<div style="text-align: center;"><b><font face="Lucida Sans" size="3">Dengan Nama-Nya Yang Mahatinggi</font></b></div><div style="text-align: center;"><font face="Lucida Sans" size="3"><br></font></div><div><font face="Lucida Sans" size="3"><br></font></div><div><b><font face="Lucida Sans" size="3">Pengguna Site Tanya Islam Yang Budiman, </font></b></div><div><font face="Lucida Sans" size="3"><br></font></div><div><p class="MsoNormal" dir="LTR" style="text-align:justify;line-height:150%"><span lang="IN"><font face="Lucida Sans" size="3">Allah Swt adalah Eksisten Mutlak dan Kesempurnaan Mutlak
yang sama sekali tidak memiliki aib dan cela pada diri-Nya. Tiada yang serupa
dengan-Nya. Mahakuasa dalam melaksanakan segala sesuatu. Dia Mahamengetahui
atas segala sesuatu, pada setiap kondisi dan waktu. Mahamendengar dan
Mahamelihat. Dia Mahaberkehendak dan berkuasa. Mahahidup dan Mahapencipta segala
sesuatu. Sumber segala kebaikan. Dia mencintai seluruh eksisten (makhluk) dan
mahakasih terhadap mereka.
Konsepsi redaksi Tuhan merupakan konsepsi yang paling umum dan sederhana yang dapat dicerap dan dipahami oleh setiap manusia bahkan bagi orang-orang yang mengingkari keberadaan Tuhan sekalipun.
Kendati mengenal kedalaman dan hakikat Zat Allah Swt tidak mungkin bagi manusia namun terdapat banyak jalan yang dapat dilalui untuk mencapai keyakinan terhadap keberadaan Allah Swt. Jalan-jalan mengenal Tuhan, dalam satu klasifikasi universal dapat dibagi menjadi beberapa bagian:
Jalan termudah dan terbaik dalam mengenal dan menetapkan Tuhan adalah argumen fitrah (mengenal Tuhan melalui hati) dimana manusia dengan merujuk kembali kepada dirinya, ia tidak lagi memerlukan segala jenis penaralan rasional atau dengan jalan empiris menyaksikan Tuhannya, melainkan dengan melalui jalan hati ia dapat sampai kepada Tuhan.
Adapun menetapkan sifat-sifat seperti suci, terbebaskan, lebih besar dan selainnya bagi Tuhan dapat dijelaskan dengan cara bahwa Wâjib al-Wujud memiliki sifat-sifat yang dalam sebuah klasifikasi dapat dibagi menjadi dua yaitu sifat salbiyah (negatif) yang bermakna sifat-sifat yang menunjukkan adanya kekurangan yang tentu saja tidak berlaku bagi Tuhan. Dan sifat tsubutiyah (positif) yaitu sifat-sifat yang tetap bagi Tuhan dan Tuhan harus memiliki sifat-sifat tersebut.
Untuk menetapkan sifat tsubutiyah seperti lebih besar dan lain sebagainya kita nyatakan bahwa sebagaimana penjelasan dalam menetapkan Wâjib al-Wujud bahwa Wâjib al-Wujud tidak membutuhkan sebab dan di antara beberapa kemestian ketidakbutuhan terhadap sebab ini adalah keazalian dan keabadian. Artinya bahwa karena Tuhan tidak membutuhkan sebab maka Dia senantiasa ada dan akan senantiasa ada. Dan karena Dia merupakan sebab bagi seluruh sebab, maka tentu saja Dia lebih besar dari segalanya dan memiliki segala kesempurnaan yang dimiliki oleh seluruh akibat. Dan lainnya apa pun yang dimilikinya adalah bersumber dari-Nya. Karena itu, Tuhan lebih unggul dan lebih besar dari segalanya.
Menetapkan sifat salbiyah juga dapat dilakukan dengan menafikan sesuatu bagi Tuhan yang salah satu kemestian Wajib al-Wujud adalah simplesitas. Artinya bahwa Wâjib al-Wujud ini tidak memiliki rangkapan dan juga tidak memiliki bagian-bagian karena setiap entitas rangkapan memiliki cela dan tidak dapat menjadi Wajib karena ia memerlukan bagian-bagiannya.
Oleh itu, Tuhan tidak memiliki rangkapan dan terbebas (munazzah) dari segala jenis tipologi benda dan rangkapan. Maka terbebasnya Tuhan bermakna bahwa segala jenis cela dan kekurangan ternafikan dan ternegasikan dari Tuhan.
Secara umum segala jenis pahaman yang menunjukkan adanya cela dan keterbatasan serta kebutuhan akan ternafikan dari Tuhan dan demikianlah makna sifat salbiyah.[1]
Kesimpulannya bahwa dalil-dalil dan argumen-argumen yang menetapkan keberadaan Tuhan adalah dalil-dalil yang menetapkan kesempurnaan Tuhan dan menafikan segala jenis kekurangan dan cela dari-Nya dan memandangnya terbebas dari segala jenis kekurangan dan cela seperti ini. [Tanya Islam.Net]
Diadaptasi dari Islam Quest
[1]. Âmuzesy ‘Aqâid (Iman Semesta), Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, hal.
66.