Rasulullah Saw adalah murni hamba Allah Swt dan beliau tidak melakukan sesuatu apapun atas dasar keinginan sendiri; mengingat Allah Swt berfirman tentangnya,
«
وَما یَنْطِقُ عَنِ الْهَوى .
إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْیٌ یُوحى»
“
Dan dia tidak berbicara menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”
[1] (Qs. al-Najm [53]:3-4)
Menurut ayat ini, segala perkataan, perbuatan dan amalan-amalan nabi sesuai dengan perintah dan sejalan dengan wahyu Ilahi. Oleh itu, tidak ada orang yang dapat mengklaim bahwa beliau melakukan perubahan dalam al-Quran atas dasar keinginin sendiri, secara khusus Allah Swt pada satu ayat dalam al-Quran menekankan masalah ini dan berfirman:
«وَلَوْ تَقَوَّلَ عَلَیْنا بَعْضَ الْأَقاویلِ
.لَأَخَذْنا مِنْهُ بِالْیَمینِ
. ثُمَّ لَقَطَعْنا مِنْهُ الْوَتینَ
. فَما مِنْکُمْ مِنْ أَحَدٍ عَنْهُ حاجِزینَ»
“
Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian ucapan atas (nama) Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia dengan kuat, kemudian benar-benar Kami potong urat jantungnya. Dan sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami) dari memotong urat nadi itu.” (Qs. al-Haqqah [69]:44-47)
Di sisi lain, Allah Swt memberikan jaminan bahwa Kitab suci-Nya yaitu al-Quran dilindungi dari segala distorsi dan perubahan. Oleh itu, segala perkataan yang menjadi alasan atas distorsi atau perubahan dalam al-Quran oleh makhluk-makhluk tidak dapat diterima dan bertentangan dengan banyak ayat-ayat al-Quran dan riwayat-riwayat Ahlubait As.
Dalam ajaran Islam perempuan tidak pernah sama sekali dianggap sebagai budak laki-laki. Dan begitupun laki-laki memiliki kewajiban terhadap pasangan (istrinya) yang mengikat mereka; perempuan yang melaksanakan kewajiban terhadap pasangan sendiri (suami) bukan berarti perempuan (tersebut) adalah budak.
[2]