Apa yang dimaksud dengan pernyataan buta di akhirat?

Struktur manusia dilengkapi dengan beragam fakultas lahir maupun batin. Fakultas-fakultas lahiriyah selain memiliki fungsi sebagai media bagi badan untuk mendapat hal-hal yang disukainya atau juga apa yang menjadi kebutuhannya (dan hal ini juga berlaku dalam dunia untuk hewan), juga memiliki fungsi sebegai pembawa informasi yang menyalurkan pada kalbu, untuk mengakses ilmu pengetahuan dan juga alat untuk menggerakan tubuhnya (tahrikiyyah).

Di seluruh episode kehidupan, manusia benar-benar sangat bergantung pada alat-alat indera lahirinyah lantaran itu jika seorang manusia dengan serius mendayagunakan alat-alat inderanya – khususnya mata dan telinga dengan baik dan untuk jalan-halan yang benar, maka kedua alat iu akan mentaati dirinya; menjalankan fungsi yang sesungguhnya untuk mendengar dan melihat.

Namun jika manusia menyalahgunakan kedua panca indra; ia tidak mau menyimak baik-baik ilmu pengetahuan dan segala yang didengar dan dilihatnya; artinya ia seolah-olah tidak bisa melihat dan mendengar.

Jadi matanya seolah tidak dapat melihat dan telinganya seakan tidak dapat mendengar. Disfungsi dua indera itu bukan karena keduanya telah kehilangan dayanya tapi karena manusia telah menyalahgunakan fungsi yang sesungguhnya. Dan itu terjadi karena akibat ketakaburan, dan niat buruk sang insan.

Dengan demikin manusia dapat dengan jelas melihat ayat-ayat yang menunjukkan eksistensi Tuhan, rahmat dan segala kekuasaan-Nya, namun ia tidak mau beriman. Ia juga melihat dan mendengar bukti-bukti kebenaran sang nabi utusan-Nya tapi ia juga tidak mau menerima dan mengakuinya. Ia juga mendengar dan memahami nash-nash bahwa Nabi Saw telah memilih Ali As sebagai wasinya; bahwa nabi memiliki wali-wali pengganti dirinya, tapi ia malah mengingkarinya. Akhirnya ia tidak mau menjadikan Ali sebagai pemandunya (walinya). Dan bahkan menjadi benci kepada Ali dan keluarganya

Atau, meskipun bisa membaca dan mendengar tentang kebenaran informasi dari nabi tentang hari kiamat, tentang kehidupan abadi pasca kematian di dunia; tentang eksistensi surga dan neraka tapi alih-alih percaya, ia malah mengabaikan semua fakta dari agama tersebut.

Seandainya sepanjang hidupnya kedua panca indera itu diabaikan terus menerus, tidak lagi dimanfaatkan untuk kebaikan-kebaikan spiritual atau malah digunakan di jalan kedurhakaan kepada perintah-perintah Allah dan rasul-Nya, maka kelak di hari akhirat ia akan melihat bentuk dari penistaan terhadap panca inderanya (tajasum amal) yaitu keadaan dirinya yang buta untuk melihat jamaliyah (fascinant) Allah Swt. Ia tidak akan bisa melihat karunia-karunia yang ada di surga; citra malakuti nabi dan juga wali para wali. Ia juga terhukum untuk tidak melihat surga. Yang pada akhirnya ia diseret untuk masuk ke neraka jahanam.

Seperti halnya, ia buta untuk melihat dan menjalani kehidupan yang benar dan membahagiakan maka di akhirat juga ia tidak akan melihat jalan yang akan membawa kebahagiaan pada dirinya.

Al-Quran menjelaskan tentang hal-hal yang membuat buta di hari akhirat.Di antaranya yaitu karena berpaling dari Allah dan menatap dunia dengan penuh kerelaam maksimal,[1] sombong dan takabur dalam urusan-urusan agama,[2] melupakan hari akhirat dan tidak mau bergeming untuk beriman kepadanya,[3] menutup jalan bagi orang lain untuk beriman kepada Allah, [4] mendustakan ayat-ayat Allah dan juga tidak mau mengakui kenabian Muhammad Saw, [5] memutuskan silaturahmi dengan yang lain (memutuskan kewilayahan dengan Ali As), sombong dan membangkang. [6]

Tentang karakter-karakter ini juga disinyalir oleh hadis-hadis dari Nabi Saw sebagai penjelas atas apa yang disebutkan pada ayat-ayat di atas; yaitu menutup-nutupi (kebenaran) wilayah Ali dan tidak mau mengakui wilayahnya padahal ia memiliki kesempatan (untuk mengakuinya) sebelum kematian menjemputnya. [7]

Seseorang yang buta di hari akhirat bukan seseorang yang kehilangan fungsi indawinya. Bahkan di padang mahsyar ia menyadari kebutaan dan juga menyadari dimana ia berada. Bahwa pada kediaman ini bukanlah kediaman duniawi. Di sana ia memiliki mata namun di sini ia tidak memiliki indra penglihatan (lahir). Oleh itu, ia mengajukan protes sebagaimana kebiasaannya di dunia mengajukan protes dan bermental keras kepala.[8]

Dalam pandangan al-Quran, tafsir dan juga riwayat, kiamat itu memiliki bermacam-macam keadaan dan yang kemudian pada akhirnya orang-orang yang layak menjadi penghuni surga akan memasuki surga dan orang yang pantas mendapatkan siksaan akan memasuki neraka jahanam. Kebutaan itu hanya terjadi di padang mahysar saja sebelum digiring ke neraka.

Di padang mahsyar mereka dibutakan agar tidak bisa melihat keagungan dan keindahan Allah Swt, namun setelah melewati padang mahsyar dan masuk ke neraka jahanam, mata mereka kembali dapat difungsikan, agar bisa melihat kengerian-kengerian siksaan, agar dengan melihat siksaan-sikaan di neraka – penderitaannya semakin menjadi-jadi – akibat tidak mau melihat kebenaran di dunia.

Sebagian yang tidak memiliki pengetahuan yang mendalam berpendapat bahwa yang dimaksud buta seperti yang dikatakan oleh ayat “Barang siapa yang buta (hatinya) di dunia ini” adalah buta fisik. Jadi ditafsirkan bahwa mereka itu buta sekalipun mereka itu bisa memahami. Lataran itu mereka juga akan dihimpun dalam keadaan buta juga. Padahal bukan demikian, yang dimaksud dengan buta di dunia yaitu buta hati. Sementara yang dimaksud dari ayat “di akhirat (kelak) ia akan buta (pula)” adalah buta fisik; buta lahiriyah, artinya tajasum (penjelmaan) buta hati di dunia adalah buta mata di hari akhirat, sebagai sebuah siksaan terhadapnya.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, setelah dihimpun dalam keadaan buta di padang mahsyar, mereka digiring ke neraka dan matanya mereka bisa melihat kembali. Lantaran itulah yang telah mereka perbuat di dunia yaitu membutakan penglihatan dan pendengaran mereka untuk melihat ayat-ayat Allah, dan orang-orang suci . Semoga Allah menyelamatkan kita dari keburukan golongan tersebut.[]

Sumber dan referensi:

1. Abdullah Jawadi Amuli, Fitrat dar Qur’ân, jil. 12, hal. 97-104 dan 139-140, Intisyarat-e Isra, Qum, cetakan kedua, 1379 S.

2. Abdullah Jawadi Amuli, Ma’rifat Syinasi dar Qur’ân, jil. 13, hal. 357-362, Intisyarat-e Isra, Qum, cetakan kedua, 1371 S.

3. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân (Persia), Daftar-e Intisyarat-e Islami, jil. 13, hal. 232-233 dan jil. 14, hal. 314-316.

4. Sayid Abdulhusain Thayyib, Athyab al-Bayân, jil. 8, hal. 287-388, cetakan kedua, Kitab Purusyi Islami, Teheran.

5. Muhsin Qira’ati, Tafsir-e Nur, terkait dengan ayat yang disebutkan, Dar Rah-e Haq, Qum, cetakan pertama, 1374.

6. Muhammad bin Muhammad Ridha Qumi Masyhadi, Kanz al-Daqâiq, jil.7, hal. 463, 534-524, dan jil. 8, hal. 368-371, Muassasah Tab’e wa Nasyr (Wizara-te Irsyad), Teheran, 1411.

7. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, terkait dengan ayat-ayat yang disebutkan, Dar al-Kitab al-Islamiya, Teheran, cetakan ke-17, 1374.

[1]. Qs. Thaha (20): 124-127; Qs. Al-Isra (17):72.

[2]. Qs. Fushilat (41):17.

[3] Qs. Al-Naml (27):66.

[4]. Qs. Al-Hud (11):18-28

[5]. Qs. Al-An’am (6): 4-5; Qs. Al-A’raf (7): 64; Qs. Al-Baqarah (2):17-18.

[6]. Qs. Muhammad ():22-23.

[7]. Silahkan lihat, Athyab al-Bayân, jil. 18, hal. 287 dan 288, al-Mizân, jil. 4, hal. 314. Kanz al-Daqâ’iq, jil. 7, hal. 523-524, 456-462, dan jil. 8, hal. 368-371.

[8]. Qs. Thaha (20):124-127.

 

© 2024 Tanya Islam. All Rights Reserved.