Mengapa Allah Swt menyebut umat Muslim sebagai umat pertengahan? Apakah makna umat pertengahan itu?

Allah Swt, dalam al-Quran, menggunakan ungkapan “ummatan wasatha” bagi umat Muslim. Terdapat beberapa pandangan yang berbeda terkait dengan apa yang dimaksud dengan umatan wasatha ini.
  1. Pada kebanyakan penafsiran Syiah dan Sunni disebutkan bahwa umattan wasatha disamakan dengan keadilan yaitu pertengahan dan sikap moderat. Artinya Kami telah menjadikan umat Muslim itu sebagai umat pertengahan dan moderat.
  2. Sebagian ahli tafsir meyakini bahwa ummatan wasatha artinya umat terbaik yang dipilih oleh Allah Swt.
  3. Sebagian ahli tafsir Syiah memandang bahwa ummatan wasatha bermakna perantara antara Rasulullah Saw dan umat Muslim serta membatasi personifikasinya pada para Imam Maksum As.
Pandangan-pandangan ini saling berdekatan; karena itu sebagian ahli tafsir memandangnya masing-masing memiliki kemungkinan benar.
 
 Allah Swt, dalam al-Quran, menggunakan ungkapan “ummatan wasatha” bagi umat Muslim. Namun untuk memahami makna ini maka kita harus melihat ayat sebelumnya; karena Allah Swt  menyampaikan ummatan wasatha kepada umat Muslim sebagai kelanjutan dari ayat sebelumnya.
Pada ayat ini, Allah Swt pertama-tama mengangkat masalah perubahan kiblat dan protes para pengikut Yahudi dan orang-orang musyrik kepada kaum Muslim. Allah Swt menyatakan:
«سَیَقُوْلُ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلاَهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِیْ کَانُوْا عَلَیْهَا»
“Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata (baca: mempertanyakan), “Apakah yang memalingkan mereka dari kiblat (Baitul Maqdis) yang selama ini mereka telah berkiblat kepadanya?” (Qs. Al-Baqarah [2]:142)
Kemudian menginstruksikan kepada Rasulullah Saw dan kaum Muslim untuk menjawab mereka dengan berkata:
«قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَ الْمَغْرِبُ یَهْدی مَنْ یَشاءُ إِلى‏ صِراطٍ مُسْتَقیمٍ»
“Katakanlah, “Hanya milik Allah-lah Timur dan Barat. Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.” (Qs. Al-Baqarah [2]:142)
Kemudian sebagai kelanjutan ayat ini, Allah Swt berfirman:
«وَ کَذلِکَ جَعَلْناکُمْ أُمَّةً وَسَطاً …».
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pertengahan.”
(Qs. Al-Baqarah [2]:143)
Namun masalah yang patut mendapat perhatian pada ayat sebelumnya kita patut bertanya terkait dengan gerangan apa yang menjadikan umat Muslim sehingga Allah Swt menyebut mereka sebagai umat pertengahan (umatan wasatha)? Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat sebagaimana berikut:
  1. Sebagian ahli tafsir memandang kata “kadzalik” sebagai konjungsi atas frase kalimat “yahdi man yasya ila shiratin mustaqim.” Artinya sebagiamana Kami telah memberikan petunjuk kepada kalian ke jalan yang lurus, kami menjadikan kalian sebagai umat pertengahan.[1] Sebagian ahli tafsir lainnya yang dekat dengan pandangan ini berkata, “Sebagiamana Kami telah merubah kiblat untuk kalian sehingga Kami memberikan petunjuk kepada kalian ke jalan yang lurus, kami juga menjadikan kalian sebagai umat pertengahan.”[2]
  2. Ada kemungkinan bahwa tatkala Allah Swt berfirman, “Bagi Allah Timur dan Barat” merupakan sebuah ketentuan bahwa seluruh alam semesta dan seluruh ruang yang ada di dalamnya adalah sama dan seluruhnya adalah milik Allah Swt. Namun Allah Swt memberikan kemulian dan kehormatan tertentu bagi sebagian dari alam semesta kemudian menjadikannya sebagai kiblat. Kalau memang demikian, posisi seluruh manusia dalam penghambaan adalah sama. Namun Allah Swt menganugerahi sebagian umat yaitu Islam dengan kebesaran dan keutamaan. Kebaikan ini diberikan Allah Swt kepada umat Islam.[3]
Terdapat pandangan lain dalam hal ini namun bukan tempatnya menurunkan semua pandangan yang ada karena terbatasnya ruang dan waktu.[4]
Kemudian Allah Swt berfirman, “
«وَ کَذلِکَ جَعَلْناکُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِتَکُونُوا شُهَداءَ عَلَى النَّاسِ وَ یَکُونَ الرَّسُولُ عَلَیْکُمْ شَهیداً … ».
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pertengahan  agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) seluruh umat manusia dan supaya rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Qs al-Baqarah [2]:143)
 
Adapun apa yang dimaksud dengan ummatan wasathah itu apa? Terdapat beberapa pandangan yang akan dijelaskan secara ringkas sebagaimana berikut:
  1. Pada kebanyakan penafsiran Syiah dan Sunni disebutkan bahwa ummatan wasatha disamakan dengan keadilan yaitu pertengahan dan sikap moderat.[5] Artinya Kami telah menjadikan umat Muslim itu sebagai umat pertengahan dan moderat.[6] Sebagian lainnya menjelaskan dengan kata mu’tadil dan memilih jalan tengah.[7]
  2. Sebagian ahli tafsir meyakini bahwa ummatan wasatha itu artinya umat terbaik yang dipilih oleh Allah Swt.[8] Sebagian lainnya menyebutkan makna ini dengan memberikan kemungkinan.[9]
  3. Yang dimaksudkan Allah Swt dengan makna ini adalah Ahl al-Bait dimana mereka merupakan media perantara antara Rasulullah Saw dan umat dimana pada setiap zaman terdapat imam bagi setiap penduduk setiap masa dan juga Rasulullah Saw juga menjadi saksi bagi mereka.[10]
Berdasarkan pandangan ini, kata ganti “ja’alnakum” terbatas pada para Imam Maksum As dan mereka adalah orang-orang yang dijadikan Allah Swt sebagai penegah antara Rasulullah Saw dan manusia. Terdapat banyak riwayat yang mengandung makna bahwa personifikasi ummatan wasatha itu adalah para Imam Maksum As.[11] Patut untuk disebutkan bahwa sebagian Ahlusunnah juga mengutip riwayat ini. [12] Demikian juga orang-orang yang meyakini pandangan ini, menerima pandangan pertama dan kedua serta menambahkan sisi keperantaraan orang-orang ini moderat dan telah dipilih ini. Atas dasar itu, pada umumnya disebutkan ungkapan, “’adlan wa wasithatan baina al-rasul wa al-nas”yang tentu saja dari riwayat-riwayat yang ada dalam hal ini kesimpulan ini dapat diambil.
Patut untuk disebutkan para pengikut Syiah juga menerima ucapan pertama dan ucapan kedua, namun memandang bahwa para Imam Maksum As adalah personifikasi sempurna ummatan wasatha `yang juga banyak disebutkan pada riwayat-riwayat dari beberapa jenis ayat ini.[13]
Di samping itu, sebagian ahli tafsir mengemukakan dengan baik bahwa pandangan pertama dan kedua dapat digabungkan karena kedua pandangan ini saling berdekatan.[14]
Namun berkaitan dengan bagian ayat yang menyatakan:
«لِتَکُونُوا شُهَداءَ عَلَى النَّاسِ وَ یَکُونَ الرَّسُولُ عَلَیْکُمْ شَهیداً»،
“Agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) seluruh umat manusia dan supaya rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Qs. al-Baqarah [2]:143)
Juga terdapat beberapa pandangan, antara lain:
  1. Mereka memberikan kesaksian atas manusia selain umat Muslim sehingga Allah Swt menuntaskan hujjah bagi mereka.[15]
  2. Ungkapan “syahadah” (kesaksian) umat Islam atas umat manusia sedunia dan demikian juga posisi Rasulullah Saw sebagai saksi atas kaum Muslim.” (terjemahan ayat di atas). Ungkapan ini boleh jadi menyinggung tentang keteladananan dan sosok teladan karena para saksi yang dipilih senantiasa dari orang-orang terbaik satu kaum; artinya kalian dengan memiliki keyakinan dan ajaran ini, adalah umat teladan, sebagaimana Rasulullah Saw di antara kalian adalah seorang teladan.[16] Tentu saja banyak lagi pandangan yang dikemukakan terkait dengan masalah ini, namun karena keterbatasan ruang dan waktu kami cukupkan sampai di sini.[17]  
 

[1]. ‘Alauddin Ali bin Muhammad Baghdadi, Lubâb al-Ta’wil fi Ma’âni al-Tanzil, Diedit oleh Muhammad Ali Syahin, jil. 1, hal. 87, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1415 H. Ni’matullah bin Muhammad Nakhjawani, al-Fawâtih al-Ilahiyyah wa al-Mafâtih al-Ghaibiyyah, jil. 1, hal. 55, Dar Rikbai lin Nasyr, Mesir, Cetakan Pertama, 1999 M.
[2]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 1, hal. 319, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Kelima, 1417 H; Fadhl bin Hasan Thabarsi, Tafsir Jawâmi’ al-Jâmi’, jil. 1, hal. 85, Intisyarat Danesygah Tehran, Mudiriyat Hauzah Ilmiah Qum, Tehran, Cetakan Pertama, 1377 S.
[3]. Muhammad bin Umar, Fakruddin Razi, Mafâtih al-Ghaib, jil. 4, hal. 84, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Ketiga, 1420 H.
[4]. Sebagai contoh, silahkan lihat, Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 483, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Pertama, 1374 S.
[5]. Sahl bin Abdullah Tustari, Tafsir al-Tustari, Riset oleh Muhammad Basil ‘Uyun al-Sud, hal. 32, Mansyurat Muhammad Ali Baidhun, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1423 H.
[6]Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 483.
[7]Al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 1, hal. 319.  
[8]. Ismail bin Amru,  Ibnu Katsir Dimasyqi, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhim, Riset oleh Muhammad Husain Syamsuddin, jil. 1, hal. 327, Mansyurat Muhammad Ali Baidhun, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1419 H.
[9]Tafsir Jawâmi’ al-Jâmi’, jil. 1, hal. 85-86.
[10].  Fadhl bin Hasan Thabarsi, Majma’ al-Bayân fi Tafsir al-Qur’an, Mukaddimah, Muhammad Jawad Balaghi, jil. 1, hal. 415, Nasir Khusruw, Tehran, Cetakan Ketiga, 1372 S; Mulla Muhsin Faidh Kasyani, Tafsir al-Shâfi, Riset oleh Husain A’lami, jil. 1, hal. 197, Intisyarat al-Shadr, Tehran, Cetakan Kedua, 1415 H; Ali Ibrahim Qummi, Tafsir al-Qummi, Riset dan edit oleh Sayid Thayyib Musawi Jazairi, jil. 1, hal. 63, Dar al-Kitab, Qum, Cetakan Ketiga, 1404 H; Sayid Syarafuddin Ali Husaini Astarabadi, Ta’wil al-Âyat al-Zhâhirah, hal. 86, Daftar Intisyarat Islami Qum, Cetakan Pertama, 1409 H.
[11].  Untuk mengetahui riwayat-riwayat ini silahkan lihat, Muhammad bin Hasan Shafar, Bashâir al-Darajât fi Fadhâil Âli Muhammad Saw, Riset dan edit oleh Muhsin bin Abbas Ali Kuce Baghi, jil. 1, hal. 82, Maktabah Ayatullah Mar’asyi al-Najafi, Qum, Cetakan Kedua, 1404 H. Muhammad bin Yakub Kulaini, al-Kâfi, riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi, jil. 1, hal. 1990, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Keempat, 1407 H; Nu’man bin Muhammad Maghribi Ibnu Hayyun, Da’âim al-Islâm wa Dzikr al-Halâl wa al-Harâm wa al-Qadhâyah wa al-Ahkam, Riset dan edit oleh Ashif Faidhi, jil. 1, hal. 21, Muassasah Alu al-Bait As, Qum, Cetakan Kedua, 1385 H.
[12].  Silahkan lihat, Ubaidillah bin Ahmad Huskani, Syawâhid al-Tanzil li Qawâid al-Tafdhil, Riset oleh Muhammad Baqir Mahmudi, jil. 1, hal. 119, Sazeman Cap wa Intisyarat Wizarat Irsyad Islami, Tehran, Cetakan Pertama, 1411 H.
[13]Tafsir al-Qummi, jil. 1, hal. 63; Majma’ al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 1, hal. 415; Muhammad bin Ali Syarif Lahiji, Tafsir Syarif Lahiji, Riset oleh Husaini Armawi (Muhaddits), Mir Jalaluddin, jil. 1, hal. 126, Daftar Nasyr Dad, Tehran, Cetakan Pertama, 1373 S.  
[14].  Mafâtih al-Ghaib, jil. 4, hal. 85.
[15]. Ahmad bin Abi Sa’ad Rasyiduddin Maibadi, Kasyf al-Asrâr wa Iddah al-Abrâr, Riset oleh Ali Asghar Hikmat, jil. 1, hal. 390, Amir Kabir, Tehran, Cetakan Kelima, 1371 S.
[16]Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 483-484.
[17]. Silahkan lihat, Sayid Abdullah Syubbar, Tafsir al-Qur’an al-Karim, hal. 61, Dar al-Balaghah li al-Thiba’ah wa al-Nasyr, Beirut, Cetakan Pertama, 1412 H; Muhammad bin Hasan Syaikh Thusi, al-Tibyân fi Tafsir al-Qur’ân, dengan pendahuluan oleh Syaikh Agha Buzurgh Tehrani, Riset oleh Ahmad Qashir Amili, jil. 2, hal. 7, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Tanpa Tahun.
© 2024 Tanya Islam. All Rights Reserved.