Kenapa tiap surat dimulai dengan basmalah,kecuali al-Taubah? Kenapa al-Fatehah bacaan pertama yang harus dibaca tiap rakaat dalam salat?

Mengapa surah al-Taubah tidak dimulai dengan basmalah? Apakah bermasalah sekiranya kita membacanya dengan basmalah? Apakah ada penghilangan sebagian ayat-ayat al-Quran pada surah ini? Apakah benar bahwa dalam sebuah naskah al-Quran yang berada di tangan Ibnu Mas’ud terdapat basmalah pada awal surah al-Taubah demikian juga terdapat penghapusan kurang lebih 157 ayat semenjak awal surah ini dan sebelumnya surah al-Taubah lebih panjang dari surah al-Baqarah?
Jawaban Global
Sebagian ahli tafsir (mufasir) menyebutkan beberapa alasan mengapa surah al-Taubah tidak dimulai dengan bismillahi al-rahman al-rahim (basmalah); misalnya ada yang berpendapat bahwa bismillah adalah untuk menjelaskan tentang keamanan (tiadanya perang), cinta kasih dan rahmat, namun surah al-Taubah (Barā’ah) adalah untuk mengilangkan dan mencabut keamanan yang ada di tengah masyarakat. Karena itu ayat basmalah tidak diturunkan pada awal surah ini.
Mengingat bahwa al-Quran merupakan asas Islam dan mukjizat terbesar Ilahi sebagai bukti kenabian Nabi Muhammad Saw serta memiliki signifikansi yang luar biasa penting, maka terdapat beragam motif dalam menukil al-Quran di tengah kaum Muslim. Tentu saja segala sesuatu yang memiliki motif besar dalam mengutip dan menukilnya maka sudah wajar ia akan dinukil secara mutawatir.
Adapun apa yang dikutip dari Ibnu Mas’ud itu adalah khabar wahid dan sesuai dengan pendapat kebanyakan ulama Syiah dan Sunni riwayat tersebut tidak dapat dijadikan sandaran.
Demikian juga sesuai dengan hukum al-Quran dan juga dalil-dalil riwayat berkurangnya sebagian ayat dari al-Quran tidak dapat dibenarkan dan tidak benar adanya.
Surah ini harus dibaca tanpa basmalah dan apabila surah ini dibaca dengan basmalah dan dinilai sebagai  bagian dari surah al-Taubah maka perbuatan ini adalah bid’ah dan bermasalah secara hukum fikih.
 
Jawaban Detil
Alasan Mengapa Surah al-Taubah Tidak Dimulai dengan Basmalah
Terkait dengan sebab dan alasan mengapa surah al-Taubah tidak dimulai dengan basmalah terdapat dua jawaban yang dikemukakan oleh ulama tafsir sebagaimana berikut:
  1. Surah ini, merupakan sebuah metode kuat dan kukuh dalam menghadapi musuh-musuh yang melanggar perjanjian dan pernyataan berlepas diri dari mereka demikian juga pernyataan perang melawan mereka. Surah ini menunjukkan kemurkaan Tuhan terhadap kelompok ini; karena itu tidak sesuai dan pantas apabila dimulai dengan bismillahi al-rahman al-rahim (basmalah) yang merupakan tanda perdamaian, persahabatan, cinta kasih dan penjelas sifat rahmaniyah dan rahimiyyyah Allah Swt.[1] Atas dasar itu, surah al-Taubah tidak dimulai dengan basmalah. Imam Ali As terkait dengan masalah ini bersabda, “Sebab mengapa basmalah tidak tidak disebutkan pada (awal) surah ini adalah karena basmala untuk keamanan dan rahmat, namun surah Bara’ah diturunkan untuk menghilangkan keamanan itu (baca: kondisi perang).”[2]
  2. Sekelompok mufasir lainnya berpendapat bahwa surah ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari surah al-Anfal; karena surah al-Anfal bercerita tentang perjanjian-perjanjian dan dalam surah al-Taubah ini berkaitan dengan pembatalan perjanjian-perjanjian orang-orang yang melanggarnya. Karena itu basmalah tidak disebutkan di antara surah al-Anfal dan surah al-Taubah. Imam Shadiq As juga dalam sebuah riwayat bersabda, “Surah al-Anfal dan surah al-Taubah itu satu.”[3]
Dengan demikian, surah al-Taubah harus dibaca tanpa basmalah dan apabila surah ini dibaca dengan basmalah dan dinilai sebagai  bagian dari surah al-Taubah maka perbuatan ini adalah bid’ah dan bermasalah secara hukum fikih.  Apabila kita membaca surah ini dengan basmalah bukan dengan anggapan sebagai bagian dari surah maka hal itu tidak bermasalah.
Dalil-dalil Mengapa Al-Quran Terjaga dari Penyimpangan
Dalam menjawab pertanyaan bagian kedua (adanya penghapusan sebagian ayat dari surah al-Taubah) harus dikatakan bahwa seandainya hal seperti ini benar adanya yaitu bermakna adanya penyimpangan (pengurangan) dalam al-Quran maka hal ini tidak benar karena yang masyhur di tengah umat Muslim menyatakan bahwa sama sekali tidak terjadi penyimpangan (pengurangan atau penambahan) dalam al-Quran. Al-Quran yang hari ini berada di tengah-tengah kaum Musim adalah Kitab Samawi yang sama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.[4]
Ulama menyebutkan banyak dalil dan argumen dalam menolak teori penyimpangan yang akan disebutkan sebagian di antaranya sebagaimana berikut:
1.Al-Quran
Al-Quran dalam beberapa ayat menegaskan bahwa ia adalah kitab yang tidak akan mengalami penyimpangan. Allah Swt berfirman:
«إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَ إِنَّا لَهُ لَحافِظُونَ»
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Qs. al-Hijr [13]:9)
Ayat ini secara lugas menunjukkan bahwa al-Quran terjaga dari pelbagai bentuk penyimpangan dan akan seperti ini adanya hingga hari kiamat. Para pembenci dan pendengki tidak akan dapat menyelewengkan al-Quran, mengurangi dan menambahkan sesuatu padanya.[5]
Boleh jadi ada yang berkata bahwa bagaimana mungkin kita dapat membuktikan bahwa ayat ini sendiri tidak mengalami penyimpangan? Jawabannya adalah bahwa apabila ayat ini telah diselewengkan dan termasuk jenis penyimpangan dengan menambahkan maka tiada satu pun ulama yang menerima hal ini. Bahkan orang-orang yang menyelewengkan al-Quran sekali pun tidak pernah menggolongkan ayat ini sebagai ayat-ayat yang mengalami penyimpangan. Di samping itu, penyimpangan ayat-ayat yang dibahas, menetapkan kebalikan dari maksud orang-orang yang menyimpangkan al-Quran; karena membandingkan konteks dan teks ayat ini dengan ayat-ayat setelah dan sebelumnya juga menunjukkan bahwa ayat-ayat ini merupakan sekumpulan ayat yang sistemik, sepadan dan berkelindan satu sama lain serta memiliki sifat-sifat kemukjizatan al-Quran sedemikian sehingga tiada satu pun keraguan dan anggapan yang tersisa bahwa ayat-ayat ini bukan bagian dari al-Quran.[6]
2. Riwayat-riwayat
Terdapat banyak riwayat  dengan sanad sahih yang menjelaskan ketinggian derajat al-Quran dalam kehidupan manusia. Bahkan manusia memandang al-Quran sebagai kriteria dan parameter utama dalam menimbang pemikiran dan riwayat yang valid dan tidak sahih. Segala sesuatu yang tidak sejalan dengan al-Quan maka hal itu tertolak. Namun demikian, apabila al-Quran telah mengalami penyimpangan maka ia tidak dapat menjadi media petunjuk dan juga tidak dapat menjadi parameter benar dan salahnya pelbagai pemikiran.[7]
Riwayat tsaqalain (hadis dua pusaka berharga) yang merupakan riwayat yang bersifat mutawatir di kalangan Sunni dan Syiah,[8] memandang wajib untuk berpegang teguh kepada al-Quran dan Itrah. Dalam riwayat ini, Rasulullah Saw menginstruksikan kepada umatnya untuk berpegang teguh kepada al-Quran dan Itrah Ahlulbait serta senantiasa menjadikan keduanya sebagai pedoman untuk diikuti!
Kemestian dari instruksi Rasulullah Saw ini bahwa al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah Saw adalah al-Quran yang tidak mengalami penyimpangan yang terdapat di tengah-tengah masyarakat; karena apabila terjadi penyimpangan maka ia tidak lagi dapat menjadi parameter dan media petunjuk bagi manusia. Di samping itu, kewajiban untuk berpegang teguh tidak akan bermakna sementara kewajiban berpegang teguh dan mengikuti al-Quran adalah pernyataan tegas hadis tsaqalain ini.[9]
3. Bukti-bukti Sejarah
Di samping dua dalil di atas, terdapat bukti-bukti sejarah yang menegaskan keselamatan al-Quran dari pelbagai bentuk penyimpangan; karena orang-orang yang berpandangan adanya penyimpangan dalam al-Quran memandang al-Quran yang dimaksud adalah al-Quran yang berasal dari Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) atau disandarkan kepada Usman atau orang lain yang melakukan penyimpangan pada masa-masa setelah khilafah, seluruh tiga klaim dan kemungkinan di atas tidak ada dasarnya dan tidak benar; karena pada kemungkinan pertama yang menyebutkan bahwa penyimpangan dilakukan oleh Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) sangatlah jauh; karena Rasulullah Saw senantiasa menaruh perhatian besar terhadap al-Quran dan meminta kepada kaum Muslim untuk selalu membaca al-Quran. Demikian juga perhatian ekstra para sahabat untuk menghafal dan membaca al-Quran.
Kedua hal ini menunjukkan bahwa seluruh al-Quran yang berada di tengah umat Muslim itu terjaga dan mereka menghafalnya dalam ingatan atau dengan cara lainnya yang menandaskan bahwa mereka menjaga al-Quran secara seksama. Dengan adanya perhatian dan ketelitian seperti ini, maka tidak mungkin satu kata pun yang terlupakan atau berpindah tempat atau mengalami perubahan. Tatkala orang-orang pada masa itu, menaruh perhatian ekstra terhadap hafalan dan rekaman syair-syair pada masa jahiliyah, lantas bagaimana mungkin mereka melalaikan al-Quran yang karenanya mereka rela berkorban jiwa, raga dan harta? Apakah mungkin dengan segala pengorbanan ini mereka rela sebagian dari al-Quran itu hilang atau berkurang atau bertambah?
Kemungkinan kedua: yaitu klaim bahwa penyimpangan terjadi pada masa khilafah Usman. Kemungkinan ini juga tertolak; karena pada masa Usman, Islam sedemikian tersebar sehingga tidak mungkin seseorang mampu menguranginya. Di samping itu, apabila Usman menyelewengkan al-Quran maka perbuatan ini tentu saja akan menjadi dalih yang terbaik bagi orang-orang yang membunuhnya sehingga mereka tidak lagi perlu membunuhnya di hadapan khalayak dengan alasan karena Usman tidak mengikuti sirah dua pendahulunya dan membuang-buang harta baitul mal.
Kemungkinan ketiga: yaitu klaim terjadinya penyimpangan pada masa-masa setelah khilafah. Klaim ini tidak ada yang mengemukakannya. Karena itu, bukti-bukti sejarah juga tidak menerima adanya penyimpangan terhadap al-Quran.[10]
Karena itu, apabila kita menganggap riwayat yang dikutip dari Ibnu Mas’ud ni ada namun riwayat tersebut tidak dapat dijadikan sandaran dan tidak dapat diterima.
 

[1] Makarim Syirazi, Nasir, Tafsir Nemuneh, jil. 7, ha. 273, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, 1374 S.
[2] Thabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma’ al-Bayān fi Tafsir al-Qur’ān, Kata Pengantar oleh Balaghi, Muhammad Jawad, jil. 5, hal. 5, Intisyarat Nasir Khusruw, Tehran, Cetakan Ketiga, 1372 S; Hakim Naisyaburi, Mustadrak ‘ala al-Shahihain, jil. 2, hal. 330, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1406 H.
[3] Silahkan lihat, Thusi, Muhammad bin Hasan, al-Tibyān fi Tafsir al-Qur’ān, dengan Kata Pengantar oleh Syaikh Agha Buzurgh Tehrani, Riset oleh: Qashir Amili, Ahmad, jil. 1, hal. 24, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Tanpa Tahun; Mazhhari Muhammad Tsanaullah, al-Tafsir al-Mazhhari, jil. 5, hal. 313, Maktabah Rusydiyah, Pakistan, 1412 H; Alu Sa’di, Abdurrahman bin Nasir, Taisir al-Karim al-Rahman, hal. 504, Maktabah al-Nahdah al-‘Arabiyah, Beirut, Cetakan Kedua, 1408 H; al-Shagir, Muhammad bin Husain Ali, Tārikh al-Qur’ān, hal. 163, Dar al-Muarrikh al-Arabi, Beirut, Cetakan Pertama, 1420 H.
[4] Majlisi, Muhamad Baqir, Bihār al-Anwār, jil. 89, hal. 277, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[5] Khui, Sayid Abul Qasim, al-Bayān fi Tafsir al-Qur’ān, hal. 207, Muassasah Ihya Atsar al-Imam al-Khui, Qum, Tanpa Tahun.
[6] Najjar Zadegan, Fathullah, Tahrif Nāpaziri Qur’ān, hal. 28, Masy’ar, Tehran, Cetakan Pertama, 1384 S.
[7]Tahrif Nāpaziri Qur’ān, hal. 30.
[8] Tahrif Nāpaziri Qur’ān, hal. 29; silahkan lihat, Indeks: Shahih Bukhari dan Hadits Tsaqalain, Pertanyaan 6921.
[9] Silahkan lihat, al-Bayan fi Tafsir al-Qur’ān, hal. 212.
[10] Silahkan lihat, ibid, hal. 215-219.
© 2024 Tanya Islam. All Rights Reserved.