin Muhammad bin Ahmad Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, jil. 3, hal. 76, Software Jami’ al-Tafasir, Markaz Tahqiqat-e Nur.
قال الفقيه أبو الليث رحمه اللّه: أخبرني الثقة، بإسناده عن همام بن منبه، عن أبي هريرة، عن النبي صلّى اللّه عليه و سلم أنه قال: «كانت بنو إسرائيل يغتسلون عراة، ينظر بعضهم إلى سوأة بعض، و كان موسى- عليه السّلام- يغتسل وحده. فقال بعضهم: و اللّه ما يمنع موسى أن يغتسل معنا إلّا أنّه آدر. فذهب موسى مرّة يغتسل. فوضع ثوبه على حجر. ففرّ الحجر بثوبه. فخرج موسى بأثره يقول: حجر ثوبي، حجر ثوبي حتّى نظرت بنو إسرائيل إلى سوأة موسى. فقالوا: و اللّه ما بموسى من بأس. فقام الحجر و أخذ ثوبه، فطفق بالحجر ضربا»
[5]. Tafsir Nemune, jil. 17, hal. 446.
[6]. Fadhl bin Hasan Thabarsi, Majma’ al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, Riset dan Pendahuluan, Muhammad Jawad Balagh, jil. 8, hal. 58, Nasir Khusruw, Teheran, Cetakan Ketiga, 1372 S.