Pada surah al-Nisa ayat 29 disebutkan, “….illa an takuna tijâratan an tarâdhin minkum (kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu)..” mengapa dinyatakan dengan tarâdh minkum dan tidak dinyatakan dengan tarâdh bainakum?”

Ayat “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu..” (Qs. Al-Nisa [4]:29) adalah ayat yang menerangkan aturan-aturan Islam dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan transaksi barang. Karena itu, para juris (fakih) Islam menjadikan ayat tersebut sebagai dasar argumentasi dalam masalah-masalah transaksi.

Redaksi, “Illâ an takuna tijâratan ‘an tarâdhin” (kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu) pada ayat yang dimaksud yang digunakan adalah istisna munqathi[1] dari hukum universal sebelumnya; artinya bahwa segala jenis penggunaan pada harta orang lain yang dilakukan dengan cara batil, tidak benar dan tidak secara syar’i adalah batil dan haram, kecuali melalui jalan perniagaan (yang dijalankan berdasarkan akad) dan itu pun harus disertai dengan keridhaan dari kedua belah pihak yang bertransaksi; karena itu, seluruh transaksi barang dan segala jenis perniagaan apabila dilakukan atas dasar suka sama suka dan melalui jalan syari, maka dalam pandangan Islam transaksi dan perniagaan ini adalah sah.[2]

Perbedaan antara ungkapan antara “amwâl bainakum” dan “tarâdh minkum” (suka sama suka di antara kamu) disebabkan oleh karena dalam perniagaan (tijârat); keridhaan atau suka sama suka merupakan perkara mental dan intrinsik yang keluar dari kedua belah pihak yang bertransaksi, karena itu digunakan redaksi “minkum”[3] yang menandakan adanya keridhaan dan suka sama suka (di antara kedua belah pihak yang bertransaksi).

Adapun redaksi “lâ ta’kulu amwâlakum” (janganlah kamu memakan harta) dikaitkan dengan “bainakum” (sesamamu) menunjukkan terkumpulnya sebuah harta dan penyerahan harta tersebut,[4] karena itu digunakan ungkapan “bain” untuk menujukkan pada poin sublim ini.

[1]. Istisnâ munqathi artinya yang dikecualikan bukan bagian/jenis yang disebut sebelumnya.
[2]. Silahkan lihat, Miqdad bin Abdullah Siwari Hilli, Kanz al-Irfân fi Fiqh al-Qur’ân, jil. 2, hal. 33 dan 34, Qum, Cetakan Pertama, Tanpa Tahun; Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 3, hal. 355, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S; Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 4, hal. 317, Daftar Intisyarat-e Islami, Qum, Cetakan Kelima, 1417 H.

[3]. Abdullah Baidhawi, Anwâr al-Tanzil wa Asrâr al-Ta’wil, jil. 2, hal. 70, Dar al-Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, 1418 H.

[4]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 4, hal. 317, Daftar Intisyarat-e Islami, Qum, 1374 S.

© 2024 Tanya Islam. All Rights Reserved.