Apakah Istihsân itu? Dan mengapa dalam fikihfikih Ahlubait ditolak?

Ungkapan bahwa hanya mazhab Ahlubait yang menolak istihsân dan ia tidak dianggap sebagai hujjah di dalam mazhab Syiah tidak lebih dari sekedar tuduhan. Karena kenyataannya banyak juga tokoh-tokoh dari empat mazhab Sunni pun sependapat dengan pandangan Syiah tersebut, yakni mereka juga menganggap bahwa istihsân itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dan hal ini akan kami jelaskan berikutnya. Atas dasar itu, maka alangkah lebih baik jika pembahasan tentang istihsân ini dibagi kepada beberapa bahasan utama.

1. Definisi istihsân

2. Dalil-dalil yang menilai bahwa istihsân itu sebagai hujjah

3. Dalil-dalil yang menegaskan bahwa istihsân itu bukan sebagai hujjah

Setiap orang yang memperhatikan pandangan para ulama –terutama ulama Ahlusunnah- tentang definisi istihsân, maka ia akan memahami bahwa sesungguhnya mereka berbeda pendapat mengenai definisi istihsân, dan dalam hal ini mereka mengutarakan definisi yang berbeda-beda.

A. Defini secara Leksikal

Istihsân secara leksikal adalah menganggap dan menilai baik atas sesuatu.[1] Dalam hal ini yang pertama kali terbesit dalam benak kita tentang makna istihsân adalah upaya menggunakan selera dan keinginan pribadi dalam mengambil kesimplan suatu hukum syar’i. Dengan itu, maka ketika seorang mujtahid mendapatkan suatu perbuatan itu sesuai dengan seleranya, maka hal itu dapat mengungkap hukum wâqi’i (sebenarnya) bahwa perbuatan tersebut hukumnya adalah mubah (dibolehkan). Akan tetapi jika suatu perbuatan tersebut tidak sesuai dengan selera dan kehendak hatinya, maka hal itu dapat menunjukkan bahwa hukum wâqi’i atas perbutan itu adalah haram. Yang jelas vonis keharaman atas perbuatan itu terjadi jika tingkat ketidak sesuaian dengan seleranya begitu tinggi. Adapun jika tingkat ketidak sesuaian itu rendah, maka hal itu menunjukkan bahwa perbuatan itu disisi Tuhan hukumnya makruh.[2]

B. Definisi Secara Teknis

Sayyid Muhammad Taqi Hakim, penulis buku Ushul Fikih perbandingan, menukil beberapa definisi istihsân dalam kitab tersebut. Beliau mengatakan bahwa ulama Ushul berbeda pendapat secara serius dalam mendefinisikan istihsân. Dan kebanyakan definisi istihsân yang mereka paparkan itu tidak memiliki ciri-ciri definisi hakiki, bahkan hanya merupakan saja’ (keindahan sastra) yang biasa digunakan oleh ahli sastra untuk memperindah makna kalimat dan lebih mendekati kepada definisi ulama mantiq. Sebagai contoh, berikut ini kami nukilkan beberapa definisi istihsân yang disampaikan oleh Sarkhasi di dalam kitabnya al-Mabsuth:

1. Istihsân ialah: Menghindari qiyâs (analogi) dan memperoleh sesuatu yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat.

2. Istihsân ialah: Mencari kemudahan dalam hukum yang diperlukan oleh masyarakat, baik masyarakat umum ataupun khusus.

3. Istihsân ialah: Memperoleh sesuatu yang di dalamnya terdapat keluasan dan kebaikan.

4. Istihsân ialah: Memperoleh sesuatu yang di dalamnya terdapat kedamaian dan ketentraman.[3]

Definisi-definisi tentang istihsân yang jauh dari definisi yang hakiki itu sebagaimana pula definisi yang pernah disampaikan oleh Maliki. Beliau mengatakan bahwa istihsân adalah: memperhatikan kemaslahatan dan keadilan.[4]

Karena itu, membahas lebih jauh lagi tentang definisi istihsân seperti ini tidak akan membuahkan hasil yang positif, karena membahasnya akan berakhir pada suatu kesimpulan yang tidak jelas mengenai hujjah (argumentatif) dan tidaknya istihsân tersebut. Karena itulah kami menghindari pembahasan ini secara jeluk. Definisi yang mungkin dapat dicerna dan disampaikan secara agak logis adalah yang mengandung pengertian dan makna khusus, yaitu definisi yang pernah disampaikan oleh sebagian ulama, diantaranya adalah Bazdawi salah seorang ulama mazhab Hanafi. Dalam mendefinisikan istihsân ia mengatakan bahwa istihsân ialah: ‘Udul (pindah) dan keluar dari qiyâs (analogi) menuju kepada qiyâs yang lebih kuat atau men-takhshish (mengkhususkan) qiyâs dengan dalil yang lebih kuat.[5]

Syathibi, salah seorang ulama mazhab Maliki berkata, istihsân ialah: Mengamalkan salah satu dari dua dalil yang lebih kuat.[6]

Thufi salah seorang ulama Hanabilah di dalam kitabnya al-Mukhtashar berkata: Istihsân ialah: Berpindah kepada hukum suatu masalah berdasarkan dalil syar’i khusus.[7]

Ibnu Quddamah berpandangan bahwa istihsân itu mempunyai tiga pengertian

1. Istihsân ialah: Berpindah kepada hukum suatu masalah dengan dalil khusus dari kitab dan sunnah.

2. Istihsân ialah: Sesuatu yang dinilai bagus oleh akal dan pandangan seorang mujtahid.

3. Istihsân ialah: Suatu dalil yang terdapat pada diri seorang mujtahid yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata.[8]

Demikianlah sebagian definisi tentang istihsân yang disampaikan oleh para ulama dan bukan tempatnya disini untuk mengkritisi definisi-definisi terebut.[9]

Agar pengertian istihsân ini lebih jelas lagi, maka berikut ini kami sampaikan dua buah contoh.

Contoh pertama: Apabila seorang anak safih (dungu, bodoh) berwasiat agar sebagian harta kekayaannya itu digunakan dalam amal kebajikan, apakah wasiat semacam ini dapat dibenarkan? Kaidah umum fikih mengatakan bahwa seorang safih tidak boleh mengelola harta kekayaannya, kecuali jika wali atau pengasuhnya yang melakukannya. Memperhatikan kaidah umum ini, maka tidak diragukan lagi bahwa wasiat semacam itu tidak dibenarkan. Tetapi para ulama Hanafi dengan berdadarkan istihsân berpendapat bahwa wasiat tersebut dapat dibenarkan. Alasannya adalah demi menjaga kemaslahatan yang berkaitan dengan kehidupan dan masa depannya. Karena itu, apabila si safih berwasiat bahwa setelah wafatnya agar harta kekayaannya diinfakkan dalam amal kebajikan, hal itu demi kemaslahatannya dan tidak membahayakannya. Bahkan sangat bermanfaat baginya. Karena itu pindah (‘udul) dari kaidah umum dalam hal wasiat seperti ini sesuai dengan kaidah istihsân yang dibenarkan.

Contoh kedua: Apabila telah diputuskan bahwa tangan kanan seorang pencuri harus dipotong, tetapi pelaksana hukum melakukan kesalahan dalam menjalankan sanksi tersebut, yang dia potong adalah tangan kirinya. Berdasarkan qiyâs (analogi), pelaksana sanksi itu harus mengganti rugi atas kesalahannya itu dengan membayar diyat. Akan tetapi Abu Hanifah berpendapat bahwa sekalipun yang dipotong adalah tangan kirinya karena kesalahan, sementara tangan kanan yang lebih banyak manfaatnya tetap dalam keadaan selamat, karena itu demi menjaga maslahat dan berdasarkan dalil istihsân (apabila pelaksana berdasarkan ijtihad telah melakukan hal itu), maka si pelaksana tidak dikenakan diyat dan ganti rugi. Karena dalam kasus seperti ini tangan kanan si pencuri itu tidak mungkin akan dipotong.[10]

Dalil atas Argumentatifnya Istihsân

Pandangan yang mengatakan bahwa istihsân itu bisa dijadikan sebagai hujjah (argumen), menggunakan beberapa dalil. Sayyid Hakim dalam kitabnya Al-Ushûlu al-‘Ammah menulis bahwa argumentatifnya istihsân itu berdasarkan pada dalil dua ayat, sebuah riwayat dan ijma’. Dan berikut ini kami akan jelaskan dalil-dalil tersebut dengan beberapa kritikannya.[11]

1. Allah Swt berfirman: “Maka berikanlah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yang mendengarkan ucapan dan mengikuti yang paling baik.” (Qs. Al-Zumar [39]:17-18)

2. Allah Swt berfirman: “Ikutilah apa-apa yang paling baik yang telah diturunkan oleh Tuhanmu kepadamu.” (Qs. Al-Zumar [39]:35)

Mereka menjelaskan metode penalaran (istidlâl) dengan ayat di atas dan berkata: Allah Swt –pada ayat pertama- memuji orang-orang yang mengikuti ucapan yang paling baik. Dan pada ayat kedua, mereka dituntut agar mengikuti dan mengamalkan yang terbaik dari sesuatu yang telah diturunkan kepada mereka. Di dalam kedua ayat tersebut Allah Swt telah menetapkan bahwa istihsân merupakan hujjah (argumen).

Adapun kritikan atas penalaran (istidlâl) dengan kedua ayat tersebut dan ayat-ayat yang serupa adalah:

1. Pada ayat itu terdapat kata “احسن” yang secara bahasa berarti menilai baik dan bagus. Dan hal ini bertentangan dengan hasil istinbat dan kesimpulan yang Anda maksudkan sebagai makna istilah. Apabila kita menerima bahwa ayat-ayat di atas sebagai dalil atas hujjiah istihsân, maka dengan makna yang manakah yang bisa sesuai dengannya sehingga bisa menjadi hujjah bagi istihsân? Karena antara makna-makna tersebut terdapat kontradiksi, sementara tidak mungkin menghimpun dan apalagi menemukan titik temu di antara makna-makna tersebut, kecuali dengan cara memaksakannya. Sementara jika memilih satu diantara beberapa makna tersebut, maka tidak ada dalil atasnya. Tetapi bisa saja bagi orang yang berpendapat bahwa istihsân itu adalah mengambil dalil yang lebih kuat, mendasarkannya dengan ayat-ayat tersebut sebagai dalil atas dakwaannya.

2. Ayat pertama, meskipun isinya memuji orang yang mengikuti ucapan yang paling baik, akan tetapi mengenai ayat tersebut, terdapat pandangan yang berbeda-beda. Dan jika diasumsikan bahwa sebagian pandangan itu ditarjih (dipilih) atas pandangan lainnya, tetapi untuk menetapkan pilihan di antara beberapa pandangan tersebut harus dikeluarkan dari Syâre’ (Pemilik Syariat) mengingat pentingnya masalah tersebut, sebagaimana adanya ungkapan “ahsan” menuntut hal seperti ini. Dan hal itu merupakan urusan Al-Qur’an dan Sunnah. Sudah jelas, apabila kita mengangggap bahwa pada kondisi terjadinya tazâhum (bentorkan antara beberapa masalah) atau ta’ârudh (kontradiksi diantara beberapa masalah), maka untuk menetapkan tarjih (pilihan) dalil lafzhi atas dalil yang lainnya, pada dasarnya adalah rujuk (kembali) kepada hujjah fi’li (argumen aktual). Dan hal itu bisa terjadi ketika istihsân merupakan dalil mustaqil (mandiri) di antara dalil-dalil lainnya. Padahal untuk menetapkan istihsân sebagai dalil mustaqil melalui ayat-ayat tersebut adalah tidak mungkin. Sudah jelas pula bahwa menetapkan dalil yang lebih kuat diantara dua dalil itu tidak keluar dari menetapkan salah satu dari kedua dalil. Dengan demikian kesimpulannya adalah bahwa istihsân tidak mungkin dapat dianggap sebagai dalil mustaqil ketika berhadapan dengan kedua dalil lainnya.

Penjelasan dan keterangan yang berkaitan dengan ayat pertama, dapat juga diterapkan untuk ayat yang kedua. Disamping itu pula, bahwa hal-hal yang dianggap pada ayat ini sebagai dalil bagi pendukung istihsân, sebenarnya ditujukan khusus untuk sesuatu dimana ayat tersebut diturunkan untuknya. Dengan itu, maka ayat tersebut tidak dapat digunakan untuk menetapkan dalil istihsân sebagai mishdaq (bukti, contoh) dari ungkapan ayat yang berbunyi: ما أُنْزِلَ إِلَیْکُمْ مِنْ رَبِّکُمْ. Karena sudah jelas bahwa tidak suatu proposisi pun (masalah) yang dapat ditetapkan tanpa menetapkan subjeknya .

3. Kedua ayat di atas, sama sekali tidak berkaitan dan tidak bersesuaian dengan masalah penetapan hujjah atas istihsân dan dalil-dalil lainnya yang sejenis. Karena itu, kedua ayat tersebut tidak dapat diterapkan atas subyek tersebut (istihsân). Dengan demikin, apabila kata “ahsan” diganti (diartikan) dengan kata atau kalimat “mereka adalah orang-orang yang mengamalkan hal-hal yang berkaitan dengan inferensi (istinbâth) istihsân”, maka makna tersebut sama sekali tidak benar.

Dalil-dalil Riwayat Istihsân

Ahlusunnah, untuk menetapkan kehujahan istihsân menggunakan dalil riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Mas’ud: “Setiap apa saja yang dinilai baik oleh kaum muslimin, maka di sisi Allah pun dinilai baik pula”[12]. Beberapa kritikan yang dapat disampaikan atas dalil tersebut ialah:

1. Sanad riwayat tersebut bersambung sampai kepada Ibnu Mas’ud, sementara tidak seorang pun yang menukil ucapan beliau tersebut dari Rasulullah Saw. Karena itu, bisa jadi bahwa ucapan semacam itu bersumber dari Ibnu Mas’ud sendiri dan bukan dari Rasulullah Saw. Sebagai kesimpulannya bahwa dengan adanya kemungkinan seperti itu, maka riwayat tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil “idza ja’a al-ihtimal batala al-istidlal” (apabila datang kemungkinan yang lain, maka istidlal menjadi batal).

2. Tidak ada dalil sama sekali yang menunjukkan atas kemutlakan lafazh “husn” untuk istihsân secara teknis terminologis dalam riwayat tersebut.

Karena istihsân itu termasuk makna yang baru di kalangan mutaakhkhirin (ulama kontemporer). Jika demikian halnya, bagaimana mungkin riwayat tersebut bisa dinisbatkan kepada Ibnu Mas’ud? Lebih dari itu, makna yang manakah dari beberapa makna istihsân yang dapat dinisbatkan kepada Ibnu Mas’ud? Apakah semua makna istihsân itu yang dimaksudkan oleh Ibnu Mas’ud? Padahal antara satu makna dengan makna yang lainnya sangat berbeda sebagaimana yang telah kami jelaskan di atas. Sementara tidak terdapat dalil untuk memaksudkan riwayat tersebut atas sebagian maknanya saja, karena tidak satupun di antara makna-makna tersebut yang mempunyai kelebihan atas yang lainnya. Apabila kita terima bahwa riwayat tersebut sebagai riwayat yang sahih, maka harus menerima kaidah mulâzamah (kemestian) antara hukum akal dan hukum syariat. Artinya, apabila hukum akal telah sepakat dan ijma’ dalam menerima suatu masalah, maka pasti hal itu diterima dan dicintai oleh Allah Swt. Dan dalil semacam itu dapat diterima ketika lafazh “muslimin”, maksudnya adalah kaum muslimin yang berakal sehat. Tetapi apabila kita menilai terdapat khususiyyah (keistimewaan) bagi kata “muslimin”, maka ketika itu riwayat tersebut menjadi dalil bagi ijma’, yakni ketika yang dimaksudkan ijma’ tersebut adalah “umum majmu’i” (sekelompok muslimin). Sudah jelas bahwa hal itu tidak bisa dimaksudkan dengan “umum istighrâqi” (seluruh muslimin tanpa kecuali). Karena jika demikian akan terdapat banyak sisi yang perlu dikritisi. Mengingat bahwa pribadi muslim, meskipun sebagai seorang awam, tidak akan berani berkata bahwa pendapat saya merupakan hukum syar’i dan dapat menyingkap hukum waqi’i (hukum yang sebenarnya dan sesungguhnya secara jelas). Hal semacam ini tentu sangat pelik untuk diterima.

Ijma’ (Konsensus)

Dalil lainnya yang dapat dijadikan sebagai hujjah bagi istihsân bagi kaum Ahlusunnah adalah dalil ijma’ (konsensus). Dengan dakwaan bahwa kaum muslimin telah melakukan ijma’ dan kesepakatan atas istihsân. Misalnya ketika mereka memasuki kamar mandi atau mengambil air dari tangan pemberi minum, maka tanpa ragu lagi mereka akan membayar upahnya. Dalil semacam itu dapat dibantah dengan ungkapan bahwa apabila ijma’ semacam ini dapat dinilai benar, maka hal itu hanya khusus untuk hukum itu saja, dan bukan untuk istihsân, apalagi sampai dijadikan sebagai dalil untuk semua istihsân. Hal itu hanya memadahi untuk masalah yang terbatas, yakni bahwa hukum tersebut dari dalil lafzhiyah yang dianggap cukup dan memadahi dengan adanya kadar yang meyakinkan. Sudah jelas bahwa ijma’ semacam itu sama sekali tidak mempunyai asas dan pondasi yang kokoh. Karena sirah (pri laku dalam kehidupan) yang berlaku dan berkelanjujtan terus sejak masa Nabi Saw adalah sirah yang berdasarkan ilmu pengetahuan dan taqrir (kesepakatan) beliau Saw.[13]

Para Penolak Istihsân dan Dalil-dalilnya

Termasuk yang paling mengingkari dan menolak kaidah istihsân adalah Imam Syafi’i. Ia mempunyai dalil sebagai berikut: Apabila dalam suatu masalah si Mufti tidak menemukan nash dan qiyas, maka ia (pendukung istihsân) berkata bahwa pada kondisi seperti ini kita menggunakan istihsân. Apakah dengan demikian berarti selain mufti (pemberi fatwa) boleh pula menggunakan dalil istihsân untuk menentang pandangannya? Pada akhirnya maka setiap hakim dan mufti di setiap kota –dengan dalil istihsân- akan mengeluarkan fatwa atas segala apa saja yang ia anggap baik. Dan sebagai lawannya akan dikeluarkan fatwa yang lainnya. Dengan itu maka dalam sebuah masalah akan ditemukan beberapa fatwa dan hukum. Apabila hukum ini menurut pandangan mereka dibolehkan, maka mereka telah melakukan kesalahan dan apa saja yang sesuai dengan selera mereka akan dikeluarkan hukum kebolehannya, dan apa saya yang tidak sesuai dengan selera mereka akan dikeluarkan hukum keharamannya[14]. Ucapan Imam Syafi’i tersebut tidak ilmiah dan sangat lemah, karena jika pandangannya itu tepat, maka akan berujung pada pelarangan ijtihad secara mutlak apapun sumber dan landasan ijtihad yang diinginkannya. Karena ikhtilaf juz’i (perbedaan pada hal-hal partikular) itu terdapat pada sebagian masalah dalam melakukan inferensi (istinbâth) dari sumber-sumbernya. Dan masalah istihsân tidak dapat dikecualikan dari hal itu. Ketika itu, jika bagi seorang hakim dibolehkan untuk berijtihad, maka bagi selainnya pun mesti dibolehkan pula, sehingga satu masalah akan dipenuhi dengan fatwa yang beragam dan bermacam-macam. Dan untuk menghindari problema tersebut harus menutup pintu ijtihad dari semua sisinya dan hal ini pun tidak mungkin dilakukan. Di samping itu, ijtihadnya akan menyebabkan pelarangan atas istihsân. Karena akan dikatakan bahwa jika kamu memberikan izin berijtihad dalam pelarangan, maka pada hakikatnya kamu juga telah memberikan izin kebolehan berijtihad kepada orang lain. Hal itu akan menyebabkan terjadinya ikhtilaf dan perbedaan hukum dalam satu masalah.

Kesimpulan:

Apabila yang dimaksudkan istihsân adalah mengambil dan menggunakan salah satu dari kedua dalil yang lebih kuat, maka hal ini merupakan dalil yang bagus dan sama sekali tidak ada larangannya. Akan tetapi tidak terdapat alasan untuk dikatakan bahwa dalil ini sebagai dalil mandiri (mustaqil) yang berhadapan dengan dalil al-Qur’an, Sunnah dan akal.[15]

Catatan kaki:

[1]. Muhammad Shanqur, al-Mu’jam al-Ushûli, kata “alif” istihsân, Cetakan Pertama. 1421 H.

[2]..Khafif, Muhadhârât fi Asbâbi Ikhtilâfi al-Fuqahâ’, hal. 236, dinukil oleh Sarkhasi, Al-Mabsûth.

[3]. Falsafatu al-Tasyri’ fi al-Islâm, hal. 174.

[4]. Mashâdiru al-Tasyri’, hal. 58.

[5]. Ibid.

[6]. Ibid.

[7]. Ibid.

[8] .Untuk mengetahui secara lengkap tentang objeksi (isykalan) ini, silahkan lihat kitab al-Ushûl al-‘Ammah dan al-Mu’jam al-Ushûli.

[9] . Syamsuddin Sarkhasi, Mabsûth, jil. 9, hal. 175-176, Beirut, dinukil oleh Isa Wilai, Farhangge Tasyrikhi Isthilâhi Ushûl.

[10] .Penulis kitab al-Mu’jam al-Ushûli telah mengkritisi dalil ini secara detil.

[11] . Penulis kitab al-Mu’jam al-Ushûli telah mengkritisi dall-dalil ini secara detil.

[12].Ibthalu al-Qiyas wa al-Ra’yi, hal. 50.

[13] Falsafat al-Tasyri’ al-Islâmi, hal. 174 dst.

[14] .Falsafat al-Tasyri’ al-Islâmi, hal. 174 dst.

[15] .Irsyâd al-Fuhûl, hal. 241.

© 2024 Tanya Islam. All Rights Reserved.