Pada ayat yang menjadi obyek pertanyaan kita membaca,
«فَقَضاهُنَّ سَبْعَ سَماواتٍ فی یَوْمَیْنِ وَ أَوْحى فی کُلِّ سَماءٍ أَمْرَها
وَ زَیَّنَّا السَّماءَ الدُّنْیا بِمَصابیحَ وَ حِفْظاً ذلِکَ تَقْدیرُ الْعَزیزِ الْعَلیم»
“Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan (batu-batu meteor dari kejahatan setan). Demikianlah ketentuan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”
Di samping makna lahir ayat yang tentu saja tetap patut mendapat perhatian, juga terdapat penafsiran batin atau irfani atas ayat di atas:
Faqadhâhunna sab’a samâwât (Maka Dia menjadikannya tujuh langit): Yang dimaksud dengan tujuh langit adalah tingkatan langit manusia atau lathaif tujuh jenis hati manusia.[1] Terkait dengan hati tujuh lapisan sedemikian diyakini sehingga tingkatan ketujuhnya, hubb al-qalb yaitu batin qalbu yang merupakan lokus tajalli, penyingkapan dan tempat rahasia-rahasia dan turunnya cahaya-cahaya spiritual.[2] Namun sebagian ahli tafsir menafsirkan bahwa tujuh langit itu sebagai batin tujuh jenis dan batin tujuh jenis itu adalah fakultas batin, nafs, qalb, sir, ruh, khafa dan haq.” Mereka berkata bahwa ketujuh jenis batin ini adalah identitas setiap orang.[3]
Fi yaumain (dalam dua masa): Terdapat beberapa makna irfani yang telah dijelaskan terkait dengan redaksi ayat ini:
Hari pembentukan, pengadaan dan penjadian atau hari pengaturan-pengaturan (mudabirrat) dan hari mujarradat.[4]
Yaumain artinya adalah hari terpancarnya cahaya primordial Ilahi atas langit-langit dan hari terbitnya matahari atas langit-langit tersebut.[5]
Dengan memperhatikan penafsiran tujuh langit sebagai tujuh tingkatan batin manusia maka yang dimaksud dengan dua hari ini adalah dua bulan terakhir masa kehamilan.[6]
Wa awha fi kulli samain amrahâ (Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya): Mewahyukan bermakna memberikan emanasi ilmu baik dengan perantara atau tanpa perantara malaikat. Namun karena berkaitan dengan hal-hal non material, ilmu adalah identik dengan zat, maka arti dari emanasi ini adalah penciptaan non materi tersebut dengan sifat ilmu.[7] Hal-hal yang diwahyukan ini adalah khazanah-khazanah rahasia dan lathâif cahaya-cahaya Ilahi serta hakikat-hakikat takdirnya yang tidak diketahui semua orang dan hanya orang-orang seperti malaikat, para nabi dan wali Ilahi mengetahui sebagian darinya.[8] Demikian juga disebutkan bahwa urusan-urusan yang telah diwahyukan ke pelbagai tingkatan langit batin manusia adalah amalan-amalan (a’mâl), pemahaman-pemahaman (idrâkât), penyingkapan-penyingkapan (mukasyafât), penyaksian-penyaksian (musyahâdat), hubungan-hubungan lekat (muwâshalât), cengkerama-cengkerama penuh kemesraan (munaghiyât) dan manifestasi-manifestasi (tajalliyât).[9]
Wa zayyannâ al-samâ al-dunyâ bimashâbih wa hifzhan (Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan (batu-batu meteor dari kejahatan setan).
Terkait dengan redaksi ayat mulia ini juga terdapat penafsiran irfani yang telah dijelaskan sebagaimana berikut:
Pertama: Sebagaimana Allah Swt menghiasi bumi dengan para nabi dan wali, Allah Swt juga menghiasi langit-langit dengan bintang-bintang cemerlang. Demikian juga hati para arif dengan cahaya surya tajalli sifat Ilahi dan dengan bintang-bintang rahasia-rahasia malakut dan jabarut.[10]
Kedua: Dalam menjelaskan ayat ini terdapat sebuah penafsiran yang disandarkan kepada Imam Shadiq As, “Panca indra dan anggota batin orang-orang beriman kami indahkan dengan pelayanan mereka terhadap sesama.”[11]
Ketiga: Ibnu Atha dalam menjelaskan ayat ini berkata, “Hati orang-orang beriman kami hiasi dengan cahaya makrifat dan menjadikannya sebagai pelita hidayah dan cahaya tauhid (bagi semesta).[12]
Keempat: Allah Swt menghiasi hati-hati dengan cahaya-cahaya dimana cahaya-cahaya itu adalah: cahaya akal, cahaya pemahaman, cahaya ilmu, cahaya yakin,cahaya makrifat dan cahaya tauhid.[13]
Kelima: Langit dunia ini dipandang sebagai akal yang merupakan bagian batin terdekat dengan hati manusia yang terjaga dengan perantara cahaya-cahaya argumentasi dan demonstrasi dari setan-setan fantasi dan ilusi.[14]
“Dzalika taqdir al-‘aziz al-‘alim (Demikianlah ketentuan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui): Dia adalah Tuhan yang Mahaperkasa yang tiada seorang pun dapat menaklukkannya dan menjadi penghalang pelbagai pengaturan-Nya. Demikian juga Dia adalah Tuhan yang Mahamengetahui dan tiada sesuatu apa pun yang tidak diketahuinya khususnya hal-hal yang berkaitan dengan pelbagai kemaslahatan kerajaan-Nya.[15] [iQuest]
Mudhârabah dalam istilah fikih adalah perjanjian dimana seseorang sebagai pemilik modal memberikan modalnya kepada orang lain untuk dipakai berdagang (membuka usaha), dan keuntungan yang mereka peroleh akan dibagi dua.
Dengan ungkapan yang lebih jelas, mudhârabah diartikan sebagai akad (persetujuan) dan perjanjian di antara dua orang yang melakukan perjanjian (mun’aqid) dan perjanjian tersebut akan berlangsung dimana orang yang memiliki modal memberikannya kepada pihak kedua untuk dipakai (sebagai modal) dalam melakukan usaha dan transaksi. Adapun keuntungan yang diperoleh dari usaha dan transaksi itu akan dibagi di antara dua orang tersebut dengan jumlah yang telah disepakati, dan orang yang memiliki modal tersebut disebut sebagai mâlik (pemilik modal) dan yang melakukan transaksi dan usaha disebut sebagai ‘âmil (wakil atau agen).
Perlu untuk diingat bahwa sebagaimana agama suci Islam memperhatikan ibadah dan persoalan-persoalan yang menyangkut peribadatan, juga memperhatikan ekonomi dan nafkah penghidupan umatnya.
Jelas bahwa inti dari kebahagiaan individu dan masyarakat terletak pada ibadah dan penghambaan kepada-Nya yang menyeluruh dengan melalui pekerjaan dan kegiatan perekonomian. Inti dasar kehormatan dan kemuliaan (izzah) orang-orang Muslim terletak pada hubungan mereka dengan sang Khalik dan juga hubungan dengan sesama manusia, bahkan dalam kebersamaan tersebut hubungan perdagangan, perekonomian secara adil. Sudah sewajarnya ada ayat yang menyatakan:
«رِجالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجارَةٌ وَ لا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَ إِقامِ الصَّلاةِ ِ وَ إيتاءِ الزَّكاة يَخافُونَ يَوْماً تَتَقَلَّبُ فيهِ الْقُلُوبُ وَ الْأَبْصار»
“Orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan sholat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari kiamat).” (Qs. al-Nur [24]:37)
Atau pada ayat lainnya, Allah Swt berfirman:
«فَإِذا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَ ابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَ اذْكُرُوا اللَّهَ كَثيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون»
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (Qs. al-Jumuah’ [62]:10)
Dalam riwayat disebutkan bahwa barang siapa bangun untuk mencari karunia Allah dan memperoleh rizki halal, maka dia pasti akan memperoleh sedekah dari Allah Swt.[1]
Jelas bahwa tujuan dari mudhârabah adalah mengembangkan perekonomian dan perputaran modal serta menghambat penurunan mata pencaharian, minimnya pekerjaan dan nilai pasar orang-orang Muslim. Tujuan dari mudhârabah adalah memanfaatkan tenaga kerja aktif dan potensial dan menghambat pengangguran serta memberdayakan orang-orang Muslim yang cakap dan trampil.
Tujuan dari mudhârabah adalah menghasilkan keuntungan dan penghasilan yang sesuai hukum Islam dan halal, jauh dari riba dan memakan harta yang haram (akl al-mal bil bathil).
Dalam perjanjian mudhârabah, kerugian ditanggung sang pemilik modal (malik), akan tetapi jika perjanjian tersebut menghasilkan keuntungan, maka akan menjadi pengganti kerugian dengan keuntungan tersebut, dan sebagaimana sang amil akan bertanggung jawab atas seluruh atau sebagian dari kerugian tersebut, sebagaimana mengikut dalil yang lebih jelas menegaskan akan keabsahan syarat mudhārabah.[2]
Mudhârabah adalah sebuah perjanjian yang termasuk dalam uqud jâizah[3] yang memiliki beberapa persyaratan:
Adanya formula mudhârabah (ijab-qabul)
Adanya syarat-syarat taklif, seperti berakal, baligh, memiliki hak pilih dalam antara satu dari pemilik modal dan amil nya.
Menentukan keuntungan sang pemilik modal dan agen yang sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Modal dipakai sesuai dengan hukum syar’i.
Modal yang akan dipakai mudhârabah jelas nilainya.
Sang “amil” mempunyai kemampuan dalam menjalankan pekerjaannya.
Mudhârabah adalah perniagaan bersih dan diberkati yang telah disepakati dalam Islam. [iQuest]
[1] Kâfî, jil. 4, hal. 12, Cet. Keempat, Dârul Kutub al-Islâmiyah, Tehran, 1365 S.
[2] Taudhih al-Masâil (al-Muhassyâ lil Imam al-Khomeini), jil. 2, hal. 303.
[3]. Akad yang tidak mengikat dan salah satu pihak dapat membatalkan perjanjian yang telah disepakati.
[1]. Sultan Muhammad Gunabadi, Tafsir Bayân al-Sa’âdah fi Maqâmât al-‘Ibâdah, jil. 4, hal. 33, Muassasah al-A’lami Mathbu’at, Beirut, Cetakan Kedua, 1408 H.
[2]. Ismai Haqqi Buruswi, Tafsir Ruh al-Bayân, jil. 8, hal. 238, Dar al-Fikr, Beirut, Cetakan Beirut, Tanpa Tahun.
[3]. Ibnu ‘Arabi, Tafsir Ibnu ‘Arabi, Ta’wilât Abdurrazzaq, Riset Samir Mustafa Rubab, jil. 2, hal. 220, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Pertama, 1422 H.
[4]. Tafsir Bayân al-Sa’âdah fi Maqâmât al-‘Ibâdah, jil.4, hal. 33.
[5]. Ruzbihan Baqli Syirazi, Tafsir ‘Arâis al-Bayân fi Haqâiq al-Qur’ân, Riset oleh Ahmad Farid al-Mazidi, jil. 3, hal. 245, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Cetakan Pertama, 2008 M.
[6]. Tafsir Ibnu ‘Arabi, jil. 2, hal. 221.
[7]. Tafsir Bayân al-Sa’âdah fi Maqâmât al-‘Ibâdah, jil. 4, hal. 33.
[8]. Tafsir ‘Arâis al-Bayân fi Haqâiq al-Qur’ân, jil. 3, hal. 245.
[9]. Tafsir Ibnu ‘Arabi, jil. 2, hal. 221.
[10]. Tafsir ‘Arâis al-Bayân fi Haqâiq al-Qur’ân, jil. 3, hal. 245.
[11]. Tafsir yang disandarkan kepada Imam Ja’far Shadiq, Tafsir Imam Ja’f’ar al-Shadiq As, jil. 1, hal. 53, Markaz Nasyr Danesygahi, Teheran, Cetakan Pertama, 1369 S.
[12]. Ibid, hal. 177.
[13]. Abu al-Qasim Abdul Karim Qusyairi, Lathâif al-Isyârat, Riset oleh Ibrahim Busaini, jil. 2, hal. 611, al-Haiat al-Mishriyyah al-Ammah lil Kitab, Mesir, Cetakan Ketiga, 1981 M.
[14]. Tafsir Ibnu ‘Arabi, jil. 2, hal. 220-221.
[15]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil.7, hal. 288, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Kelima, 1417 H.