Apakah Rasulullah Saw bermuka masam ketika melihat seorang fakir di antara para orang kaya?

Empat ayat pendahuluan surah ‘Abasa secara umum merupakan penjelas bahwa Allah Swt tengah menegur dan menyalahkan seseorang pada ayat-ayat ini; berdasarkan kronologi ayat ini, di sini orang atau orang-orang kaya dan hartawan lebih memiliki prioritas atas seorang buta yang mencari kebenaran, namun siapakah orang yang tengah dicela dan ditegur pada ayat ini? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli tafsir.

Yang popular di kalangan ahli tafsir (mufassir) Ahlusunnah dan Syiah adalah bahwa sebagian pemuka Quraisy seperti Utbah bin Rabi’ah, Abu Jahal, Abbas bin Abdul Muthhalib dan sekelompok orang lainnya datang kepada Rasulullah Saw. Ketika itu, Rasulullah Saw tengah sibuk bertabligh dan menyeru mereka kepada Islam serta berharap semoga seruan-seruan ini tertanam dan membekas pada hati-hati mereka. Saat itulah, Abdullah bin Ummi Maktum yang merupakan seorang buta (tuna netra) dan fakir memasuki majelis Rasulullah Saw. Ia meminta supaya Rasulullah Saw membacakan dan mengajarkan ayat-ayat al-Quran kepadanya.

Abdullah bin Ummi Maktum berkukuh mengulang permintaannya dan tidak bersikap tenang; karena ia tidak mengetahui bahwa dengan siapa gerangan Rasulullah Saw berbicara. Sedemikian Abdullah bin Ummi Maktum memotong pembicaraan Rasulullah Saw sehingga membuat beliau kecewa kepadanya dan kekecewaan ini terlihat pada raut wajah Rasulullah Saw. Beliau kemudian membelakangi Abdullah bin Ummi Maktum dan melanjutkan pembicaraannya dengan para pemuka Quraisy.

Saat-saat seperti itulah, ayat-ayat pendahuluan surah ‘Abasa turun dan dalam hal ini Rasulullah Saw ditegur dan disalahkan atas perlakuannya kepada Abdullah bin Ummi Maktum.[1]

Sandaran kelompok riwayat ini disebutkan Suyuthi dalam kitab tafsirnya Durr al-Mantsur menukil dari Aisyah, Anas dan Ibnu Abbas – namun dengan sedikit perbedaan – dan apa yang dikutip oleh Thabarsi dalam Majma al-Bayan adalah ringkasan dari riwayat-riwayat tersebut.[2]

Hanya saja, tidak terdapat hal (indikasi atau bukti) yang dapat menunjukkan secara tegas bahwa yang dimaksud pada ayat ini adalah Rasulullah Saw. Satu-satunya yang dapat dijadikan sebagai bukti dalam hal ini adalah ungkapan-ungkapan yang disebutkan pada ayat-ayat 8 sampai 10 surah ini yang menyatakan, “Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendengarkan ayat-ayat Allah), sedang ia takut kepada (Allah), kamu mengabaikannya.” Tentu, Rasulullah Saw lebih baik dari siapa pun yang dimaksud dengan obyek ayat ini.[3]

Namun sekelompok ahli tafsir meyakini bahwa kejadian seperti ini juga tidak terjadi dan ayat-ayat ini tidak memberikan petunjuk secara jelas bahwa yang dimaksud pada ayat-ayat yang menjadi obyek teguran Allah Swt adalah Rasulullah Saw, sebaliknya ayat tersebut sekedar memberikan berita dan tidak menunjuk secara lugas siapa pemilik berita. Dalam hal ini, terdapat beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa yang ditegur pada ayat ini bukanlah Rasulullah Saw. Beberapa indikasi tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

Kita tahu bahwa sifat bermuka masam (‘abus) bukanlah sifat Rasulullah Saw dan beliau bahkan tidak pernah sekali pun bermuka masam kepada orang-orang kafir apatah lagi kepada orang-orang beriman. Terlepas dari itu, kritikan Sayid Murtadha Rah yang dilontarkan atas riwayat-riwayat seperti ini yang menyatakan bahwa secara prinsip bukan merupakan akhlak dan kepribadian Rasulullah Saw. Sepanjang hayatnya, Rasulullah Saw sekali-kali tidak pernah bersikap ingin mengambil hati orang-orang kaya dan berpaling dari orang-orang fakir.

Di samping itu, Allah Swt sendiri yang memandang Rasulullah Saw sebagai orang yang berbudi pekerti luhur dan sebelum turunnya ayat yang menjadi obyek bahasan (surah ‘Abasa), surah al-Qalam (58), sesuai dengan riwayat urutan pewahyuan surah-surah, turun setelah surah al-‘Alaq (Iqra bismihi rabbika) dimana Allah Swt berfirman, “Wa innaka l‘ala khuluqin ‘azhim” [4] bagaimana mungkin pada awal-awal pengutusanya Rasulullah Saw berbudi pekerti luhur (itu pun secara mutlak), dan Allah Swt memuji sifat ini juga secara mutlak, kemudian berpaling dan kembali menegurnya karena masalah-masalah akhlak seperti bermuka masam dan menyandarkan sifat tercela ini kepadanya (bahwa engkau lebih condong kepada orang-orang kaya meski mereka adalah orang-orang kafir dan untuk merebut hati mereka engkau berpaling dari orang-orang fakir meskipun ia adalah seorang beriman)!

Terlepas dari semua ini, bukankah Rasulullah Saw sendiri yang bersabda, “(Oleh karena itu), janganlah sekali-kali kamu menujukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati karena apa yang mereka miliki, serta berendah dirilah terhadap orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-Hijr [15]:88) Lantas bagaimana mungkin pada surah al-Hijr (15) yang diturunkan pada masa-masa dakwah Islam secara terbuka Rasulullah Saw diperintahkan untuk tidak peduli dengan harta yang dimiliki para pecinta dunia dan sebagai gantinya beliau diinstruksikan untuk bersikap rendah hati di hadapan orang-orang beriman.

Pada surah ini sendiri dan dengan konteks yang sama, Rasulullah Saw dititahkan untuk berpaling dari orang-orang musyrik sebagaimana firman Allah Swt, “Maka sampaikanlah secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (Qs. Al-Hijr [15]:94) kemudian diberitakan (pada surah ‘Abasa) bahwa Rasulullah Saw alih-alih berpaling dari orang-orang musyrik, beliau justru membelakangi orang-orang beriman, dan alih-alih bersikap rendah hati di hadapan orang-orang beriman, beliau justru tawadhu di hadapan orang-orang musyrik!

Di samping itu, tercelanya perbuatan yang disebutkan di atas adalah berdasarkan hukum rasionalitas dan setiap orang berakal tentu mencela perbuatan tersebut apatah lagi menyangkut Rasulullah Saw. Karena perbuatan ini tercela secara rasional maka tidak perlu lagi ada larangan literal dan lisan kepada Nabi Pamungkas Muhammad Saw. Karena setiap orang berakal dapat mengidentifikasi bahwa harta benda dan kekayaan sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai kriteria keutamaan seseorang dan mengutamakan seorang kaya disebabkan oleh kekayaannya atas orang fakir adalah perbuatan tercela.[5]

Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian di atas adalah bahwa pandangan pertama (pendapat masyhur) adalah pandangan yang tertolak meski bahwa apabila Rasulullah Saw disebabkan oleh tekanan seseorang, sedikit gentar dan takut, tidak melakukan perbuatan haram, melainkan berdasarkan penafsiran seperti ini, boleh jadi Rasulullah Saw melakukan perbuatan tark aula (meninggalkan yang utama) sehingga Allah Swt menegur Rasul-Nya dan hal ini tidak bertentangan dengan sifat ishmah (kemaksuman) pada diri Rasulullah Saw. Karena pertama tujuan Rasulullah Saw tidak lain adalah melakukan penetrasi di kalangan pemuka Quraisy dan menyebarluaskan ajaran Islam melalui cara ini serta mendobrak perlawanan mereka.

Kedua: Bermuka masam di hadapan seorang buta tentu tidak akan menimbulkan masalah; karena ia tidak melihat (muka masam Rasulullah Saw) di samping itu, Abdullah bin Ummi Maktum juga tidak mengindahkan adab-adab majelis; karena tatkala ia mendengar Rasulullah Saw bercakap-cakap dengan pemuka Quraisy seharusnya ia tidak memotong percakapan Rasulullah Saw.[6]

[1]. Silahkan lihat, Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 26, hal. 123-124, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S.

[2]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizân, Terjemahan Persia oleh Sayid Muhammad Baqir Musawi Hamadani, jil. 20, hal. 330, Daftar Intisyarat Islami ,Qum, Cetakan Kelima, 1374 S.

[3]. Silahkan lihat, Tafsir Nemune, jil. 26, hal. 125.

[4]. “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Qs. Al-Qalam [68]:4)

[5]. Terjemahan Persia Tafsir al-Mizân, jil. 20, hal. 331-332.

[6]. Tafsir Nemune, jil. 26, hal. 125-126.

© 2024 Tanya Islam. All Rights Reserved.