Dalam al-Quran, Allah Swt setelah memerintahkan manusia untuk meninggalkan syirik, memerintahkan manusia untuk berbuat baik atas hak-hak ayah dan ibu. Mengutip Allamah Thabathabai: “Setelah tauhid, salah satu kewajiban utama Ilahi adalah berbuat baik kepada kedua orang tua.”[1]
Berbuat baik ini tidak ada bedanya apakah orang tuanya mukmin ataukah kafir karena ayat al-Quran itu bersifat mutlak (tanpa qaid), “Berbuat baiklah terhadap kedua orang tua.”[2]
Adapun sehubungan dengan pertanyaan Anda, harus dikatakan bahwa:
- Kadang-kadang kedua orang tua secara bersamaan memerintahkan anaknya untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang bertentangan dengan hukum-hukum syar’i. Dalam hal ini , tentu tidak wajib untuk memenuhi perintah mereka.
Al-Quran terkait dengan hal ini berfirman, “Dan Kami berwasiat kepada manusia untuk (berbuat) kebaikan kepada dua orang tuanya. Dan jika mereka memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti mereka.” (Qs Al-Ankabut [29]: 8)[3]
Imam Ali As bersabda, “Taat kepada makhluk (siapapun dia) dalam mengerjakan kemaksiatan Ilahi, tidak dapat diterima.[4] Atau “Hak ayah adalah ditaati perintahnya dalam urusan-urusan yang tidak bermaksiat kepada Tuhan.” [5]
Imam Ridha As berkenaan dengan hal ini bersabda, “Berbuat baik kepada ayah dan ibu adalah wajib, walaupun mereka musyrik, namun jika mereka memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah, maka tidak boleh mentaatinya.”[6]
Namun apabila tidak dalam demikian, seperti dalam hal-hal yang mustahab, makruh dan mubah maka wajib untuk mentaati mereka. Oleh itu, para fakih berkata:
- Apabila ayah dan ibu melarang anaknya untuk mengerjakan puasa mustahab, maka mengikut prinsip kehati-hatian (ihtiyāth) untuk tidak berpuasa. Demikian juga apabila puasa mustahab yang dikerjakan seorang anak menyebabkan terganggunya orang tua, maka tidak boleh berpuasa dan apabila anak berpuasa, maka ia harus berbuka (membatalkan puasanya).[7]
- Apabila ayah atau ibu memerintahkan anaknya untuk mengerjakan salat berjamaah, dari sisi bahwa seorang anak harus taat atas perintah orang tua, maka mengikuti prinsip ihtiyāth wājib, ia harus mengerjakan salat berjamaah dengan niat mustahab saja.[8]
- Mengerjakan salat pada awal waktu adalah mustahab, namun apabila ayah dan ibu memerintahkan suatu pekerjaan mustahab atau mubah, maka harus mengutamakan ketaatan atas mereka dari salat di awal waktu. [9]
- Kadang-kadang salah satu dari orang tua memerintahkan untuk mengerjakan sesuatu yang sejalan dengan hukum-hukum syar’i dan yang lainnya memerintahkan untuk berbuat maksiat. Dalam hal ini, sudah tentu harus mengamalkan perintah yang yang sesuai dengan hukum-hukum syar’i.
- Terkadang, ayah dan ibu memerintah untuk mengerjakan suatu pekerjaan mubah, namun salah satu di antara keduanya menginginkan untuk mengerjakan pekerjaan itu dan yang lainnya menginginkan meninggalkan pekerjaan itu.
Dalam hal ini harus dikatakan bahwa: Apabila hukum syar’i Islam, bahwa wilayah telah ditetapkan bagi seorang ayah, seperti pernikahan bagi anak putri yang masih gadis dan lain sebagainya dimana ayah mempunyai urusan perwalian (otoritas) atas hal ini, maka jelaslah bahwa perkataan wali harus didahulukan. [10] Namun dalam masalah-masalah di mana perwalian ayah atau ibu tidak ditetapkan, ditinjau dari sisi bahwa dalam agama Islam terdapat riwayat dari Nabi Muhammad Saw bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw, ia bertanya ihwal kepada siapakah aku harus berkhidmat? Rasul menjawab, Ibumu. Lelaki itu bertanya lagi, dan dijawab oleh Nabi Saw, Ibumu. Kali ketiga lelaki itu menanyakan lagi dan dijawab dengan, Ibumu juga. Dan ketika Rasulullah ditanya untuk yang keempat kalinya, beliau baru menjawab, ayahmu.[11]
Dari sisi lain, terdapat pula sekumpulan riwayat yang menyatakan:
Seseorang bertanya kepada Nabi Muhammad Saw: “Hak paling besar yang ada pada laki-laki ada pada siapa?” Nabi Saw bersabda, “Hak ayah yang harus ia tunaikan.”[12] Atau sebuah riwayat, dimana Nabi Saw bersabda: “Kalian dan harta yang kalian miliki (sejatinya) berasal dari ayah kalian.”[13]
Terkait dengan maksud asli riwayat ini apa? Bagaimana menyatukan antara hadis-hadis yang ada? Harus dikatakan bahwa kewajiban taat kepada ayah dan ibu[14] dalam perkara-perkara yang bukan merupakan kemaksiatan dan pelarangan terhadap kewajiban-kewajiban, dimana dalam beberapa perkara sejalan dengan pendapat dan dari teks-teks agama maka dapat dipahami bahwa dalam keadaan ini, seorang anak harus lebih mengutamakan perkataan ibu. [15]
Dalil-dalilnya adalah:
- Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Rasulullah Saw, tiga kali perintah untuk berbuat baik kepada ibu dan kali ke-empat perintah untuk berbuat baik kepada ayah.
- Walaupun dalam riwayat-riwayat sebelumnya diketahui bahwa hak-hak ayah yang harus didahulukan, namun apa yang dapat disimpulkan dari riwayat-riwayat lain adalah bahwa hak ibu lebih besar. Sebuah pertanyaan dialamatkan kepada Nabi Muhammad Saw bahwa apakah hak ayah? Nabi Saw menjawab: Adalah mentaatinya selama ia hidup. Apakah hak ibu? Beliau menjawab: “Oh tidak. Oh tidak. Sekiranya kalian berkhidmat dan melayani ibumu seukuran dengan pasir padang sahara dan tetesan air hujan, ketahuilah bahwa hal itu tidak sejajar dengan satu hari ketika kalian ada di perutnya.”[16]
- Kejiwaan seorang ibu lebih peka dari pada ayah dan kejiwaan seperti ini mengharuskan adanya kasih sayang yang lebih banyak dan mendahulukan perkataan ibu dan dalam hal ini bersesuaian dengan keinginan takwini (penciptaan).
Kesimpulannya, hal yan harus dicamkan bahwa anak dalam hal ini, jika memungkinkan mentaati perintah ibunya, dengan tetap mencermati jangan sampai menyebabkan ayahnya terusik dan terganggu. [iQuest]
[1] Thabathabai, Muhammad Husain, (Terjemah) Al-Mizān, jil. 5, ayat 13 dan 14 al-Isra.
[2] (Qs Al-An’am [6]: 151) Demikian juga pada riwayat yang berasal dari Imam Baqir As, “Berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu entah mereka orang fasik ataukah orang baik.” Bihār al-Anwār, jil. 71, hal. 56, cet. Wafa, Beirut.
[3] “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti mereka, dan pergaulilah mereka di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Ku-lah kembalimu, lantas Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs Lukman [31]: 15)
[4]Nahj al-Balāghah, Hikmah 165.
“لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
[5] Nahj al Balāghah, Hikmah 399.
“اِنَّ لِلْوالِدِ عَلَي الْوَلَدِ حَقّاً … فَحَقُّ الْوالِدِ اَنْ يُطيعَهُ في كُلِّ شَيْءٍ اِلّا في مَعْصِيَةِ اللهِ
[6] Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 71, hal. 72.
[7] Taudhih al-Masāil (Imam Khomeini), jil. 1, hal. 966, masalah 1741.
[8] Taudhih al-Masāil (Imam Khomeini), jil. 1, hal. 769, masalah 1406.
[9] Syahid dalam Qawāid, “Tidak diragukan lagi bahwa segala sesuatu yang wajib atau haram kepada orang lain, maka terhadap ayah dan ibu pun terdapat syarat-syarat, yaitu:
Pertama: Perjalanan mubah atau mustahab tanpa ijin dari ayah atau ibu adalah haram
Kedua: Taat kepada ayah dan ibu adalah wajib dalam kondisi apa pun walaupun dalam hal yang syubhat karena meninggalkan syubhat adalah mustahab dan memenuhi keinginan kedua orang tuanya adalah wajib.
Ketiga: Apabila ayah dan ibu memanggil anaknya dan pada saat itu merupakan awal waktu salat, maka akhirkanlah mengerjakan salat dan penuhilah panggilan mereka.
Keempat: Apabila mereka melarang kalian untuk melakukan salat berjamaah, maka ia boleh tidak mematuhi larangan mereka, kecuali jika kepergiannya akan menyulitkan orang tuanya seperti pada waktu gelapnya malam, waktu Isya dan Subuh.
Kelima: Apabila jihad merupakan kewajiban kifayah, bukan ‘aini (dan ditentukan sebagai a’ini), maka orang tua bisa melarang anaknya dari medan perang.
Keenam: Jika sibuk mengerjakan salat nafilah, dan ayah dan ibu memanggilnya, maka putuskanlah salatnya dan jawablah panggilan keduanya.
Ketujuh: Jika ayah tidak memberikan ijin, seorang anak tidak bisa mengerjakan puasa mustahab. (Al-Qawāid wa al-Fawāid, jil. 2, hal. 47-49)
[10] Silahkan lihat: Wasāil Syiah, Cet. Islamiyah, jil. 14, hal. 11-120
[11] Majlisi, Bihār al-Anwār, jil. 71, Bāb Huquq Wālidain; Kāfi, jil. 2, hal. 159
[12] Syaikh Hur Amili, Wasāil Syiah, Cet. Islamiyah, jil. 14, hal. 112. Hadis 253000.
“مَنْ أَعْظَمُ النَّاسِ حَقّاً عَلَى الرَّجُلِ قَالَ وَالِدُه”.
[13] Shaduq, Ma’āni al-Akhbār, jil. 1, 257, Cet. Jamiah Mudarisin
[14] Fukaha membahas hal-hal yang terkait dengan apakah taat kepada orang tua merupakan kewajiban atau menganggu mereka merupakan hal yang diharamkan. Sebagian dari mereka berpendapat bahwa taat kepada orang tua tidaklah wajib, namun menganggu orang tua adalah haram. Mereka berkata: Pekerjaan yang dapat mendatangkan terganggunya kedua orang tua dan tidak wajib bagi anak, maka anak tidak boleh mengerjakan pekerjaan itu dan atau menyembunyikan dari orang tuanya atau membuat ridha orang tua, namun mentaati mereka tidaklah wajib (tapi menganggu mereka adalah haram). Tabrizi, Istiftāat Jadid, Masaleh 2230, Cet. Pertama. Intisyarat Surur, Fadhil Muhammad, Jāmi’ Masāil, jil. 1, masaleh 2188, Imam Khomeini, Taudhih al-Masāil Marāji’, jil. 2, masail mutafareqeh, masaleh 85, Cet. Awal, Intisyarat Islami. Hal. 675.
[15] Silahkan lihat: Mirza Qumi dalam kitab Jāmi al-Syatāt fi Ajwayah al-Suālat, jil. 1, hlm. 251. Ia berkata: Setiap kali ragu antara mencari keridhaan ayah dan ibu dan tidak mungkin untuk menyatukan keduanya, maka tidak mengapa jika mendahulukan ridha ibu di atas ridha ayah.
[16] Mustadrak Wasāil, jil. 15, hal. 204, riwayat 18014-19.
“قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ الْوَالِدِ قَالَ أَنْ تُطِيعَهُ مَا عَاشَ فَقِيلَ مَا حَقُّ الْوَالِدَةِ فَقَالَ هَيْهَاتَ هَيْهَاتَ لَوْ أَنَّهُ عَدَدَ رَمْلِ عَالِجٍ وَ قَطْرِ الْمَطَرِ أَيَّامَ الدُّنْيَا قَامَ بَيْنَ يَدَيْهَا مَا عَدَلَ ذَلِكَ يَوْمَ حَمَلَتْهُ فِي بَطْنِهَا”