Pada dasarnya perbedaan yang ada di antara masyarakat adalah suatu hal yang wajar, bahkan akal dan tradisi manusia kadang-kadang menuntut terjadinya hal itu. Namun terkadang perbedaan ini hanya karena menyisakan kerusakan sehingga akal dan syara’ mengkritiknya. Salah satu jenis perbedaan ini adalah kaburnya kebenaran karena faktor kepentingan pribadi dan hawa nafsu.
Adanya perbedaan yang sangat banyak dari agama juga bersumber dari jenis perbedaan ini. Oleh itu, kita harus menjauhkan diri dari perbedaan dengan makna negatif yaitu buramnya kebenaran karena hawa nafsu dan kepentingan pribadi karena amalan ini dikecam oleh akal dan syara’.
Dalam sebuah ayat, al-Quran menjelaskan sebab meluasnya perpecahan dan perbedaan antara pengikut agama-agama samawi yang bersumber dan berakhir pada satu agama sebagai berikut:
«وَ ما تَفَرَّقُوا إِلاَّ مِنْ بَعْدِ ما جاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْیاً بَینَهُمْ وَ لَوْ لا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَبِّكَ إِلى أَجَلٍ مُسَمًّى لَقُضِی بَینَهُمْ وَ إِنَّ الَّذینَ أُورِثُوا الْكِتابَ مِنْ بَعْدِهِمْ لَفی شَكٍّ مِنْهُ مُریب»
Dan mereka (ahli kitab) tidak berpecah belah melainkan sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian antara mereka. Kalau tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dari Tuhan-mu dahulu (supaya mereka hidup) sampai kepada waktu yang telah ditentukan, pastilah telah diputuskan di antara mereka. Dan sesungguhnya orang-orang yang diwariskan kepada mereka al-Kitab (Taurat dan Injil) sesudah mereka, benar-benar berada dalam keraguan yang membimbangkan tentang kitab itu. (Qs Al-Syura [42]: 14)
Ayat ini pada dasarnya merupakan jawaban atas pertanyaan implisit yang terdapat pada ayat sebelumnya.
[1] Allah Swt pada ayat sebelumnya menginstruksikan kepada para Nabi untuk menegakkan agama Ilahi dan tidak berpecah belah.
[2] Sekarang pertanyaan ini mengemuka bahwa dengan penjelasan ini, mengapa terjadi perbedaan dan perpecahan di antara orang-orang yang beriman terhadap agama-agama Ilahi?
Allah Swt dalam menjawab pertanyaan ini menjelaskan ayat yang sedang dibahas. Di samping itu, dengan menolak pemikiran bahwa agama menjadi sebab atas perbedaan pemikiran manusia, Allah Swt menjelaskan bahwa cinta dunia, iri hati, dan kezalimanlah yang menyebabkan adanya perbedaan dan perpecahan pada agama Ilahi dan para pemeluknya.
[3]Walaupun Allah Swt menghendaki dengan pengutusan para nabi, agama dan syari’at sehingga semua orang berada pada satu jalan yaitu jalan yang benar dan meniti jalan-Nya, namun sebagian masyarakat karena hawa nafsu, iri hati, cinta dunia dan adanya sikap permusuhan dengan pandangan pribadinya, menolak untuk menerima aturan-aturan Tuhan dan menempuh jalan yang benar. Mereka memisahkan diri dari jalan orang-orang Mukmin dan berada pada jalan yang menyebabkan terjadinya perpecahan di tengah masyarakat.
Kesesatan dan perlawanan terhadap kebenaran ini bukan karena kebodohan dan tidak mengenal jalan kebenaran melainkan karena mereka mengenal dan mengetahui dengan baik tentang kebenaran itu. Mereka menentang kebenaran dan lebih memilih sesat dengan kesadaran penuh dan demi menuruti keinginan nafsunya.
[4]Di antara sebagian tokoh-tokoh agama-agama juga terdapat orang-orang yang memisahkan diri dari jalan yang benar. Orang-orang ini dengan dalil karena adanya kekotoran hatinya,
[5] ia mengubah ajaran-ajaran agama seperti: sebagian para penganut agama Kristen menyebut Nabi Isa As sebagai Tuhan, atau seperi orang-orang Yahudi yang menuduhnya sebagai pembohong.
[6]Setiap bagian ayat ini, mempunyai peranan penting dalam menafsirkan ayat secara global, yang akan dijelaskan secara singkat:
«وَ مَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِن بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيَا بَيْنَهُمْ»“Dan tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang-orang yang telah didatangkan kitab kepada mereka, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan nyata, karena dengki antara mereka sendiri.” (Qs Al-Baqarah [2]: 213)
Pada ayat lain juga menggunakan kata “
bayyinah.”
[9] Oleh itu, makna ayat,
«وَ ما تَفَرَّقُوا إِلاَّ مِنْ بَعْدِ ما جاءَهُمُ الْعِلْمُ»adalah setelah memperoleh ilmu, mereka sibuk dengan perpecahan dan pemisahan dalam agamanya sendiri.
Makna lain dari bagian ayat ini juga dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perpecahan pada ayat ini adalah pengingkaran Ahlulkitab kepada Nabi Muhammad Saw mereka memisahkan diri dari Nabi dan inilah yang menyebabkan perpecahan dalam agama Ilahi padahal kenabian dan risalah Nabi adalah ilmu dan meyakinkan.
[10]Kandungan ayat yang lainnya adalah:
«إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْاسْلَامُ وَ مَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيَا بَيْنَهُم …» “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia untuk (menerima pembalasan pada) hari yang tak ada keraguan padanya.” Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. (Qs Ali Imran [3]: 19)
Apabila Islam dimaknai sebagai agama Islam sebagaimana nabinya adalah Nabi Muhammad Saw, maka makna perpecahan dan perbedaan adalah tersurat pada makna perbedaan dari Islam dan penolakan terhadap Nabi Muhammad Saw oleh sebagian pengikut agama-agama yang lain.
[1] Fakhr al-Razi, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Umar,
Mafātih al-Ghaib, jil. 22, hal. 588, Dar al-Ihya al-urat al-Arabi, Beirut, cet. 3, 1420.
[2] Qs Al-Syura [42]: 13 “
Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah Dia wasiatkan kepada Nuh. Apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa adalah tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya.”
[3] Makarim Syirazi, Nashir,
Tafsir Nemuneh, jil. 20, hal. 381, Dar al-Kitab Islamiyah, Tehran, cet. 1, 1374.
[4] Thabathabai, Sayid Muhammad Husain,
Al-Mizān fi Tafsir al-Qurān, jil. 18, hal. 31, Daftar Intisyarat Islami, cet. 5, Qum, 1417, Syaikh Thusi, Muhammad bin Hasan,
Al-Tibyān fi Tafsir al-Qurān, jil. 9, hal. 151, Dar al-Ihya al-Turats al-Arabai, Beirut, tanpa tahun.
[5] Silahkan lihat:
Al-Mizān fi Tafsir al-Qurān, jil. 2, hal. 124-125.
[6] Tibyān fi Tafsir al-Qurān, jil. 2, hal. 195.
[7] Thabarsi, Fadhl bin Hasan,
Tafsir Jawāmi’ al-Jāmi’, jil. 4, hal. 44, Intisyarat Danesgah Tehran, Mudiriyat Hauzah Ilmiyah Qum, cet 1, 1377,
Mafātih al-Ghaib, jil. 27, hal, 588.
[8] Al-Mizān fi Tafsir al-Qurān, jil. 18, hal. 31.
[9] (Qs Al-Bayinah [98]: 4)
«وَ مَا تَفَرَّقَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءَتهمُ الْبَيِّنَةُ»
[10] Thabarsi, Fadhl bin Hasan,
Majma’ al-Bayān fi Tafsir al-Qurān, Muqadimah: Balaghi, Muhamamd Jawad, jil. 9, hal. 37-38, Nashir Khosro, Tehran, cet. 3, hal. 1372.
[11] Thuraihi, Fahkr al-Din,
Majma’ al-Bahrain, Riset: Husaini, Sayid Ahmad, jil. 1, hal. 53, Kitab Furusyi Murtadzawi, Tehran, cet. 3, 1375.
[12] Farahidi, Khalil bin Ahmad,
Kitāb al-Mu’in, Riset: Mahzuni, Mahdi, Samarai, Ibrahim, jil. 4, hal. 453, Intisyarat Hijrat, Qum, cet. 2, 1410.
Tarikhi, Fahr al-Din,
Majma’ al-Bahrain, Riset: Husaini, Sayid Ahmad, jil. 1, hal. 53, Kitab Furusyi Murtadzawi, Tehran, cet. 3, 1375.
[13] Isim manshub yang berfungsi untuk menjelaskan sebab atau motif terjadinya perbuatan.
[14] Shafi, Mahmud bin , Abdul Rahim,
Al-Jadwal fi al-I’rāb al-Qurān, jil, 25, hal. 26, Dar al-Rasyid, Muasasah al-Iman, Damisyqm Muasasah al-Iman, Beirut, cet. 4, hal. 1418.
[15] Misalnya Qs Al-Bayinah (98): 4
[16] (Qs Ali Imran [3]: 105)
«وَ لا تَكُونُوا كَالَّذينَ تَفَرَّقُوا وَ اخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ ما جاءَهُمُ الْبَيِّناتُ وَ أُولئِكَ لَهُمْ عَذابٌ عَظيمٌ»