Bagaimana tafsir mufradat dan surah al Ar”af ayat 164-166?

Ayat-ayat 164 hingga 166 surah al-A’raf (7) berkaitan dengan Bani Israel yang hidup pada masa Nabi Daud As. Populasi mereka kurang lebih dua belas ribu jiwa. Mereka diperintahkan untuk pergi mencari ikan pada hari Jumat dan menghindar dari kegiatan bernelayan pada hari Sabtu.
Dalam kaitannya dengan hukum Ilahi ini, mereka terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang menolak menjalankan perintah Ilahi ini. Kelompok kedua berusaha memberikan nasihat kepada mereka dan kelompok ketiga tidak peduli dan bersikap acuh tak acuh dengan perintah ini.
Mereka yang membangkang perintah mencari ikan pada hari Sabtu ini bersama mereka yang tidak peduli mendapatkan azab Ilahi. Adapun yang berusaha menasihati mereka (kelompok pertama) memperoleh keselamatan.
 
Ayat-ayat 164 hingga 166 surah al-A’raf berkaitan dengan Bani Israel yang tinggal di tepi laut Eilat. Sebagian berpandangan bahwa mereka adalah orang-orang yang hidup di Madyan dan sebagian lainnya berpendapat bahwa mereka adalah orang-orang Tiberias.[1] Peristiwa ini terjadi pada masa Nabi Daud As.
Disebutkan bahwa Bani Israel diperintahkan untuk pergi mencari ikan pada hari Jumat dan dilarang untuk bernelayan pada hari Sabtu. Bani Israel diminta untuk menghormati hari Sabtu ini. Namun pada hari Sabtu, ikan-ikan putih dan besar sedemikian banyak bermunculan sehingga memenuhi permukaan laut. Beberapa lama mereka menahan diri untuk tidak menangkap ikan-ikan itu hingga setan dating menggoda mereka dan berkata bahwa mereka harus pergi menangkap ikan pada hari Sabtu. Buatlah kolam-kolam kecil dan pukat-pukat lalu tangkaplah ikan di dalamnya. Setelah itu pergilah mengambil ikan-ikan itu pada hari Minggu.   Mereka pergi menangkap ikan, melemparkan pukat dengan maksud supaya ikan terjaring dalam pukat itu sehingga pada hari Minggu mereka dapat mengambil ikan itu kemudian menyantapnya.  Orang-orang pun menyalahkan apa yang dilakukannya namun karena melihat tidak ada azab yang menimpanya, mereka juga turut melakukan hal yang sama.
Populasi mereka kurang lebih dua belas ribu jiwa dan terbagi menjadi tiga bagian. Kelompok yang memberikan nasihat kepada mereka memisahkan diri. Pada hari lainnya mereka tidak menyaksikan ada orang yang keluar rumah. Tatkala membuka pintu mereka berhadapan dengan sekawanan kera yang menangis.
“Apakah kami tidak melarang kalian?” Tanya mereka.
“Anak mudanya menjadi kera dan orang-orang tua telah berubah menjadi babi.” Jawabnya  sembari memberi isyarat dengan kepala mereka.[2]
Dengan penjelasan ini kini tiba saatnya untuk mengkaji ayat-ayat ini:
1. «وَ اِذْ قالَتْ اُمَّهٌ مِنْهُمْ لِمَ تَعِظُونَ قَوْماً اللَّهُ مُهْلِکُهُمْ اَوْ مُعَذِّبُهُمْ عَذاباً شَدِیداً قالُوا مَعْذِرَهً اِلى‏ رَبِّکُمْ وَ لَعَلَّهُمْ یَتَّقُونَ»
“Dan (ingatlah) ketika segolongan umat di antara mereka berkata (kepada segolongan yang lain), “Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?” Mereka menjawab, “Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka (menerima kebenaran dan) bertakwa.” (Qs. Al-A’raf [7]:164)
Ummah «امّت»  berwasan fi’lah«فعله»   berasal dari klausul umm «امّ»Umm «امّ» bermakna perhatian dan maksud dan ummah bermakna mendapat perhatian, dari manapun dan ditujukan kepada orang-orang yang memperoleh perhatian.
Wa’zhah «وعظه»  dan wa’azh «وعظ»  serta mauizhah «موعظه» adalah memberikan petunjuk dan membimbing ke jalan benar dengan perantara peringatan dan warning yang sesuai disertai dengan takhwif, berita gembira dan nasihat dalam ucapan.
Ma’zhirat «معذرت» dan uzhr «عذر» adalah ungkapan untuk memperbaiki kesalahan dan perbuatan keliru yang dilakukan. Entah dalam ucapan atau dalam tindakan, pada pikiran atau perbuatan. Maksud dari kesalahan di sini adalah memandang enteng perbuatan amar makruf dan nahi mungkar atas tugas-tugas pada hari Sabtu dan lain sebagianya.[3]
Ayat ini menerangkan obrolang antara orang-orang yang diam dan orang-oragn yang memberi nasihat. Mereka berkata kepada orang-orang yang memberi nasihat bahwa kelompok yang pergi menangkap ikan ini telah melanggar kehormatan hari Sabtu, Tuhan kami, entah Engkau binasakan mereka semuanya atau timpakanlah azab pedih kepada mereka; karena itu mengapa mereka memberikan nasihat? Dengan kata lain, azab Ilahi pasti akan menimpa mereka dan nasihat tidak ada lagi gunanya.”
Mereka menjawab, “Perbuatan ini memiliki dua sebab; pertama mereka punya dalih di hadapan Tuhan atas tugas yang seharusnya mereka lakukan. Kata mereka, “Tuhan kami! Kami telah menunaikan tugas kami (memberikan nasihat). Kami menentang apa yang mereka lakukan. Kedua, dengan memberikan nasihat kepada mereka boleh jadi mereka urung melakukan pelanggaran karena tindakan berputus asa itu adalah perbuatan setan. Frase “kepada Tuhanmu” sebagai ganti “kepada Tuhan kami” menunjukkan bahwa kalian juga memiliki tugas.[4]
 
. 2 «فَلَمَّا نَسُوا ما ذُکِّرُوا بِهِ اَنْجَیْنَا الَّذِینَ یَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَ اَخَذْنَا الَّذِینَ ظَلَمُوا بِعَذابٍ بَئِیسٍ بِما کانُوا یَفْسُقُونَ»
Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. (Qs al-A’raf [7]:165)
Nisyan «نسیان» bermakna lalai dan lupa dari apa yang sebelumnya diingat.
Tadzakkur «تذکّر»  berarti mengingatkan sebagai lawan kata ghaflah dan lupa.
Bais «بئیس» dan ba’sa «باساء» keduanya merupakan sifat dari kata «باس» yang bermakna syiddah«شدّت»  keras dan pedih.[5]
Yang dimaksud melupakan apa yang diperingatkan adalah tiadanya pengaruh dalam hati-hati mereka dan pengabaian mereka terhadap firman Allah dan nasihat-nasihat orang lain; artinya sedemikian mereka abai sehingga seolah mereka lupa meski sekiranya mereka mengingat peringatan-peringatan itu; lantaran azab Ilahi turun disebabkan adanya pengabaian terhadap peritah-perintah dan berpaling dari peringatan-peringatan para nabi-Nya, kalau tidak demikian maksud melupakan, maka hukuman tidak ada maknnya; karena lupa itu sendiri sesuai dengan kondisi naturalnya merupakan penghalang teraktualkannya taklif dan turunnya azab.
Ayat ini berkata orang-orang selamat dari kalangan mereka adalah orang-orang yang melarang mereka untuk melakukan perbuatan mungkar (nahi mungkar), dan Allah Swt mengazab selain mereka yaitu orang-orang yang pergi menangkap ikan pada hari Sabtu dan orang-orang yang diam dan memprotes pada kelompok pertama mengapa kalian memberikan nasihat kepada mereka.
Demikian juga ayat menunjukkan bahwa Allah Swt mengelompokkan mereka sebagai orang yang zalim dan fasik karena diam mereka dan membiarkan begitu saja orang-orang pergi menangkap ikan.
Di samping itu, ayat ini menunjukkan satu sunnah umum Ilahi –tidak terkhusus pada Bani Israel – dan sunnah itu adalah akibat yang menimpa bagi orang yang tidak mencegah kejahatan para penjahat dan tidak memberikan nasihat kepada mereka sementara memiliki kemampuan, serta tidak memutuskan hubungan dengan mereka apabila tidak memungkinkan untuk memberikan nasihat, mereka semua digolongkan sama dalam perbuatan zalim. Azab yang turun dari sisi Allah Swt yang menimpa orang-orang yang berbuat kemungkaran juga menimpa orang-orang yang bersama mereka melakukan perbuatan zalim.[6]
Bagaimanapun tatkala mereka membangkang dan tidak mengindahkan peringatan-peringatan yang mengajak mereka kepada kebaikan, Allah Swt menurunkan azab pedih akibat perbuatan fasik mereka. Yang memperoleh keselamatan adalah orang-orang yang melakukan nahi mungkar sementara dua kelompok lainnya menerima azab Ilahi. Yaitu mereka yang pergi menangkap ikan pada hari Sabtu dan mereka yang tidak pergi menangkap ikan namun bersikap acuh tak acuh dan tidak menunaikan tugas mereka melakukan nahi mungkar.[7]
 
  1. «فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ ما نُهُوا عَنْهُ قُلْنا لَهُمْ کُونُوا قِرَدَهً خاسِئِینَ»
Tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, “Jadilah kamu kera yang terusir.” (Qs. Al-A’raf [7]:166)
«عتوّ» Bermakna melanggar batasan dalam perbuatan buruk dan tercela. Kata ini adalah bentuk hiperbola (yang berarti sangat getol) dalam melakukan perbuatan buruk dan berkukuh dalam keburukan. «قرده» adalah bentuk jamak dari «قرد» yang bermakna kera. Asal kata ini bersumber dari bahasa Suryani قردا kemudian diserap menjadi bahasa Arab.
Orang-orang Yahudi dari sisi sifat batin (tamak, tipu, keterikatan erat pada materi [dunia]) mirip kera dan karena mereka berkukuh pada sifat-sifat ini sehingga karakter kera melekat dalam diri mereka dan hakikat maskh (perubahan bentuk menjadi hewan jejadian) menimpa mereka.
«خسا» bermakna terusir dengan hina.[8]
Dalam ayat ini, Allah Swt mengabarkan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa karena sekelompok orang-orang Israel membangkang perintah Allah Swt dan apa yang dilarang untuk tidak pergi menangkap ikan di hari Sabtu mendapatkan kemurkaan Allah dan Kami katakan kepada mereka “Jadilah kera  yang terusir” dan Kami jadikan mereka kera sementara mereka adalah orang-orang yang telah jauh dari rahmat Allah Swt.
Diriwayatkan bahwa mereka yang telah menjadi kera tidak lebih dari tiga hari dapat bertahan hidup dan setelah tiga hari semuanya mati.[9]
«مسخ» atau dengan kata lain perubahan bentuk manusia menjadi hewan tentu saja berseberangan dengan proses natural dan proses ini terkadang terjadi dalam bentuk mukjizat para nabi dan suatu waktu dalam bentuk perbuatan adi kodrati yang dilakukan oleh sebagian orang. Apa yang ada, meski ia bukan seorang nabi, yang tentu saja berbeda dengan mukjizat, karena itu dengan menerima kemungkinan terjadinya mukjizat dan perbuatan adi kodrati maka tentu saja tidak ada halangan apabila terjadi perubahan dan maskh yang menimpa sebagian manusia.
Terjadinya tindakan adikodrati seperti ini bukanlah pengecualian dalam hukum kausalitas. Juga tidak bertentangan dengan akal melainkan hanyalah sebuah proses natural. Karena itu, tidak ada halangan kita menerima makna yang tersurat dari kata maskh dalam ayat ini dan sebagian ayat lainnya. Kebanyakan ahli tafsir juga menerima makna maskh ini.
Namun sebagian ahli tafsir berpandangan bahwa maskh bermakna maskh secara intrinsik dan perubahan sifat moral. Artinya bahwa sifat-sifat laksana kera atau babi terdapat dalam diri manusia sehingga muncul sifat pembangkang dan pemberontak, taklid buta dan menaruh perhatian lebih pada syahwat dan perut (rakus) yang merupakan salah satu sifat nyata dari kedua hewan ini.[10] 
 

[1] Thabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma’ al-Bayān fi Tafsir al-Qur’ān, Pendahuluan oleh Balaghi Muhammad Jawad, jil. 4, hal. 756, Tehran, Nasir Khusruw, Cetakan Ketiga, 1372 S.
[2] Ibid, hal. 759.
[3] Mustafawi, Hasan, Tafsir Rausyan, jil. 9, hal. 196, Tehran, Markaz Nasyr Kitab, Cetakan Pertama, 1380 S.
[4] Qarasyi, Sayid Ali Akbar, Tafsir Ahsan al-Hadits, jil. 4, hal. 30, Tehran, Bunyad Bi’tsat, Cetakan Ketiga, 1377 S.
[5] Tafsir Rausyan, jil. 9, hal. 198.
[6] Thabathabai, Sayid Muhammad Husain, al-Mizān fi Tafsir al-Qur’ān, jil. 8, hal. 295-296, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cetakan Kelima, 1417 H.
[7] Ja’fari, Ya’qub, Kautsar, jil. 4, hal. 255, Tanpa Tahun, Tanpa Nama Penerbit.
[8] Tafsir Rausyan, jil. 9, hal. 199-200.
[9] Syaikh Shaduq, Man Lā Yahdhuruhu al-Faqih, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari, jil. 3, hal. 337, Qum, Daftar Intisyarat Islami, Cetakna Kedua, 1413 H.
[10] Silahkan lihat, Makarim Syirazi, Nasir, Tafsir Nemuneh, jil. 6, hal. 425-426, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Cetakan Pertama, 1374 S.
© 2024 Tanya Islam. All Rights Reserved.