Al-Quran pada ayat yang dimaksud dinyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepada kamu sebelum datang hari, yang pada hari itu tiada lagi jual beli (sehingga kalian dapat membeli kebahagiaan dan keselamatan untuk diri kalian), persahabatan yang akrab (persahabat-persahabat yang mendatangkan keuntungan materi), dan syafaat (karena kamu akan tidak layak memperoleh syafaat). Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zalim (yang menzalimi diri sendiri dan orang lain).” (Qs. Al-Baqarah [2]:254)
Ayat ini berbicara kepada kaum Muslimin dan menyinggung salah satu tugas yang dapat menyebabkan persatuan dan penguatan pemerintahan serta pertahanan serta jihad.
Kemudian menyinggung tentang pengaruh ukhrawi perbuatan mulia ini yang akan menyelamatkan manusia pada hari perhitungan. Dan sebaliknya meninggalkan infak dan menumpuk harta serta bersikap bakhil kepada orang lain akan menyebabkan penderitaan pada hari kiamat.[1]
Sehubungan dengan pertanyaan yang Anda ajukan harus kami katakan bahwa kebetulan al-Quran menukil pertanyaan ini dari ucapan orang kafir dan menyatakan perbuatan seperti ini sebagai bentuk sikap keras kepala dan pembangkangan mereka. Al-Quran menyatakan, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah dianugerahkan Allah kepadamu”, maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman, “Apakah kami akan memberi makan kepada orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan? (Allah-lah yang menghendaki dia lapar). Tidaklah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Yasin [36]:46)
Logika seperti ini adalah logika awam dan merupakan pandangan picik orang-orang bakhil karena menurut sangkaannya, untuk mengumpulkan harta lebih banyak dan untuk menjustifikasi perbuatannya, bahwa “Apabila si fulan fakir tentu saja ia telah melakukan sesuatu yang dikehendaki Tuhan, dan kalau kami kaya tentu kami melakukan sesuatu sehingga mendapatkan kemurahan Tuhan. Karena itu, bukan kefakiran mereka dan juga bukan kekayaan kita yang tanpa hikmah!!
Apabila Tuhan pemberi rezeki lantas mengapa kalian meminta kami untuk memberikan rezeki kepada orang-orang fakir? Dan apabila Tuhan menghendaki ia fakir lantas mengapa kita harus memberikan derma kepada orang yang dikehendaki fakir oleh Tuhan?
Orang-orang seperti ini lalai terhadap perintah Ilahi untuk berinfak disebabkan oleh beberapa hikmah dan falsafah yang berbeda-beda. Di antara falsafah mengapa kita diperintahkan untuk berinfak adalah sebagai berikut:
Sebagai ujian untuk orang-orang kaya: Dunia adalah medan ujian dan cobaan. Allah Swt menguji salah seorang hamba-Nya dengan kemiskinan dan hamba lainnya dengan kekayaan. Terkadang seorang manusia pada dua masa diuji dengan dua kondisi ini apakah tatkala ia menjadi seorang fakir apakah ia tetap sebagai orang yang amanah dan pandai bersyukur? Atau ia menginjak-injak semua ini? Dan tatkala diberikan kekayaan, apakah ia berderma dengan apa yang dimilikinya atau tidak?
Melepaskan kecintaan luar biasa manusia yang terpendam dalam hatinya kepada dunia: Dalam beberapa hadis para Imam Maksum As kecintaan kepada dunia dipandang sebagai akar dan biang seluruh kesalahan dan dosa.[2] Manusia dengan berinfak akan menyebabkan hilangnya kecintaan yang beracun ini dalam dirinya.
Menciptakan kelembutan hati dalam diri manusia: Lembut hati adalah lawan keras hati. Keras hati akan mengeluarkan manusia dari sifat kemanusiaan, boleh jadi kondisi ini akan memudahkan manusia melakukan dosa. Namun tatkala manusia meringankan beban orang-orang fakir dan memandang dirinya bertanggung jawab atas hidup mereka maka ia akan memiliki hati yang pemurah dan pengasih.
Bersyukur atas segala karunia Ilahi: Syukur segala karunia Ilahi dapat dilakukan dengan pelbagai cara dan sebaik-baik syukur adalah syukur yang ditunjukkan dengan perbuatan.
Menambah karunia: Allah Swt menjamin infak orang-orang beriman dan bertakwa akan melipatgandakan bahkan beribu-ribu kali lipat anugerah material dan spiritual – dan minimal sepuluh kali lipat – sebagai ganti infak yang dilakukannya.[3] Karena itu orang yang berinfak tatkala berinfak dengan semangat dan keyakinan seperti ini maka hatinya akan semakin terbuka dan ia tidak akan pernah merasa kekurangan dan pikiran fakir tidak akan melintas dalam benaknya, bahkan ia bersyukur kepada Allah Swt atas anugerah dapat melakukan perniagaan menguntungkan seperti ini. Insan beriman tidak hanya tidak takut atas berkurangnya harta dan menjadi fakir dan semisalnya, bahkan ia merasa yakin bahwa infak adalah transaksi yang mengutungkan. Di samping terjaga, bahkan modalnya akan semakin bertambah.
Infak adalah tanda ketulusan dalam iman. Nilai iman adalah ketulusannya dan kalau tidak hanyalah merupakan hiasan bibir semata dan tidak memiliki nilai pada tataran amalan. Al-Quran dalam hal ini menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (Qs. Al-Hujurat [49]:15)
Menciptakan ketenangan jiwa dan batin: Salah satu amalan baik secara umum dan infak secara khusus adalah adanya ketenangan batin dan jiwa yang dialami oleh seseorang yang berderma dan berinfak. Terkait dengan peran infak dalam menciptakan ketenangan jiwa dan batin kita dapat berkaca pada ayat ini, “Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhan-nya. Tiada kekhawatiran bagi mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Qs. Al-Baqarah [2]:274)
Menjauhkan musibah dan kematian buruk merupakan salah satu pengaruh infak yang juga disebutkan dalam beberapa riwayat. Imam Baqir As bersabda, “Sedekah akan menjauhkan 70 musibah dan juga kematian buruk dari manusia karena orang yang bersedekah sekali-kali tidak akan mati dengan kematian buruk.”[4]
Atas dasar itu, meski sistem penciptaan (takwini) menuntut bahwa Allah Swt menyerahkan bumi kepada manusia dengan segala karunianya dan memberikan kebebasan kepada mereka dalam amalan-amalannya untuk mencapai kesempurnaan. Allah Swt menciptakan insting-insting dalam diri manusia yang masing-masing menuntunnya ke suatu arah.
Namun dalam sistem tasyri’i-Nya, Allah Swt mengontrol insting-insting, penyucian jiwa, dan pembinaan manusia melalui jalan pengorbanan dan infak sehingga manusia yang memiliki potensi dapat sampai pada makam khalifah Ilahi melalui jalan ini. Menyucikan jiwa melalui zakat, menyingkirkan sifat bakhil dalam diri dengan jalan infak, menghilangkan starata yang menjadi sumber ribuan kerusakan dalam kehidupan manusia dan lain sebagainya. Dengan kata lain, Allah Swt ingin memberikan manusia peran untuk memperbaiki kondisi dunia sehingga melalui jalan ini dunia juga sampai pada kesempurnaan demikian juga manusia! Poin yang sangat penting bahwa seluruh pengaruh ini hanya dapat diperoleh tatkala harta yang diinfakkan adalah harta halal dan legal lantaran Allah Swt tidak akan menerima selain harta halal dan bahwa harta haram tidak memberikan keberkahan kepada manusia.
[1]. Tafsir Nemune, jil. 2, hal. 258.
[2]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kafi, jil. 2, hal. 131, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
“… َحُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيئَةٍ …”
[3]. “Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah, baik laki-laki maupun perempuan, dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya pinjaman yang baik itu akan dilipatgandakan kepada mereka, dan bagi mereka pahala yang sangat berharga.” (Qs. Al-Hadid [57]:18)
[4]. Al-Kafi, jil. 4, hal. 3.
عَلِيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سِنَانٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع يَقُولُ الصَّدَقَةُ بِالْيَدِ تَقِي مِيتَةَ السَّوْءِ وَ تَدْفَعُ سَبْعِينَ نَوْعاً مِنْ أَنْوَاعِ الْبَلَاءِ…