Apa yang dimaksud dengan “Mukminin” dan kelompok manakah dari umat Muslim?

Mukminin (orang-orang beriman) adalah orang-orang yang membenarkan (tashdiq) keberadaan Tuhan dan berserah diri di hadapan-Nya; beriman kepada risalah seluruh nabi Ilahi dan beramal atasnya.
Dengan memperhatikan bahwa iman memiliki tingkatan, keyakinan kepada Ahlulbait As merupakan tingkatan utama dan tinggi iman. Hal ini berdasarkan ayat-ayat al-Quran dan riwayat-riwayat Rasulullah Saw Demikian juga dengan memperhatikan perbandingan pemikiran dan keyakinan beragam dengan ayat-ayat al-Quran menjadi jelas bahwa para pengikut Ahlulbait As, adalah orang-orang beriman sejati dan menempati tingkatan iman tertinggi dalam al-Quran. Tentu saja maksudnya adalah orang-orang yang merupakan pengikut sejati Ahlulbait dalam pikiran, keyakinan dan perbuatan serta tidak mencukupkan hanya dengan klaim dan sekedar nama belaka.
Dalam pada itu kami meminta untuk memperhatikan tiga poin berikut ini:
Cakupan pahaman Islam lebih luas dari iman, artinya kata mu’min merupakan sebuah terma khusus yang memiliki syarat-syarat khusus sebagaimana disebutkan dalam sebagian riwayat. Karena itu apabila seseorang tidak memiliki syarat khusus Mukmin secara terminologis maka hal itu tidak bermakna bahwa ia bukan seorang Muslim.
Ahlulbait dihormati seluruh firkah dan mazhab Islam dan umat Muslim apa pun mazhabnya semenjak masa kemunculan Islam hingga hari ini telah menunjukkan kecintaan mereka terhadap Ahlulbait As. Sebagian ulama besar Sunni menulis buku terkait dengan Fadhail Aimmah Ahlulbait As (Keutamaan-keutamaan Para Imam Ahlulbait As) yang akan disinggung sebagian pada jawaban detil.
Firkah dan mazhab Islam lainnya mendapat penghormatan di sisi para pengikut Ahlulbait As. Semenjak masa lalu hingga hari ini mereka memiliki hubungan baik seperti hubungan kekerabatan, kegiatan belajar dan mengajar, korporasi politik dan sosial sebagaimana banyak ulama Syiah banyak yang berguru pada ulama Suni dan belajar pada mereka; sebagaimana banyak orang-orang Syiah yang menjadi periwayat dan penukil hadis-hadis Sunni.
Bagaimanapun kesatuan dan persatuan kaum Muslim merupakan media yang paling penting untuk kemajuan agama Islam dan wahana terbesar dalam menghadapi musuh-musuh Islam yang harus diprioritaskan dan didahulukan atas masalah-masalah lainnya.

Mukmin secara leksikal akarnya dari kata a-m-n yang bermakna membenarkan dan bersandar, ketenangan hati, khusyu dan tunduk.[1] Kata mukmin juga bermakna orang yang membenarkan.
Mukmin secara teknikal digunakan bagi orang-orang yang membenarkan eksistensi Tuhan dan berserah diri, tunduk dan taat kepada-Nya serta membenarkan risalah seluruh nabi Ilahi dan menerima pesan dalam risalah mereka. Rasulullah Saw bersabda, “Iman, mengenal dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan beramal dengan anggota badan.”[2]

Tanda-tanda orang beriman dalam al-Quran
Sebagian alamat dan tanda-tanda orang beriman dalam al-Quran adalah sebagai berikut:
Mendirikan salat dan khusyu dalam mengerjakannya.
Menyerahkan zakat dan mendermakan hartanya di jalan Allah.
Bertawakkal kepada Allah Swt.
Beramar makruf dan nahi mungkar.
Menjauhi perbuatan-perbuatan yang tidak berguna.
Menaati Allah Swt dan Rasulullah serta berserah diri di hadapan-Nya.[3]
Tentu saja, tanda-tanda dan alamat-alamat orang-orang beriman dalam al-Quran tidak terbatas pada apa yang disebutkan di atas. Harus dikatakan bahwa Mukmin sejati adalah orang-orang yang tunduk dan berserah diri pada seluruh perintah dan instruksi Allah Swt dan Rasulullah Saw.[4] Bukan menerima sebagian perintah dan menolak sebagian lainnya.
Beberapa riwayat juga menjelaskan banyak tentang alamat dan tanda orang beriman yang kami akan sebutkan sebagian darinya seperti, “Senantiasa menjaga diri dalam kesendiran, bersedekah dalam kondisi sempit, bersabar dalam menghadapi musibah, tabah dalam menahan marah, tetap jujur dalam menghadapi takut, bertawakkal kepada Allah Swt, menyerahkan segala urusan kepada Allah Swt, tunduk dan patuh kepada titah Allah Swt serta ridha dengan ketentuan-Nya.”[5]
Meski orang-orang beriman itu satu dari sisi itu membenarkan dan menaati namun mengingat orang-orang berbeda dalam tingkatan ilmu, keseriusan dan usaha maka sebagai hasilnya tingkatan iman juga tidak sama. Derajat dan tingkatan iman setiap orang juga berbeda-beda.[6]
Imam Shadiq As bersabda, “Iman laksana tangga yang memiliki 10 anak tangga dan setiap anak tangga itu masing-masing harus dilalui.”[7]
Salah satu rukun iman adalah menerima wilayah Ahlulbait As. Apa yang dapat dipahami dari ayat-ayat al-Quran dan sabda-sabda Rasulullah Saw serta Ahlulbait As bahwa mengikuti Ahlulbait As merupakan masalah yang memiliki peran asasi dalam merealisasikan makna iman. Apabila seseorang tidak mengatur hidupnya berdasarkan ajaran Ahlulbait As maka rukun imannya belumlah sempurna.
Sebagai contoh kami akan menyebutkan beberapa ayat dan riwayat sebagai berikut:
Ayat tabligh yang menyatakan:
«يا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ ما أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَ إِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَما بَلَّغْتَ رِسالَتَهُ
وَ اللهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكافِرينَ»
“Hai rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhan-mu. Dan jika kamu tidak mengerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (Qs. Al-Maidah [5]:67)
Ibnu Asakir (salah seorang ulama Sunni) dengan sanad sahih meriwayatkan dari Ibnu Sa’id al-Khudri bahwa ayat ini turun kepada Rasulullah Saw pada momentum Ghadir Khum. Ayat ini turun berkaitan dengan Imam Ali As.[8] Karena itu sesuai dengan ayat ini, deklarasi wilayah Imam Ali As merupakan salah satu rukun risalah Rasulullah Saw.
Ayat wilayah yang menyebutkan:
«إِنَّما وَلِيُّكُمُ اللهُ وَ رَسُولُهُ وَ الَّذينَ آمَنُوا الَّذينَ يُقيمُونَ الصَّلاةَ وَ يُؤْتُونَ الزَّكاةَ وَ هُمْ راكِعُونَ »
“Sesungguhnya pemimpinmu hanyalah Allah, rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, sedang mereka dalam kondisi rukuk.” (Qs. Al-Maidah [5]:55)
Dalam kitab-kitab tafsir dan riwayat Ahlusunnah disebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Baginda Ali As.[9]
Dengan demikian apabila seseorang tidak menerima wilayah Ali bin Abi Thalib As maka ia menolak salah satu perintah Allah Swt yang paling asasi. Dalam ayat ini, wilayah Imam Ali As ditempatkan sejajar dengan wilayah Allah Swt dan Rasulullah Saw. Kita tahu bahwa menerima wilayah Allah Swt dan Rasulullah Saw merupakan salah satu rukun asli iman, karena itu wilayah Ali As juga merupakan salah satu rukun asli iman; dan banyak ayat lainnya yang meyebutkan kedudukan dan keutaman Baginda Ali As. Namun karena untuk menghemat ruang dan waktu kami cukupkan dengan dua ayat saja.
Dalam hal ini terdapat juga banyak riwayat dari Rasulullah Saw yang berkaitan dengan keutamaan Imam Ali As. Singkatnya kami hanya akan menyebutkan beberapa contoh sebagai berikut
Hadits Tsaqalain: Syiah dan Sunni secara mutawatir mengutip dari Rasulullah Saw yang bersabda, “Aku tinggalkan bagi kalian dua pusaka berharga. Sepanjang kalian berpegang teguh kepada keduanya maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yang pertama adalah Kitabullah dan yang lainnya adalah Itrahku.”[10] Riwayat ini menegaskan bahwa tanpa bersadar kepada Ahlulbait dan Itrah, manusia akan berada dalam kesesatan. Karena itu mengikuti Ahlulbait As memiliki peran penting dalam iman seseorang.
Hadits Safinah: Rasulullah Saw bersabda, “Perumpamaan Ahlulbaitku laksana bahtera Nuh, barang siapa yang menaikinya maka ia selamat dan barang siapa yang meninggalkannya maka ia akan berada dalam neraka.”[11] Petunjuk riwayat ini secara tegas dan jelas menyatakan bahwa mengikut Ahlulbait As sangat beperan dalam inti iman setiap Mukmin.
Hadis manzilah: Rasulullah Saw bersabda kepada Ali bin Abi Thalib As, “Engkau bagiku laksana Harun bagi Musa, hanya saja tiada nabi selepasku.”[12] Sesuai dengan riwayat ini, seluruh kedudukan dan maqam yang dimiliki Rasulullah Saw, selain kenabian, Imam Ali As juga miliki. karena itu, sebagaimana mengikut Rasulullah Saw berperan penting dalam inti iman, mengikut dan patuh kepada Ali As juga tergolong sebagai rukun utama iman.
Imam Baqir As dalam hal ini bersabda, “Islam berdiri di atas lima pilar: Salat, zakat, puasa, haji dan wilāyah. Tiada satu pun yang diserukan kepadanya melebihi (seruan) kepada wilāyah.”[13]
Dalam hadis yang disampaikan oleh Imam Shadiq As disebutkan, “Apabila dunia tanpa imam maka pastilah (dunia) akan binasa.”[14] Dari hadis-hadis seperti ini menjadi jelas signifikansi dan kedudukan imamah dan wilāyah dalam merealisasikan iman.
Dengan memperhatikan apa yang telah diuraikan di atas menjadi jelas bahwa satu-satunya mazhab dan kelompok yang sejalan secara persis dengan seluruh instruksi al-Quran dan prinsip-prinsip akidah, teori-teori dan gagasan-gagasan moral dan jurisprudensial serta praktiknya adalah mazhab yang dengan mengikut Ahlulbait Rasulullah Saw mampu memahami seluruh ayat-ayat al-Quran dan sunnah Rasulullah Saw serta menyelamatkan dirinya dari kesesatan dan penyimpangan serta terjaga dalam Islam hakiki.
Untuk menjelaskan hal ini di samping apa yang telah diuraikan sebelumnya kiranya perlu memperhatikan dua poin berikut ini:
Poin pertama: Riwayat-riwayat yang dikutip Syiah dan Sunni dari Rasulullah Saw yang bersabda: Kelompok yang selamat dari Muslim Syiah (pengikut Ahlulbait As).”[15]
Poin kedua: Mengkaji secara komparatif dann menyelaraskan akidah dan ajaran Syiah (pengikut Ahlulbait As) dengan ayat al-Quran.
Untuk melakukan riset dan penilitian dalam hal ini Anda dapat merujuk pada buku-buku yang ditulis oleh ulama Syiah terkait dengan akidah Syiah seperti ‘Aqāid al-Imāmiyah karya Syaikh Muzhaffar, Āmuzesy Aqāid (Iman Semesta) karya Ayatullah Misbah Yazdi, Mansyurāt ‘Aqāid Imāmiyah, karya Ayatullah Subhani, Syiah karya Allamah Thabathabai, al-Muraja’at karya Sayid Syarafuddin al-Musawi dan Ashl al-Syiah wa Ushuluha karya Syaikh Kasyif al-Ghithah.
Akan tetapi jelas bahwa dalam mengkaji mazhab dan pelbagai kelompok; pertama-tama harus ditelisik ideologi, teori-teori, akidah dan pemikirannya dalam sumber-sumber standar dan muktabar kemudian dihukumi ihwal validitas atau invaliditas, benar dan sesatnya. Kedua, berpegang teguh atau tidaknya orang-orang dan para pengikut kelompok ini tidak ada kaitanya dengan benar atau sesatnya mazhab tersebut. Karena itu yang dimaksud Syiah adalah orang-orang yang dari sudut pandang ilmu, keyakinan, iman dan amal mengenal dan setia terhadap seluruh hakikat dan ajaran Syiah bukan sekedar klaim yang bisa saja dilakukan oleh siapa saja meski nama dan KTP-nya ia seorang Syiah. Para Imam As juga menaruh perhatian terhadap masalah ini sebagaimana apa yag disabdakan oleh Imam Baqir As, “Demi Allah! Bukanlah Syiah kami kecuali ia adalah orang yang bertakwa kepada Allah Swt dan mengikuti perintah-Nya, mereka tidak dikenal kecuali dengan sifat tawadhu, khusyu, menunaikan amanah, banyak mengingat Allah Swt, puasa, salat, berbuat baik kepada ayat dan ibu serta mengurus tetangganya yang miskin, orang-orang yang kesusahan, berhutang, anak-anak yatim, dan juga berbicara lurus (jujur), membaca al-Quran, tidak berkata-kata kepada masyarakat kecuali yang baik.”[16]
Akhir kata kami merasa perlu menyebutkan tiga hal penting sebagaimana berikut:
Cakupan pahaman Islam lebih luas dari iman, artinya kata mukmin merupakan sebuah terma khusus yang disebutkan syarat-syarat khususnya dalam sebagian riwayat. Karena itu apabila seseorang tidak memiliki syarat khusus mukmin secara terminologis maka hal itu tidak bermakna bahwa ia bukan seorang Muslim.
Imam Baqir As bersabda, “Iman adalah sesuatu yang tersimpan dalam hati, bersambung dan berujung pada Allah Swt serta beramal dengan ketaatan dan membenarkan penyerahan diri pada perintah-perintah Allah Swt; dan Islam adalah segala sesuatu yang diungkapkan dengan perantara ucapan dan perbuatan, yang diyakini oleh masyarakat umum dan seluruh firkah. Dengan perantara Islam, jiwa terjaga, warisan dibagikan, pernikahan menjadi boleh, salat, zakat, haji dan puasa dikerjakan dan dengan perantara amalan-amalan ini mereka keluar dari kekufuran dan (sifat) iman disandarkan padanya.”[17]
Ahlulbait dihormati seluruh firkah dan mazhab Islam dan umat Muslim apa pun mazhabnya semenjak masa kemunculan Islam hingga hari ini telah menunjukkan kecintaan mereka terhadap Ahlulbait As. Sebagian ulama besar Sunni menulis buku terkait dengan Fadhāil Aimmah Ahlulbait As (Keutamaan-keutamaan Para Imam Ahlulbait As) sebagaimana berikut:
Mawaddah fi al-Qurbā, Mir Sayid Ali Syafi’i.
Yanābi’ al-Mawaddah, Syaikh Sulaiman Balkhi Hanafi.
Mi’rāj al-Wushul fi Ma’rifah Āli al-Rasul, Hafizh Jamaluddin Zarandi.
Manāqib wa Fadhāil Ahlulbait, Hafizh Abu Na’im Isfahani.
Manāqib Ahlulbait, Ibnu Maghazali, Faqih Syafi’i.
Rasyfat al-Shādi min Bahr Fadhāil Bani al-Nabi al-Hādi, Sayid Abi Bakar bin Syahadatuddin Alawi.
Al-Ittihāf bihubbi al-Asyrāf, Syaikh Abdullah Muhammad bin Amir Syabrawi.
Ihya al-Mayyit befadhail Ahlilbāit, Jalaluddin Suyuthi.
Farāidh al-Simthain fi Fadhāil al-Murtadha wa al-Zahra wa al-Sibthain, Syaikh al-Islam Ibrahim bin Muhammad Huwaini.
Dzakhāir al-‘Uqbā, Imam al-Haram Syafi’i.
Fushul al-Muhimmah fi Ma’rifah al-Aimmah, Nuruddin bin Shabbagh Maliki.
Tadzkirah al-Khawwāsh al-Ummah fi Ma’rifah al-Aimmah, Yusuf Sibth bin Jauzi..
Kifāyah al-Thālib, Muhammad bin Yusuf Ganji Syafi’i.
Mathālib al-Su’ul fi Manāqib Āli al-Rasul, Muhammad bin Thalhah Syafi’i.
Firkah dan mazhab Islam lainnya mendapat penghormatan di sisi para pengikut Ahlulbait As. Semenjak masa lalu hingga hari ini mereka memiliki hubungan baik seperti hubungan kekerabatan, kegiatan belajar dan mengajar, korporasi politik dan sosial sebagaimana banyak ulama Syiah banyak yang berguru pada ulama Sunni dan belajar pada mereka seperti Syahid Awwal (Muhammad bin Makki) yang berkata bahwa ia memperoleh ijazah dari empat puluh ulama Sunni untuk mengutip hadis.[18] Sebagaimana kebanyakan Syiah yang menjadi penukil hadis-hadis Ahlusunnah seperti yang dijelaskan oleh Sayid Abdul-Husain Syarafuddin al-Musawi dalam kitab al-Murāja’ah dengan menyebutkan nama-nama seratus orang dari mereka.
Bagaimanapun kesatuan dan persatuan kaum Muslim merupakan media yang paling penting untuk kemajuan agama Islam dan wahana terbesar dalam menghadapi musuh-musuh Islam yang harus diprioritaskan dan didahulukan atas masalah-masalah lainnya. 
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat:
Pertanyaan, 248, Syiah dan Surga.
Pertanyaan, 283, Surga dan Non-Muslim.
Pertanyaan 323, Orang-orang Jahil (Qashir) dan Keselamatan dari Neraka.

[1] Mu’jam Maqāyis al-Lughah, Aqrab al-Mawārid, Farhang Jame’, kata a-m-n.
[2] Kanz al-‘Ummāl, hal. 95.
[3] Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka, dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal. (yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhan mereka dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia. (Qs. al-Anfal [8]:2-4); “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Taubah [9]:71); Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela; barang siapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara salatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi. (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya. (Qs. al-Mukminun [23]:1-11)
[4] Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu penentu dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (Qs. al-Nisa [4]:65)
[5] Al-Kāfi, jil. 2, hal. 71 & 232.
[6] “Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhan mereka dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (Qs. al-Anfal [8]:4); “Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, “Lapangkanlah majelis (dan berilah tempat kepada orang yang baru datang)”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan melapangkan (surga) untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan di antara kamu beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Qs. al-Mujadilah [58]:11); “Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (tidak turut berperang) tanpa memiliki uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga), dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (Qs. al-Nisa [4]:95); “Orang-orang yang beriman dan berhijrah, serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajat mereka di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (Qs. al-Taubah [9]:20)
[7] Ushul Kāfi, jil. 2, hal. 45.
[8] Ibnu Asakir, Terjemahan Imam Ali As, jil. 2, hal. 86.
[9] Wahidi dalam Asbāb al-Nuzul, hal. 133; Zamakhsyari dalam al-Kassyāf, jil. 1, hal. 649, Abu Bakr Jassash, Ahkām al-Qur’ān, jil. 2, hal. 446.
[10] Shahih Tirmidzi, jil. 5, hal. 621.
[11] Nihāyah Ibnu Atsir, klausul ra-kh.
[12] Shahih Tirmidzi, jil. 5, hal. 641.
[13] Kāfi, jil. 2, hal. 18.
[14] Kāfi, jil. 1, hal. 179.
[15] Durr al-Mantsur, jil. 6, terkait dengan tafsir ayat 7 surah al-Bayyinah; al-Mizān, jil. 2, hal. 341.
[16] Tuhaf al-Uqul, hal. 338.
[17] Al-Kāfi, jil. 2, hal. 26.
عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَهْلِ بْنِ زِيَادٍ وَ مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ جَمِيعاً عَنِ ابْنِ مَحْبُوبٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رِئَابٍ عَنْ حُمْرَانَ بْنِ أَعْيَنَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ع قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ الْإِيمَانُ مَا اسْتَقَرَّ فِي الْقَلْبِ وَ أَفْضَى بِهِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ صَدَّقَهُ الْعَمَلُ بِالطَّاعَةِ لِلَّهِ وَ التَّسْلِيمِ لِأَمْرِهِ وَ الْإِسْلَامُ مَا ظَهَرَ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ وَ هُوَ الَّذِي عَلَيْهِ جَمَاعَةُ النَّاسِ مِنَ الْفِرَقِ كُلِّهَا وَ بِهِ حُقِنَتِ الدِّمَاءُ وَ عَلَيْهِ جَرَتِ الْمَوَارِيثُ وَ جَازَ النِّكَاحُ وَ اجْتَمَعُوا عَلَى الصَّلَاةِ وَ الزَّكَاةِ وَ الصَّوْمِ وَ الْحَجِّ فَخَرَجُوا بِذَلِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَ أُضِيفُوا إِلَى الْإِيمَانِ وَ الْإِسْلَامُ لَا يَشْرَكُ الْإِيمَانَ وَ الْإِيمَانُ يَشْرَكُ الْإِسْلَامَ وَ هُمَا فِي الْقَوْلِ وَ الْفِعْلِ يَجْتَمِعَانِ كَمَا صَارَتِ الْكَعْبَةُ فِي الْمَسْجِدِ وَ الْمَسْجِدُ لَيْسَ فِي الْكَعْبَةِ وَ كَذَلِكَ الْإِيمَانُ يَشْرَكُ الْإِسْلَامَ وَ الْإِسْلَامُ لَا يَشْرَكُ الْإِيمَانَ وَ قَدْ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَ جَلَّ قالَتِ الْأَعْرابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَ لكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنا وَ لَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمانُ فِي قُلُوبِكُمْ فَقَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ أَصْدَقُ الْقَوْلِ قُلْتُ فَهَلْ لِلْمُؤْمِنِ فَضْلٌ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي شَيْ‏ءٍ مِنَ الْفَضَائِلِ وَ الْأَحْكَامِ وَ الْحُدُودِ وَ غَيْرِ ذَلِكَ فَقَالَ لَا هُمَا يَجْرِيَانِ فِي ذَلِكَ مَجْرَى وَاحِدٍ وَ لَكِنْ لِلْمُؤْمِنِ فَضْلٌ عَلَى الْمُسْلِمِ‏”
[18] Al-Lum’ah al-Dimisyqiyyah, hal. 16.

© 2024 Tanya Islam. All Rights Reserved.