Kematian adalah terpisahnya ruh dari jasad[1] dan juga musnahnya dan terpisahnya nafs dari badan.[2] Setiap manusia, akan mengalami kematian. Akhir kehidupan ini merupakan perjalanan natural setiap bentuk materi yang ada di dunia. Hakekat kematian manusia telah tercatat di lauh mahfudz dan merupakan qadha Ilahi yang telah ditetapkan. Berdasarkan hukum «کُلُّ نَفسٍ ذائِقَةُ المَوتِ» [3] maka tidak ada seorangpun yang terkecualikan dari kematian. Namun umur khusus setiap manusia dan kapan ia meninggal, telah tercatat dan telah ditetapkan di lauh mahfudz namun tetap bisa berubah.[4]
Kematian seseorang akan terjadi dengan dua sebab: Kematian yang disebabkan karena telah berakhirnya kemampuan jasmani badannya dan hal itu disebut dengan kematian natural dan kematian yang terjadi karena kejadian dan perbuatan-perbuatan manusia dan hal itu disebut dengan kematian terpaksa, dini dan mendadak.
Jaman tibanya kematian disebut dengan ajal. Allamah Hilli berkata: “Ajal adalah waktu yang telah ditetapkan dimana kejadian diukur dengan hal itu.[5]
Ajal secara leksikal memiliki dua makna: satunya adalah waktu telah ditentukan dan yang lainnya adalah telah tiba. Menurut Allamah Thabathabai, makna asli ajal adalah selesainya waktu dan secara majazi juga digunakan dalam telah tibanya waktu.[6] Yang dimaksud dengan ayat «فَإِذا جاءَ أَجَلُهُمْ» adalah makna kedua yaitu masa kematian telah tiba.
Jenis-jenis ajal:
Ajal manusia dalam istilah al-Quran dapat dibagi menjadi dua: ajal musamma dan ajal mu’allaq. Ajal musamma dalam tataran tertentu dapat dikatakan memiliki kemiripan dengan kematian natural meskipun terdapat perbedaan diantara keduanya. Ajal mu’allaq juga memiliki kemiripan dengan kematian secara mendadak. Tentu saja lebih baik jika dikatakan bahwa ajal mu’allaq dikatakan sebagai kematian secara dini.
Ajal musamma disebut juga dengan ajal hatmi (niscaya), ajal mahtum (pasti), ajal maktub (tertulis), ajal mu’ayyan (telah ditentukan) dan ajal mu’allaq (bergantung) juga disebut dengan ajal dengan syarat, mauquf (bergantung) dan ajal muqtadhi (bersyarat).
Berdasarkan nukilan dari Syaikh Thusi, terkait dengan ajal manusia terdapat dua pandangan yang mengemuka:
Pertama adalah bahwa setiap manusia memiliki ajal yang telah ditentukan dimana manusia akan meninggal dengan ajal tersebut.
Kedua bahwa setiap manusia memiliki dua ajal: Satunya adalah tidak dapat dirubah dan pasti dan yang lainnya adalah tersembunyi. Namun setelah ia menukil dua pandangan ini, ia mengutamakan pendapat yang pertama dengan alasan bahwa ajal merupakan zaman terjadinya kematian dan dengan takdir sesuatu itu tidak disebut dengan ajal.[7]
Tentu saja pemilihan ini bukan merupakan dalil yang sempurna karena terdiri dari dua bagian: Berdasarkan kandungan ayat:
«هُوَ الَّذی خَلَقَکُمْ مِنْ طینٍ ثُمَّ قَضی أَجَلاً وَ أَجَلٌ مُسَمًّی عِنْدَه…»[8]
dapat ditarik kesimpulan.[9]
Dalam ayat ini, ada kata “ajal” dan ada juga kata “musamma.” Tak dapat diragukan lagi bahwa keduanya memiliki satu makna dan kata kedua merupakan pengulangan dari yang pertama, namun ajal secara mutlak dan ajal musamma tentunya berbeda. Sebagaimana bahwa sesuai dengan yang ada diriwayat juga merupakan penjelasan akan hal ini bahwa terdapat dua bentuk ajal bagi manusia.[10]
Dalam hadis dari Imam Shadiq As, dalam tafsiran ayat diatas bersabda: “Manusia memiliki dua ajal: ajal bersyarat dimana dalam ajal itu Tuhan akan menjalankan segala sesuatu yang dikehendaki dan ajal mahtum.”[11]
Humran bin A’yun dari Imam Baqir As terkait dengan ayat diatas bertanya dan Imam menjawab: “Terdapat dua ajal: ajal mahtum (pasti) dan ajal mauquf (bergantung)” [12]
Para mufassir dalam menafsirkan dua ajal ini menjelaskan berbagai dalil. Diantaranya yang dapat diterima adalah penafsiran yang biasanya telah dijelaskan. Dan hal itu adalah: Setiap maujud yang hidup, secara natural dan kemampuan jasmaninya mampu hidup hingga waktu tertentu yang apabila tidak ada rintangan untuk melanjutkan kehidupannya, ia akan hidup hingga akhir usia naturalnya dan ia akan mengakhiri kehidupannya secara natural. Kematian demikian disebut dengan “ajal musamma”. Dalam riwayat, ajal musamma disebut sebagai ajal yang tidak dapat dirubah.[13] Di antaranya adalah hukum-hukum dan qadha yang telah ditetapkan oleh Tuhan yang telah ditulis dalam ummul kitab dan lauh mahfudz.
Namun, ajal mu’allaq adalah ajal yang berubah dan akan terjadi berdasarkan sebab-sebab tidak sempurna dan tuntutan-tuntutan pendukung. Berdasarkan perilaku-perilaku yang tidak benar mungkin saja ajal seseorang akan tiba dengan lebih cepat dan hal ini adalah salah satu bentuk azab Ilahi dan sebaliknya berdasarkan ketakwaan dan kebaikan mungkin saja ajal seseorang akan menjadi tertunda secara lama.[14]
Ajal mu’allaq dalam kitab tercatat sebagaimana yang diisyaratkan dalam al-Quran: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tak seorang rasul pun berhak mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu). Allah menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitâb (Lauh Mahfûzh).”[15]
Dalam riwayat disebutkan: “Ajal ghairi musamma bisa lebih cepat atau lebih lambat. Namun ajal musamma tidak dapat dirubah.[16] Dalam lauh mahfudz (ummul kitab) semuanya terjaga dari perubahan dan pasti terjadi. Doa, sedekah dan lainnya tidak berpengaruh dalam qadha yang pasti. Pada ayat di atas, ajal musamma terkait dengan “indahu” (berada di sisi-Nya). Oleh itu, ajal musamma berada di sisi Tuhan dan segala sesuatu yang berada di sisi Tuhan sifatnya tetap.[17] Kata “indahu” tidak bermakna maklum di sisi Tuhan karena ajal yang tidak tetap juga maklum di sisi Tuhan. Kandungan dua ayat ini menjadikan silogisme (qiyas) bentuk pertama:
Ajal musamma ada di sisi Tuhan (premis minor)
Segala sesuatu yang berada disisi-Nya akan tetap ada (premis mayor)
Oleh itu ajal musamma bersifat tetap dan tidak berubah (kesimpulan)
Namun terkait dengan lauh mahfudz memiliki sifat fleksibel. Hanya Tuhan yang mengetahui bahwa seseorang dengan usaha yang baik akan berdoa, bersilaturahim akan memanjangkan umurnya dan orang lain dengan usaha-usaha tidak bagusnya seperti durhaka kepada orang tua, memutuskan tali silaturahim maka ia akan kehilangan keberkahan.[18]
Dari sisi bahwa ajal mu’allaq memiliki kaitan erat dengan amal perbuatan manusia, maka disebut juga dengan ajal dini/cepat karena seseorang yang terkena ajal mu’allaq harus secara natural dan berdasarkan ajal musamma Ilahi, memiliki umur yang lebih panjang namun karena perilaku yang ia lakukan, membuat waktu itu hilang dan umurnya menjadi pendek dan terkena kematian mu’allaq. Manusia dengan amal perbuatan sendiri, mengubah keadaan kehidupan di dunianya sendiri dan menjadikan umurnya menjadi bertambah atau berkurang. Demikianlah, dengan perbuatan-perbuatan baik, ajal mu’allaq akan menjadi tertunda hingga syarat-syarat yang lebih baik terpenuhi untuk mencapai kesempurnaannya atau dengan perbuatan-perbuatan buruknya akan mempercepat kematian bagi dirinya dan tidak ada lagi kesempatan untuk hidup baginya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat: “Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memanjangkan umurmu sampai kepada waktu yang ditentukan. Sesungguhnya jika ketetapan Allah telah datang, maka ketetapan itu tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu mengetahui.”[19]
Ayat ini mengisyaratkan bahwa kemaksiatan akan mempercepat ajal sedangkan ampunan Ilahi akan mengakhirkan ajal musamma. Oleh itu, dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa umur manusia terkait dengan amalan-amalan baik atau buruk mereka.[20]
Kesesuaian Ayat-ayat tentang tidak Tertundanya Kematian atas Ajal Musamma
Dengan memperhatikan penafsiran tentang ajal mua’allaq dan ajal musamma sebagaimana yang telah diisyaratkan di atas, semua ayat-ayat yang menunjukkan tentang tidak dapat ditundanya kematian ketika kematian telah tiba, sesuai dengan ajal musamma karena dalam ajal musamma tidak ada penundaan dan pengakhiran. “Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktunya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [21] “Katakanlah, “Aku saja tidak berkuasa mendatangkan kemudaratan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku sendiri, melainkan apa yang dikehendaki Allah. (Yang pasti aku tahu adalah) tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) memajukan(nya).” [22] “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” [23]
Pada ayat-ayat di atas, yang dimaksud dengan “ajal” adalah kematian yang pasti yaitu ketika manusia telah sampai akhir usianya yaitu kematian yang pasti, secara natural dan tidak dapat dirubah dan di tunda. Oleh itu, ayat ini tidak meliputi kematian mendadak. [24] Jadi ayat-ayat dalam al-Quran yang menjelaskan tentang lebih cepat atau lambatnya suatu kematian sesuai dengan ajal musamma. [iQuest]
[1] Thabathabai, Sayid Muhammad Husain, Al-Mizān fi Tafsir al-Qurān, jil. 17, hal. 293, Qum, Daftar Intisyarat Islami, cet. 5, 147 H.
[2] Jawadi Amuli, Abdullah, Tafsir Tasnim, jil. 15. Hal. 685, Qum, Isra, Silahkan lihat: Keadaan ruh setelah kematian, pertanyaan 7803.
[3] (Qs Al-Anbiya [21]: 35)
[4] Tafsir Tasnim, jil. 9, hal. 425.
[5] Allamah Hilli, Kasyf al-Murād fi Syarah Tajrid al-I’tiqād, hal. 339, Qum, Muasasah al-Nasyar al-Islami, cet. 4, 143 H.
[6] Al-Mizān fi Tafsir, al-Qurān, jil. 7, hal. 8.
[7] Syaikh Thusi, Muhammad bin Hasan, Al-Tebyān fi Tafsir al-Qurān, jil. 3, Beirut, Dar Ihya al-Tsurats al-Arabi, tanpa tahun.
[8] “Dia-lah Yang menciptakanmu dari tanah, sesudah itu Dia menentukan ajal (masa hidup tertentu supaya kamu dapat menggapai kesempurnaan ciptaanmu), dan ajal yang pasti hanya ada pada sisi-Nya (dan hanya Dia sendirilah yang mengetahuinya). Kemudian (dengan ini semua) kamu (musyrikin) masih ragu-ragu (tentang keesaan dan kekuatan-Nya).” (Qs Al-An’am [6]: 2)
[9] Tafsir Tasnim, jil. 15, hal. 690.
[10] Silahkan lihat: Thabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma’ al-Bayān fi Tafsir al-Qurān, jil. 423-424, Tehran, Nashir Khusru, cet. Ke-3, 1373 S; Zamakhsyari, Mahmud, Al-Kasyāf an Haqāiq Ghawāmish al-Tanzil, jil. 2, hal. 4, Beirut, Dar al-Kitab al-Arabi, cet. 3. 1407 H; Ayāsyi, Muhammad bin Mas’ud, Al-Tafsir, jil. 1, hal. 354-355, Tehran, Al-Mathbu’ah al-Ilmiyah, cet. 1, 1380 H.
[11] Majlisi, Muhammad Baqir, Bihār al-Anwār, jil. 5, hal. 40, Beirut, Muasasah al-Wafa, 1404 H.
[12] Kulaini, Muhammad bin Ya’qub, Kāfi, jil. 1, hal. 147, Tehran, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Dar al-Kitab al-Islamiyah, cet. 2, 1362 S.
[13] Silahkan lihat: Arusi Huwaizi, Abdul Ali bin Jumah, Tafsir Nur al-Tsaqālain, terkait dengan ayat 34 surah al-A’raf, jil. 2, hal. 27, Qum, Ismailiyan, cet. 4, 1415 H.
[14] Makarim Syirazi, Nashir, Tafsir Nemuneh, jil. 18, hal. 210, dan jil. 5, hal. 150, Tehran, Dar al-Kitab al-Islamiyah, cet. 1, 1374 S, Payuhesykadeh Tahqiqat Islami, Farhang Syiah, hal. 67, Qum, Zamzam Hidāyat, cet. 2, 1386 S.
[15] ( Qs Ra’d [13], 38-39)
[16] Tafsir Nur al-Tsaqālain, jil. 1, hal. 704.
[17] Tafsir Tasnim, jil. 9, hal. 424, Silahkan lihat: Al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 7, hal. 8-10.
[18] Tafsir Tasnim, jil. 9, hal. 426.
[19] (Qs Nuh [71]: 4)
[20] Silahkan lihat Bihâr al-Anwâr, jil. 5, hal. 140.
[21](Qs Munafiqun [63]: 11)
[22] (Qs Yunus [10]: 49)
[23] (Qs A’raf [7]: 34)
[24] Tafsir Nemuneh, jil. 5, hal. 150.