Makna leksikal
“Hikmah” adalah sampainya kepada kebenaran dan realitas melalui media ilmu dan akal.[1] Hikmah besrasal dari klausul “hukm” yang bermakna menahan dan menawan. Dan makna pertamanya adalah menghukum yang menjadi sebab tercegahnya dan tertahannya kezaliman. Di antara tipologi hikmah adalah menahan manusia dari kebodohan dan kepandiran.[2] Adapun ‘ilmu bermakna mengetahui, pengetahuan,[3] mencerap, memahami hakikat, dan asas sesuatu.[4] Yang menunjukkan pada efek-efek yang terdapat pada segala sesuatu dan melaluinya yang lain dapat dibedakan.[5]
Hikmah dan ilmu dalam al-Qur’an
Redaksi hikmah dalam al-Qur’an diulang sebanyak 20 kali. Dalam menjelaskan dan menafsirkan hikmah, para penafsir mengemukakan dalil-dalil dimana yang terpenting dari dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut:
1. Yang dimaksud dengan hikmah adalah kenabian.[6] Sebagaimana hal ini disinggung pada ayat, “Mereka (bala tentara Thâlût) berhasil mengalahkan bala tentara Jâlût dengan izin Allah, dan (dalam peperangan itu) Dawud berhasil membunuh Jâlût. Kemudian Allah menganugrahkan kerajaan dan hikmah kepada Dawud, dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya.” (Qs. Al-Baqarah [2]:251)
2. Yang dimaksud dengan hikmah adalah syariat-syariat (ilmu tentang halal dan haram.)[7] Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, “Dan Allah mengajarkan kepadanya al-kitab dan hikmah (ilmu tentang halal dan haram) dan Taurat.” (QS. Ali Imran 48)
3. Sebagian besar penafsir berpandangan bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah pengetahuan al-Qur’an dan ilmu tentang nâsikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, muqaddam dan muaakkhar dan sebagainya.[8] Dan dalam al-Qur’an disebutkan: “Allah akan menganugrahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi hikmah tersebut, ia benar-benar telah dianugerahi kebaikan yang yang tak terhingga. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dan memahami hal ini).” (Qs. Baqarah [2]:269)
4. Disebutkan dari sebagian penafsir bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah sampainya kepada hakikat pesan Tuhan dalam wilayah ucapan dan perbuatan.[9]
5. Sebagian lainnya berkata, yang dimaksud dengan hikmah adalah pengetahuan luas agama.[10]
6. Sebagian berkata bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah pemahaman dan penerimaan yang benar dari agama.[11]
7. Dan sesuai dengan pandangan penafsir lainnya hikmah adalah pengetahuan yang manfaat dan faidahnya adalah untuk membangun manusia.[12]
8. Dan akhirnya, Allamah Thaba-thabai berkata, Hikmah adalah muhkam (kokoh) dan mutqan (mantap)-nya bentuk ilmu.[13] Dimana tampaknya makna yang disampaikan oleh Allamah Thab-thabai ini dapat dipandang sebagai pandangan lengkap dan menyeluruh (jâmi) atas pandangan lainnya.
Sejatinya, seluruh pendapat yang dilontarkan adalah instanta luaran (mishdaq) dari makna yang diberikan oleh Allamah ini. Karena kalimat mahkamah, hikmah dan semisalnya adalah menunjukkan pada kekokohan (istihkam) yang tidak dapat sirna.[14]
Allah Swt menamai al-Qur’an sebagai “Kitâb Hakîm” karena tatkala al-Qur’an bertutur-kata, ia bertutur kata baik, dan disertai dengan argumen dan dalil. Tutur-kata yang tidak disertai dengan argumen adalah tutur kata yang tidak kokoh (muhkam).[15] Dinukil dari Nabi Saw yang bersabda: “Allah Swt menganugerahkan nikmat tak-ternilai al-Qur’an dan hikmah. Dan rumah yang tidak memiliki hikmah di dalamnya adalah kehancuran. Oleh karena itu tuntutlah ilmu dan pengetahuan, jangan sampai mati engkau dalam keadaan bodoh dan pandir.” [16]
Adapun redaksi ilmu disebutkan sebanyak 105 kali dalam al-Qur’an. namun derivat kata ini sangat banyak dalam al-Qur’an. redaksi kalimat ini dalam al-Qur’an terkadang bermakna mengetahui. “Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing.” (Qs. Al-A’raf [7]:6) Terkadang bermakna menerangkan dan mengungkapkan. ” Kemudian Kami bangunkan mereka agar Kami mengetahui, manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lamanya mereka tinggal (dalam gua itu).” (Qs. Al-Kahf [18]:12)
Allamah Thab-thabai Ra dalam mengomentari ayat “agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan,” menuturkan, “Yang dimaksud adalah ilmu aktual dan hal itu adalah munculnya sesuatu dan kehadirannya dalam bentuk wujud tertentu di sisi Tuhan. Ilmu dengan makna ini banyak digunakan dalam al-Qur’an. Dan terkadang bermakna dalil dan argumen.[17]
Secara umum, tatkala kita mengkaji dan menelaah ayat-ayat dan penggunaan klausul dan derivatnya, akan nampak bahwa seluruh maujud memiliki ilmu, sebagaimana Allamah Thaba-thabai Ra dalam tafsir ayat, “tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.” (Qs. Al-Isra [17]:44) merupakan sebaik-baik dalil bahwa yang dimaksud dengan tasbih seluruh maujud di sini adalah tasbih yang bertitik-tolak dari ilmu. Dan tasbih mereka itu adalah dalam bahasa lisan (hâl). Karena apabila yang dimaksud adalah bahasa tubuh (qâl) dan dalil atas keberadaan Pencipta, maka kalimat ini tidak akan memiliki makna lagi, “Kalian tidak memahami tasbih mereka.”[18]
Dan ayat-ayat lainya yang menunjukan pada makna in seperti, “Pada hari itu bumi menceritakan seluruh beritanya.” (Qs. Al-Zilzalah [99]:5) Juga ayat-ayat yang senada yang menunjukkan pada kesaksian anggota badan manusia, terungkapkannya dan pembicaraan mereka dengan Tuhan, serta jawaban anggota badan terhadap pertanyaan-pertanyaan Tuhan. Namun harus diperhatikan bahwa ilmu memiliki tingkatan dan derajat.
Perbedaan hikmah dan ilmu
Sebelumnya menjelaskan perbedaan antara dua kalimat ini, perlu diketahui bersama bahwa hikmah dan ilmu terkadang disandarkan kepada Tuhan. Dimana terdapat sembilan puluh dua lafaz hakim dan seratus lima puluh enam redaksi alim disebutkan dalam al-Qur’an sebagai sifat Allah Swt.
‘Alîm dan hakîm dari sisi sifat dzat Allah Swt karena hikmah Ilahi adalah menciptakan seluruh maujud dengan seluruh perangkat penting, kuat dan kokoh serta jauh dari segala kesia-siaan. Dan penciptaan ini tidak akan terjadi tanpa ilmu nir-batas yang merupakan sifat dzat Allah Swt. Kendati hikmah juga terogolong sebagai sifat perbuatan karena dari sisi bahwa perbuatan tercirikan dengan sifat hikmah, kokoh dan benar. Serta jauh dari segala bentuk kebatilan.
Bagaimanapun, karena sifat dzati Allah Swt adalah dzat-Nya itu sendiri maka tidak terdapat perbedaan antara kedua sifat ini kecuali dengan sebutan. Karena hakîm dan ‘alîm keduanya menunjukkan pada pengetahuan Allah Swt. Namun “hikmah” biasanya menjelaskan sisi-sisi praktis. Dan ilmu ghalibnya mendeskripsikan dimensi-dimensi teoritisnya. Dengan kata lain, “ilm” mewartakan pengetahuan tak-terbatas Allah Swt. Sementara hikmah menceritakan ihwal perhitungan dan tujuan yang disasar pada penciptaan semesta, pewahyuan al-Qur’an.[19]
Terkadang kedua kalimat ini, disandarkan kepada mumkin al-wujud yang memiliki akal (manusia). Dimana hikmah dalam diri manusia adalah mengenal seluruh maujud dan melaksanakan segala perbuatan baik dan terpuji.[20]
Dengan kata lain, mengenal nilai-nilai dan parameter-parameter yan dengannya manusia dapat mengenal kebenaran dan kebatilan apa pun bentuknya adalah hikmah. Dan hal ini merupakan sesuatu yang disebut oleh sebagian filosof sebagai “kesempurnaan kekuataan teoritis” (kamal quwwah nazhariyyah) [21]
Oleh karena itu, hakim adalah seseorang yang merupakan ahli makrifat dan memiliki pemahaman yang mendalam dan akal sehat. Dimana Imam Musa bin Ja’far bersabda kepada Hisyam bin Hakam, “Yang dimaksud dengan hikmah adalah pemahaman dan akal.” [22]
Sebagai kesimpulannya, “hikmah” merupakan satu kondisi khusus dan tipologi pencerapan dan penentuan yang bersandar pada ilmu yang pada hakikatnya adalah milik Tuhan. Bahkan sebagaimana sabda Imam Shadiq As yang menegaskan bahwa Allah Swt adalah ilmu itu sendiri dimana kebodohan tidak ada jalan di dalamnya.”[23] Ilmu adalah hakikat sebagaimana yang diterima oleh Luqman al-Hakim dari sisi Allah Swt. “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, (dan Kami berkata kepadanya), “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Qs. Luqman [31]:12)
Sebagian filosof berpandangan bahwa berpandangan, menelaah dan berpikir tidak menciptakan ilmu dan pengetahuan, melainkan ia menyiapkan ruh manusia untuk menerima segala ma’qulat dan tatkala ruh manusia telah siap menerima, emanasi ilmu dari Allah Swt akan memancar kepada ruh manusia.[24] Kemudian pada tataran perbuatan terhasilkan kondisi dan tipologi pencerapan serta penentuan dalam diri manusia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perbuatan manusia adalah sebab tersiapkannya ruh dalam menerima ilmu. Dan menerima ilmu ini merupakan pendahuluan dan sebab terciptanya kondisi spiritual dalam diri manusia untuk menentukan antara kebenaran dan kebatilan, dan mencerap pelbagai penghalang dan segala sesuatu yang merusak.
Poin terakhir:
Sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa ilmu memiliki tingkatan dan derajat. Semenjak tingkatan tertinggi (Allah Swt) hingga manusia dan bahkan maujud-maujud lainnya yang tidak memiliki akal memiliki ilmu. Dan di antara seluruh maujud di alam semesta keberadaan seluruhnya ilmu dapat disandarkan kepada mereka sesuai dengan kandungan wujudnya. Berbeda dengan hikmah hanya yang merupakan tipologi dan sifat bagi mereka yang berakal.[]
Catatan kaki
[1]. Mufrâdât Raghib, klausul “hukm.”
[2]. Mu’jam Maqâiis al-Lugha, klausul “hukm.”
[3]. Rarasyi, Qamus Qur’ân, jil. 5, hal. 32, klausul “hukm.”
[4]. Mufrâdât Raghib, klausul “ilm.”
[5]. Mu’jam Maqâiis al-Lugha, klausul “ilm.”
[6]. Majmâ’ al-Bayan, jil. 2, hal. 151, Muassasah al-A’lami lil Mathbua’at, 1415.
[7]. Ibid, hal. 298.
[8]. Ibid, hal. 194.
[9]. Ibid.
[10]. Ibid.
[11]. Ibid.
[12]. Ibid
[13]. Allamah Thab-thabai, Tafsir al-Mizân, terjemahan Musawi Hamadani, jil. 2, hal. 351
[14]. Abdullah Jawadi Amuli, Qur’ân dar Qur’ân, tafsir maudhu’i, jil. 1, hal. 297
[15]. Ibid.
[16]. Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir al-Durr al-Mantsur, jil. 1, hal. 335.
[17]. Lihat Qs. Al-Kahf [18]:5
[18]. Allamah Thaba-thabai, Tafsir al-Mizân, ibid, jil. 17, hal. 609
[19]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jil. 15, hal. 399
[20]. Mufrâdât Raghib, klausul hukm
[21]. Tafsir Nemuneh, ibid.
[22]. Ibid.
[23]. Syaikh Hurr al-Amili, al-Fushûl al-Muhimmah fii al-Ushûl al-Aimmah, jil. 1, hal. 288
[24]. Tafsir Nemuneh, jil. 16, hal. 349