Tolong jelaskan tentang penafsiran ayat 9 surah al-Jin?

Dengan Nama-Nya Yang Mahatinggi

Pengguna Site Tanya Islam Yang Budiman, 

Ayat 9 surah al-Jin (72) menukil perkataan kaum Jin menjelaskan, “Dan  sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengarkan (berita-beritanya). Tetapi barang siapa sekarang yang (mencoba) mendengarkan (seperti itu), tentu ia akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya).”[1]

Sebelum menjelaskan tafsiran ayat ini kiranya kita perlu mengetahui beberapa kata kunci sebagai berikut:

Pertama: Istiraq al-sam’a. Istiraq berasal dari kata dasar “sa-r-qat” yang bermakna mencuri.[2] Sarqat bermakna tindakan mengambil secara diam-diam harta seseorang dan pemilik harta tersebut tidak mengetahui bahwa hartanya telah dibawa kabur. Adapun istiraq al-sam’a bermakna mencuri perkataan; artinya tatkala dua orang berbicara secara perlahan supaya tiada orang lain yang mengetahuinya, seseorang mendengarkan secara diam-diam omongan keduanya dan perbuatan ini termasuk sebagai perbuatan dosa besar.”[3]

Kedua: Syahab yang secara leksikal bermakna percikan api yang menjulur.”[4]

Ketiga: Rashad. Rashad secara leksikal bermakna bersiap untuk berjaga-jaga pada jebakan dan penjebak.[5]

Kandungan ayat ini disebutkan pada dua surah lainnya dalam al-Qur’an:

Pertama: Surah al-Shaffat, “Kecuali barang siapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan) dalam sekejap; lalu ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang.”[6]

Kedua: Surah al-Hijr, “Kecuali setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat), lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.”[7]

Sehubungan dengan ayat pada surah al-Jin dan demikian juga dua ayat lainnya, para ahli tafsir berbeda-beda menafsirkan ayat-ayat ini. Di antara penafsiran tersebut adalah sebagai berikut:

Ia mengakui bahwa ia tidak dapat memahami hakikat-hakikat ini. Katanya, “Setan dan bagaimana ia mendengarkan diam-diam dan apa yang didengarkan oleh setan? Merupakan urusan gaib Ilahi yang tidak dapat ditelusuri pada nash-nash dan membahas masalah tersebut tidak akan membuahkan hasil. Karena hal tersebut tidak akan menambah apa pun pada keyakinan-keyakinan kita selain menyibukkan pikiran manusia dengan sebuah masalah yang sama sekali tidak bersangkutan dengannya secara khusus dan menahannya untuk melakukan amalan hakikinya dalam kehidupan ini dan tidak ada hasilnya.”[8]

Ayatullah Makarim Syirazi, penyusun Tasfir Nemune (Tafsir al-Amtsal), dalam menyanggah tafsiran ini berkata, “Tentu saja kita tidak boleh ragu bahwa al-Qur’an merupakan sebuah kitab besar pencetak manusia, kitab pendidik dan kitab kehidupan. Apabila terdapat sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan manusia tentu saja tidak akan disampaikan dalam al-Qur’an. Seluruh yang terkandung dalam al-Qur’an adalah pelajaran kehidupan, karena al-Qur’an adalah cahaya dan kitab yang nyata yang diturunkan untuk dipahami dan direnungi serta dijadikan petunjuk bagi manusia. Lantas bagaimana mungkin memahami ayat ini tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan kita? Bagaimanapun kita harus bersikap seperti ini dalam menghadapi ayat-ayat seperti ini dan semisalnya.”[9]

Alusi dalam Ruh al-Ma’âni setelah menyebutkan tafsiran lahir, melontarkan kritikan dengan memperhatikan astronomi kuno, ihwal langit-langit yang berlapis-lapis laksana bawang dan semisalnya, menjelaskan hal ini dan menjawabnya. Untuk memperoleh pelbagai penjelasan yang disampaikan oleh Alusi, kami persilahkan Anda untuk merujuk pada Ruh al-Ma’âni karya Alusi.[11]

Walhasil, dari sekumpulan ayat yang berkaitan dengan peristiwa ini dapat disimpulkan bahwa para jin berbenturan dengan sebuah peristiwa langit, sebuah peristiwa baru yang terjadi bersamaan dengan turunnya al-Qur’an dan pengutusan Nabi Pamungkas Saw, dan hal itu bahwa seiring dengan pengutusan Rasulullah Muhammad Saw, para jin kemudian dilarang untuk menyampaikan berita-berita gaib langit dan mendengarkan diam-diam untuk memperoleh berita tersebut.[12]

Allamah Thabathabai pada tempat lain berkata, “Apa yang mungkin dapat disampaikan di sini adalah bahwa penjelasan-penjelasan seperti ini pada kalam Ilahi merupakan sebuah permisalan untuk menjelaskan realitas-realitas non-empirik dalam busana empirik, sebagaimana Allah Swt berfirman, “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (Qs. Al-Ankabut [29]:43) dan ungkapan-ungkapan serupa seperti ini banyak dijumpai dalam al-Qur’an seperti arsy, kursi, lauh dan kitab.

Dengan demikian, kita dapat simpulkan bahwa yang dimaksud dengan langit yang menjadi tempat kedudukan para malaikat adalah sebuah alam malakuti dan metafisika yang lebih tinggi dan unggul dari alam nasut dan fisika ini. Adapun yang dimaksud dengan mendekatnya setan-setan ke langit ini untuk mendengarkan diam-diam dan pelontaran anak panah-anak panah kepada mereka karena mereka ingin mendekat pada dunia para malaikat untuk mencari tahu rahasia-rahasia penciptaan dan berita tentang pelbagai peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang, namun mereka menolak para setan dengan cahaya-cahaya malakuti yang mereka miliki yang tidak kuasa ditahan oleh para setan.[13]

Apa yang telah disampaikan di atas adalah beberapa penafsiran yang berbeda dan nampaknya merupakan penafsiran dan pendapat yang masyhur dalam penafsiran ayat ini dan ayat-ayat yang semisal dengannya. [Tanya Islam.Net]

 Diadaptasi dari Islam Quest


[1]. (Qs. Al-Jin [72]:9)

«وَ أَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْها مَقاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَنْ يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهاباً رَصَداً»

[2]. Lisân al-‘Arab, jil. 10, hal. 156.  

[3]. Sayid Abdul Husain Thayyib, Athyâb al-Qur’ân, jil. 8, hal. 20, Intisyarat Islam, Cetakan Kedua, Teheran, 1378 S.   

[4]. Raghib Isfahani, Mufradât fi Gharib al-Qur’ân, jil. 1, hal. 465. 

[5]. Qâmus Qur’ân, jil. 3, hal. 101.  

[6]. (Qs. Al-Shaffat [37]:10)

“إِلاَّ مَنْ خَطِفَ الْخَطْفَةَ فَأَتْبَعَهُ شِهابٌ ثاقِبٌ”.

[7]. (Qs. Al-Hijr [15]:18)

“إِلاَّ مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَأَتْبَعَهُ شِهابٌ مُبينٌ”.

[8]. Sayid bin Quthb Syadzali, Tafsir fi Zhilâl al-Qur’ân, jil. 4, hal. 213,  Nasyir Dar al-Syuruq, Cetakan Ketujuh Belas, Beirut, 1412.

[9]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 11, hal. 43, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Pertama, Teheran, 1374.  

[10]. Ibid.  

[11].  Sayid Mahmud Alusi, Ruh al-Ma’âni, jil. 7, hal. 270, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Pertama, Beirut, 1415 H.

[12].  Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân, jil. 20, hal. 64.

[13]. Ibid, jil. 17, hal. 186-187.  

© 2025 Tanya Islam. All Rights Reserved.