Tolong Anda jelaskan pelbagai dimensi kepribadian Sayidah Zahra?

Kepribadian wujud dan makam spiritual Fatimah Zahra As terkristalisasi pada kitab-kitab yang ditulis dan orasi-orasi yang disampaikan. Akan tetapi apabila ribuan kitab yang ditulis dan orasi yang disampaikan toh masih berada di luar domain pemikiran dan benak manusia dan dinyatakan dalam ucapan dan tulisan, maka semua itu laksana setetes air di hadapan samudera tak-terbatas seluruh keutamaan Sayidah Zahra (Salamullah ‘alaiha).[1]

Pada kesempatan kami ini dengan pengakuan terhadap kelemahan kami dalam perkara ini, hanya mencukupkan diri dengan menyebut setetes air dari samudera tak terbatas itu. Sebagaimana ungkapan syair:

Âb daryâ ra agar natawânad kisyid

Ham be qadr-e tesynegi bâyad cisyid

Apabila air sesamudera tidak mampu ditelan

Maka sekadar untuk melepas dahaga (air itu) harus ditelan

Sebaik-baik pemikiran manusia, akan merasa heran dan setajam-tajam akal manusia akan tumpul di bawah langit makrifat Hadhrat Zahra Sa. Untuk sampai pada dermaga makrifatnya, maka kita harus menggunakan bahtera hadis-hadis para imam maksum tentang keutamaan Hadhrat Zahra Sa.

Sesuai sejumlah riwayat dan muktabar yang dinukil dari para Imam Maksum As, hakikat malam Qadar (lailatul qadar) ditafsirkan sebagai wujud suci Hadrat Fatimah Zahra Sa. Karena lailatul qadar merupakan wadah diturunkannya Al-Quran shamit (diam) dan Fatimah Sa adalah wadah diturunkannya 11 Qur’an natiq (berbicara) dan manusia-manusia sempurna yaitu para Imam Maksum As.[2]

Makam Hadrat Shiddiqah Kubra Sa (salah satu gelar Sayidah Fatimah) sedemikian tinggi sehingga kerelaan dan amarahnya menjadi kriteria kerelaan dan amarah Rasulullah Saw. Dan kerelaan dan amarah Rasulullah Saw menjadi kerelaan dan murka Allah Swt. Sebagaimana Nabi Saw bersabda dalam sebuah hadis, “Fatimah adalah belahan jiwaku. Barangsiapa yang membahagiakannya maka ia telah membahagiakanku. Dan barangsiapa yang membahagiakanku, maka ia telah membahagiakan Allah Swt. Barangsiapa yang menyakitinya ia telah menyakitiku dan barangsiapa yang menyakitiku maka ia telah menyakiti Allah Swt.” Dan juga riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Fatimah adalah orang yang paling terkasih di sisiku.” [3]

Demikian juga Rasulullah Saw bersabda dalam sebuah hadis, “Maryam adalah penghulu perempuan di masanya. Akan tetapi putriku Fatimah adalah penghulu perempuan sedunia semenjak awal hingga akhir.”[4] Dalam sebuah hadis yang lain, Rasulullah Saw bersabda, “Seorang malaikat telah turun kepadaku dan memberikan berita gembira bahwa Fatimah Sa merupakan penghulu perempuan di surga dan penghulu seluruh perempuan.”[5]

Dengan demikian, keutamaan dan kepemimpinan Fatimah Sa atas Maryam dan perempuan saleh seperti Asiyah telah ditetapkan. Iya, makam dan kedudukan Zahra Mardhiya Sa (salah satu gelar Sayidah Fatimah), tidak hanya lebih tinggi dari makam Asiyah dan Maryam dimana puncak kebanggaan mereka berdua adalah mendapatkan taufik untuk menjadi pelayan proses persalinan Hadhrat Khadijah Kubrah Sa tatkala ingin melahirkan Fatimah Zahra Sa.[6]

Dari dimensi-dimensi kemuliaan Hadhrat Zahra yang dapat dijadikan disebutkan di sini adalah qanâ’ah dan keluasan jiwa terhadap kekayaan duniawi dan fasilitas sedikit selagi beliau memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan seluas-luasnya fasilitas dan kekayaan; lantaran beliau adalah putri Nabi Muhammad Saw dan di samping itu, beliau memiliki ladang persawahan yang sangat berharga seperti “Fadak” yang dihadiahkan kepadanya yang memiliki penghasilan yang baik.[7]

Demikian juga, suaminya, Baginda Ali As dari tempat kerja dan usahanya banyak menghasilkan uang dan beliau dapat memiliki kehidupan sejahtera untuknya dan istrinya berikut anak-anaknya. Akan tetapi seluruh gajinya dihabiskan untuk menghidupi orang-orang yang membutuhkan dan mencukupkan dirinya dengan kehidupan yang sederhana dan penuh penderitaan.

Dimensi lainnya, kepribadian Hadhrat Zahra Sa, dimensi infak dan itsâr (lebih mengutamakan orang lain). Kisah ketika beliau menyerahkan pakaian pengantinnya, itu pun pada malam pengantin adalah sebuah kisah yang sangat masyhur. Dan kisah itsâr ketika beliau memberikan makanan orang miskin dan anak yatim selama tiga hari berturut-turut selagi beliau membutuhkannya, sebagaimana hal ini dikisahkan dengan indah dalam Al-Quran surah al-Insân (76).

Satu lagi dimensi kemuliaan Hadhrat Zahra Sa adalah ibadah-ibadah yang dilakukan. Ibadah-ibadah Hadhrat Zahra Sa dari sisi kuantitas sedemikian luas sehingga ibadah-ibadah tersebut hadir dan nampak pada detik-detik kehidupannya. Perbuatan, ucapan, pandangan, usaha, desah nafasnya pada setiap detik, siang dan malam adalah ibadah.[8] Beliau setiap malam usai menidurkan anak-anak dan lepas dari kesibukan urusan rumah tangga yang lainnya, beliau berdiri di atas sajadah untuk menunaikan shalat, sedemikian sehingga kakinya bengkak.[9]

Ibadah-ibadah yang dilakukan Hadhrat Fatimah Sa sedemikian tak terkira sehingga kecerlangan cahayanya membuat para malaikat muqarrab Ilahi terheran-heran dan turut menikmati ibadah-ibadah tersebut. Sehingga tujuh puluh ribu malaikat dari malaikat-malaikat muqarrab Ilahi seluruhnya menyampaikan salam dan penghormatan kepadanya.[10]

Salah satu kebanggaan Syiah adalah Shahifah Fatimiyah. Mazhab Syiah meyakini bahwa kitab mulia ini merupakan ilham yang disampaikan Allah Swt kepada Zahra Mardhiyah Sa.[11]

Hayâ, iffah dan hijab Hadhrat Zahra Sa

Jelmaan-jelmaan sangat indah dan menawan dari perbuatan dan ucapan Hadhrat Zahra terkait masalah hijab dan ifâf yang harus menjadi teladan para putri dan kaum perempuan dalam kehidupannya di setiap masa, khususnya di masa kita.

Suatu hari Nabi Saw bertanya kepada kaum Muslimin yang hadir di masjid: “Metode dan cara apakah yang terbaik yang harus diterapkan oleh kaum perempuan dalam kehidupannya? Hadhrat Zahra Sa – melalui perantara Salman Parsi – yang memandang dirinya tidak mampu menjawab pertanyaan ini dan karena itu ia pergi ke rumah Hadhrat Zahra Sa. Hadhrat Zahra Sa bersabda, “Lebih baik bagi perempuan jika tidak melihat laki-laki non-mahram dan laki-laki non-mahram tidak melihatnya.”[12]

Akhir kata, salah satu dimensi yang harus diteladani dari Hadhrat Zahra Sa adalah pembelaannya terhadap masalah wilayah dan imamah. Karena, pada masa singkat kehidupannya setelah wafatnya Rasulullah Saw, Fatimah Zahra Sa mempertontonkan dengan baik bagaimana menjaga wilayah dan imamah.[13] Sayidah Zahra mengetahui dengan baik bahwa orang-orang pada masanya tidak memiliki kelayakan untuk mengambil pelajaran dari ucapan-ucapannya yang sarat dengan pelajaran dan keberanian untuk bangkit (berontak) bersamanya, namun beliau ingin bagi orang-orang di masa mendatang, menunjukkan kesesatan, menampilkan hakikat dan menuntaskan hujjah bagi semua orang. Sebagiamana sabdanya, “Namun saya tahu bahwa kalian adalah orang-orang rendah dan hina. Tidak menolong memenuhi seluruh wujud kalian dan awan ketidaksetiaan telah menyelimuti hati-hati kalian. Apa yang harus aku lakukan hatiku berdarah dan lidahku kelu untuk mengeluh.”[14]

Fatimah Zahra Sa, dalam revolusi kebudayaannya, sedetik pun tidak pernah surut dalam membongkar dan pencerahannya memberi tahu seluruh kaum Muslimin sepanjang perjalanan sejarah bahwa diam di hadapan para penyerang kebudayaan tidak dapat diterima. Hadhrat Zahra Sa tidak tinggal diam di hadapan pelbagai bid’ah dan penyimpangan dalam Islam. Ia bangkit, membongkar dan membuat pencerahan; karena dengan ilham Ilahi dan dari percakapannya dengan Jibril beliau mengetahui bahwa suatu hari di masa depan pencerahan ini pada akhirnya akan menerangi hati-hati yang layak mendapat cahayanya dan memainkan peran yang sangat vital dalam menjaga pos imamah dan mewujudkan tujuan penciptaan.[15]

Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat beberapa literatur di bawah ini:

1. Jâmi az Zalâl-e Kautsar, Muhammad Taqi Misbah Yazdi.

2. Fâtimah Zahra az Wilâdat ta Syahâdat, Sayid Muhammad Kazhim Qazwini.

3. Hamâse Kautsar be Syarh Mubârazat Yegâne Dukht Payâmbar-e Girâmi Islâm, Hadhrat Fâtimah Zahra Sa, Majid Zujaji Kasyani.

[1] Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Jâmi az Zalâl-e Kautsar, hal. 21.

[2] Ibid, hal. 17.

[3] Syaikh Thusi, Âmali, jil. 1, hal. 24.

[4] Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 43, hal. 24, riwayat 20.

[5] Âmali, jil. 1, hal. 457; Dalâil al-Imâmah, hal. 8; Ghâyat al-Marâm, hal. 177; Bihâr al-Anwâr, jil. 43, hal. 2.

[6] Ibid.

[7] Al-Kâfi, jil. 1, hal. 538, Bab al-Fai wa al-Anfal wa Tafsir al-Khums wa hududihi wa ma yajibu fihi.”

[8] Ihqâq al-Haq, jil. 4, hal. 481.

[9] Bihâr al-Anwâr, jil. 42, hal. 117.

[10] Ibid, jil. 43, hal. 12, riwayat 6.

[11] Wasiat Nâme Siyâsi Ilahi Imâm Khomeini, Shahifeh-ye Nur, jil. 21, hal. 171. Kita merasa bangga bahwa doa-doa yang memberikan kehidupan yang menyebutnya sebagai “Qur’an Sha’id” dinukil dari para Imam Maksum kita. Kita merasa bangga bahwa “Munajat Sya’baniyah”, “Doa Arafat” Husain bin Ali As dan Shahifah Sajjadiyah yang merupakan Taurat Âli Muhammad (Keluarga Muhammad) dan Shahifah Fathimiyyah yang merupakan kitab yang diilhamkan Allah Swt kepada Zahra Mardhiyah adalah milik kita.

[12] Wasâil al-Syiah, jil. 14, hal. 43 dan 172; Bihâr al-Anwâr, jil. 43, hal. 54.

[13] Jâmi az Zalâl-e Kautsar, hal. 145.

[14] Kasyful al-Ghummah, jil. 1, hal. 491; al-Ihtijâj, hal. 102; Dalâil al-Imâmah, hal. 37.

[15] Jâmi az Zalâl-e Kautsar, hal. 149.

© 2024 Tanya Islam. All Rights Reserved.