Silahkan juga lihat jawaban no 1845.
Apa yang tersurat dari pertanyaan adalah perbedaan antara imam dan khalifah sebagai penerus Rasulullah, dan jelas bahwa masalah ini harus dianalisa dari pandangan teologi dan akidah, bukan dari dimensi irfani.
Namun secara ringkas, imam dari aspek keberadaan awalnya dan keabadiaannya adalah cermin kekhalifahan, dan khalifah adalah seseorang yang merupakan cermin Tuhan dari awal dan akhir kehidupannya dengan tidak diwarnai oleh egoisme sama sekali dan tidak melenceng sedikit pun dari kiblat yang telah ditentukan baginya.
Tanpa ragu lagi, khalifah bermakna seseorang yang menjadi penerus dari selain dirinya, dengan demikian, setiap khalifah bertanggung jawab atas kekhilâfahan dari mustakhlafu anhu (yaitu Tuhan, sebagai pemberi kekhalifahan) dengan demikian setiap khalifah yang menerima jabatan kekhalifaan dari Tuhan, mesti berakhlak sesuai dengan akhlak-Nya serta menjadi pelaksana hukum-hukum-Nya. Kekhalifaan Ilahi sejenis kesempurnaan eksistensial dan memiliki tingkatan-tingkatan, dimana puncak tertingginya berada pada manusia-manusia sempurna, seperti para nabi dan wali, dan tahapan lebih rendahnya bisa ditemukan pada manusia-manusia saleh.[1]
Oleh itu, pada teks kata khilâfah dan penerus, terdapat makna tersembunyi bahwa khilâfah adalah kemunculan mustakhlafu anhu (Tuhan) dalam khalifah, dan khalifah adalah seseorang yang identitasnya bergantung pada mustakhlafu anhu, dan keterpisahannya dengannya tidak bisa tergambarkan makna dan realitasnya.
Analisa Teologis
Imam secara leksikal berarti pemimpin, dan imâmah bermakna kepemimpinan. Akan tetapi dalam istilah ilmu kalam, para mutakallim menyebutkan definisi yang berbeda untuk imâmah, dan mayoritasnya dengan makna kepemimpinan umum masayarakat dalam persoalan-persoalan duniawi dan agama.
Karena itu, imam adalah pemimpin dimana perilaku dan tindak tanduknya menjadi teladan bagi selainnya dan bertanggungjawab terhadap kepemimpinan masyarakat, baik kepemimpinannya ini sebagai penerus dari sisi Rasulullah Saw, atau memang pada awalnya telah memiliki kedudukan ini.
Kata “imâm”, dalam al-Quran memiliki sebuah makna yang meluas dimana banyak para nabi yang berada di bawah lingkupnya. Menurut Ibnu Manzhur, Rasulullah Saw sendiri adalah imam para imam[2], karena beliau memiliki makam tertinggi dan memegang kedudukan kepemimpinan, kepemimpinan beliau juga memiliki orisinalitas dan keaslian yang khas, dimana beliau bukanlah penerus dari seseorang.
Sementara dalam masalah khilâfah, topik tentang kepemimpinan memiliki bentuk yang lain, kepemimpinan di sini merupakan penerus dari Rasulullah. Dari sini, sebagian cendekiawan, dalam mendefinisikan imâmah lebih memilih interpretasi “khilâfah ‘anirrasul”.
Khalifah secara leksikal bermakna penerus dan pelanjut seseorang, dan pada dasarnya, bisa digunakan dengan makna ‘penggantinya’, karena itu, dengan memperhatikan riwayat dari Rasulullah Saw mengenai khulafa dan para pelanjutnya, saat beliau bersabda, “Imam setelahku ada dua belas orang, dimana yang pertama dari mereka adalah Ali bin Abi Thalib, dan yang terakhir dari mereka adalah Mahdi Ajf. Mereka adalah khalifah, washi, dan auliyaku, dan hujjah-hujjah Allah atas umatku setelahku”[3] bisa diketahui bahwa pada hadis ini beliau memperkenalkan para Imam Maksum secara khusus sebagai pelanjutnya, sementara di tempat lain, dengan memperhatikan hadis dimana Rasul Saw bersabda, “Ilahi! Berilah rahmat-Mu kepada para khalifahku”, saat itu ditanyakan kepada beliau, “Siapakah para khalifah Anda? Beliau bersabda, “Mereka yang datang setelahku dan meriwayatkan hadits dan sunnahku”[4], di sini beliau memperkenalkan para penerusnya dalam bentuk umum. Yang dimaksud di sini dengan para perawi hadis dan sunnah Rasulullah Saw adalah para fakih di zaman ghaibah Imam Mahdi Ajf.
Karena itulah sehingga khalifah Rasulullah dikatakan kepada orang yang melaksanakan kewajiban dan tugas-tugas beliau, dan bertanggung jawab atas kewajiban beliau dalam ketakhadiran beliau, kecuali dalam masalah membawa syariat.
Mayoritas ulama Ahlusunnah mensejajarkan khilâfah dengan imâmah, dan mengatakan, khilâfah dan imâmah memiliki satu makna, ketika salah satu dari keduanya dibenarkan, maka yang lainnya pun akan menjadi benar. Sebagai contoh, Ibnu Khaldun mengatakan, khilâfah adalah pengganti dari pemilik syariat dalam menjaga agama dan politik dunia, dan dengan kredibilitas inilah dikatakan sebagai khilâfah dan imâmah, dan pemilik makam tersebut dikatakan sebagai khalifah dan imam.[5]
Kedua kata ini (imâmah dan khilâfah) kendati digunakan sebagai dua kata yang sinonim, akan tetapi tampaknya memiliki makna yang berbeda, karena dalam keterwujudan makna imâmah, pemimpin menjadi syarat. Imam harus mengamalkan apa yang dikatakannya dan membimbing manusia, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan, akan tetapi dalam keterwujudan makna leksikal khilâfah, cukup hanya dengan makna seorang khalifah sebagai pelanjut Rasulullah Saw dalam melaksanakan tugas-tugas beliau saat beliau tidak ada. Bahkan jika khalifah ini tidak mengamalkan sesuai yang dikatakannya, kembali dari sisi makna leksikal, ia tetap akan dikatakan sebagai khalifah.
Karena itu, imâmah tidak ekuivalen dan tidak sinonim dengan khilâfah. Bisa jadi kedua makna ini berkumpul dalam diri satu orang; misalnya jika Rasul memilih orang pillihan untuk melaksanakan hukum dan aturan-aturan agama, dan dari sisi amal ia adalah pemimpin manusia, seperti Imam Ali As sebagai penerus dan khalifahnya, dan meletakkan tanggung jawab urusan sosial, politik dan penjagaan agama serta aturan-aturan syariat di atas pundaknya, maka orang seperti ini secara hakiki adalah imam, yang sekaligus khalifah berkaitan dengan pelaksanaan aturan-aturan agama dan hukum-hukum Ilahi.
Kadangkala, mungkin seseorang adalah imam, akan tetapi bukan khalifah, seperti Nabi Ibrahim As. Maksudnya di sini adalah Nabi Ibrahim bukanlah khalifah dan penerus nabi dalam makna khusus, yang berarti selain sebagai imam, ia juga sebagai khalifah (seperti Imam Ali As dimana ia adalah imam sekaligus khalifah), akan tetapi khalifahnya Nabi Ibrahim As dengan makna khalifatullah, karena seluruh anbiya adalah khalifah dan pelanjut Allah di muka bumi ini.
Kadangkala pula terjadi, yang terwujud pada seseorang adalah khilâfah, bukan imâmah, yaitu mungkin seseorang adalah khalifah dan pelanjut, akan tetapi ia bukan seorang imam, misalnya jika Rasulullah menempatkan seseorang sebagai pengganti dan khalifahnya, dan ia diserahi serangkaian tugas tertentu yang harus ia laksanakan dalam ketidakhadiran beliau, maka kepada orang seperti ini, dari sisi leksikal bisa dikatakan sebagai khalifah Rasul, akan tetapi tidak termasuk sebagai imam mutlak dan pemimpin dalam seluruh tingkatan.
Demikian juga jika sebuah bangsa memilih salah seorang diantara mereka dan salah satu dari tugas-tugas Rasul diserahkan kepadanya, bisa jadi, sesuai akidah mereka, orang ini disebuat sebagai khalifah, dan secara leksikal hal seperti ini tidak bermasalah, akan tetapi imâmah mutlak dan pemimpin hakiki tidak benar untuknya.
Dari pandangan al-Quran, pengangkatan dan kedudukan imâmah memiliki maqam yang khas, dan al-Quran menganggapnya sebagai tahapan akhir kesempurnaan manusia dimana hanya orang-orang terbatas yang bisa sampai ke maqam ini, sebagaimana firman-Nya, “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu ia menunaikannya (dengan baik). Allah berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” Ibrahim berkata, “Dan dari keturunanku (juga)?” Allah berfirman, “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim.”[6]
Dengan yakin makam imâmah yang diberikan kepada nabi Ibrahim ini merupakan makam dan kelayakan tertinggi yang diperoleh oleh Nabi Ibrahim dari Allah Swt setelah melewati sekian banyak ujian. Oleh karena itu penunjukan imâmah bahkan lebih tinggi dari kenabian. Tentunya kedudukan imâmah dan kenabian dalam beberapa kasus terkumpul menjadi satu, seperti pada para nabi ulul azmi.
Syiah, bertolak belakang dengan keyakinan Ahlusunnah, meyakini bahwa imâmah, yang tak lain adalah penerus Rasul Saw, sebagaimana kenabian, merupakan sebuah maqam penunjukan –bukan pemilihan- dan pemegang maqam ini ditentukan oleh Allah Swt. Oleh karena itu, imam dalam segala dimensinya –kecuali dalam masalah perolehan wahyu- selangkah dan sejajar dengan Rasul.
Akan tetapi, Ahli Sunnah menganggap pelanjut Rasul sebagai sebuah kedudukan yang diberikan oleh masyarakat –bukan sebuah penunjukan Ilahi- yang diberikan kepada khalifah melalui masyarakat, dan khalifah ini menduduki jabatan ini karena pemilihan.
Dalam pandangan Syiah, kedudukan seperti ini (imâmah) baru akan dianggap legal dan sah ketika atas penunjukan Ilahi, dan orang yang dari awalnya memiliki kedudukan seperti ini, haruslah maksum dan terbebas dari segala kesalahan dalam menyampaikan hukum-hukum dan ajaran-ajaran Islam, demikian juga harus bebas dari segala dosa dan kesalahan.
Dengan demikian, perbedaan Syiah dan Ahli Sunnah dalam masalah imâmah, tampak dalam tiga hal:
Imâmah adalah penunjukan Ilahi,
Ilmu imam adalah ilmu pemberian Allah dan bebas dari segala kesalahan,
Kemaksuman dan kesucian imam.
Tentunya, kemaksuman tidaklah sama dengan imâmah, karena dalam keyakinan Syiah, Hadhrat Fatimah az-Zahra Salamullah ‘alaiha juga maksum, kendati beliau tidak memiliki kedudukan imâmah. Demikian juga Hadhrat Maryam juga memiliki kedudukan ismah ini.
Kadangkala sebagian orang mengkritik masalah seperti ini dan mengatakan bahwa masalah khilâfah dan pelanjut Rasul merupakan sebuah masalah sejarah yang berkaitan dengan masa lalu, lalu apa manfaatnya kita terus membahas masalah seperti ini?
Menurut Syiah, keyakinan terhadap imâmah memiliki efek dan pengaruh yang signifikan, dimana pengaruh ini tidak akan diperoleh melalui keyakinan terhadap khilâfah.
Pertama: imâmah merupakan usuluddin dan kelanjutan dari kenabian, karena Syiah menganggap imâmah merupakan lanjutan dari tanggungjawab-tanggungjawab dakwah dan bimbingan Rasul. Oleh karena itu, agama hingga akhir dunia akan senantiasa hidup.
Kedua: bahasan mengenai model pemerintahan yang merupakan salah satu dari pembahasan paling krusial, mengikut masalah ini. Di dalam al-Quran dan hadis terdapat ratusan hukum dan aturan yang berkaitan dengan hakim dan penguasa. Jika maqam imâmah merupakan sebuah maqam penunjukan, maka pelaksanaan hukum-hukum ini harus diserahkan kepada orang-orang yang telah ditunjuk oleh Allah untuk memegang tanggungjawab kepemimpinan umat.
Ketiga: masalah penjelasan prinsip-prinsip, ajaran-ajaran, penjelasan hukum-hukum furu’uddin dan bimbingan manusia[7] merupakan satu lagi dari hasil topik kalam ini dimana imam yang bertanggungjawab atasnya.
Tujuan-tujuan di atas hanya akan terpenuhi melalui bimbingan manusia-manusia terpilih dimana kapasitas wujud mereka memiliki kemampuan untuk menjelaskan peran detil agama Islam dan hal ini akan diperoleh melalui keyakinan terhadap imâmah. [iQuest]
[1]. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsîr Tasnîm, jil. 3, hal. 56.
[2]. Ibnu Manzhur, Lisân al-Arab, jil. 14, hal. 29, kata alif mim.
[3]. Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhuruh al-Faqîh, jil. 4, hal. 180.
[4]. Ibid, hal. 420.
[5]. Ibnu Khaldun, Muqadimah, hal. 191.
[6]. (Qs. Al-Baqarah [2]: 124)
[7]. Hidayah batin dari hal-hal yang menurut akidah Syiah merupakan karakteristik-karakteristik imam, dan karakteristik seperti ini tidak terdapat pada pengertian khalifah.