Dengan memperhatikan tidak mungkinnya memberikan petunjuk kepada orang-orang kafir yang keras kepala lantas mengapa para nabi bersikeras supaya mereka memperoleh petunjuk dan merisaukan azab yang kelak mereka terima pada hari kiamat?

 

Dua ayat ini bercerita tentang orang-orang kafir yang keras kepala. Sedemikian mereka keras kepala dalam kesesatannya sehingga meski kebenaran telah terang dan nyata bagi mereka, namun mereka tetap enggan menerimanya. Al-Quran yang merupakan kitab petunjuk dan panduan sama sekali tidak berpengaruh bagi mereka. Engkau katakan atau tidak, berikan peringatan atau tidak, berikan berita gembira atau tidak, sama sekali tidak menyisakan pengaruh apa pun pada diri mereka. Pada dasarnya mereka tidak memiliki kesiapan mental untuk mengikut suara hak dan tunduk di hadapan kebenaran.

 

Ayat kedua, disebabkan oleh sikap fanatik dan sikap keras kepala, menyatakan bahwa sedemikian tenggelam dalam kekufuran dan penentanngan sehingga mereka tidak memiliki rasa untuk mengidentifikasi, “Allah telah mengunci mata hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup.” (Qs. Al-Baqarah [2]:7) Atas dasar itu hasil dari perbuatan mereka adalah, “Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” (Qs. Al-Baqarah [2]:7)[1]

 

Pertanyaan pertama yang mengemuka di sini adalah apabila sesuai dengan ayat di atas Allah Swt telah mengunci mata hati dan pendengaran, sehingga mereka terpaksa tetap tinggal dalam kekufuran. Bukankah hal ini merupakan jabr (determinisme)? Dalam kondisi seperti ini, apakah mereka layak dikenai hukuman?

 

Al-Quran memberikan jawaban atas pertanyaan ini pada ayat lainnya dan bahwa Allah Swt dalam sistem penciptaan telah menjadikan hukum kausalitas berlaku pada segala sesuatu, dan tiada satu pun yang terjadi tanpa adanya sebab.

 

Beberapa sebab yang membuat Allah Swt mengunci mata hari dan pendengaran mereka di antaranya adalah sikap takabur, mengikuti hawa nafsu, mengikut nafsu membangkang, bersikeras dan bersikap keras kepala di hadapan kebenaran, bersikap aniaya, kufur dan lainya sebagainya menjadi sebab terbentangnya tirai rasa untuk mengidentifikasi bagi manusia dan tidak berfungsinya media pengenalan bagi manusia.[2]

 

Sejatinya bahwa hal ini merupakan hal natural bahwa apabila manusia mengerjakan perbuatan salah dan mengulang-ngulang kesalahan maka secara perlahan ia akan menjadi akrab dengan kesalahan tersebut; karena pada tingkatan pertama, “mood” (hâl) kemudian berubah menjadi “adat” kemudian berubah menjadi sesuatu yang inheren (malakah) dan menjadi bagian dari jiwanya. Terkadang perbuatannya sampai pada tingkatan yang membuatnya mustahil untuk kembali.

 

Namun karena ia memilih sesuai dengan pilihannya sendiri maka dirinyalah yang bertanggung jawab atas seluruh konsekuensi perbuatan-perbuatannya tanpa meniscayakan determinisme. Kondisi ini  persis seperti sesorang yang secara sadar membutakan dan menulikan dirinya dengan sebuah alat sehingga tidak melihat dan mendengar apa pun. Apabila kita saksikan kesemua ini disandarkan kepada Tuhan maka hal itu disebabkan karena Allah Swt meletakkan tipologi ini pada perbuatan-perbuatan seperti ini dan kausalitas (sebab- akibat) ini diciptakan oleh Tuhan.

 

Kebalikan dari hal ini juga dalam sistem penciptaan dapat kita saksikan secara kasat mata; artinya apabila seseorang yang suci dan bertakwa, benar dan lurus, maka Allah Swt akan menguatkan rasa identifikasinya dan memberikan pencerahan kepadanya, sebagaimana kita membaca dalam al-Quran, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu (kekuatan) pembeda (antara yang hak dan yang batil di dalam hatimu), menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Qs. Al-Anfal [8]:29)

 

Kita belajar hakikat ini dalam kehidupan keseharian kita. Orang-orang yang memulai melakukan pelanggaran, pada awalnya juga mengakui bahwa ia adalah pendosa dan pelanggar. Atas dasar itu ia merasa bersedih. Namun secara perlahan ia mulai akrab dan perasaan sedih itu mulai hilang. Pada tingkatan yang lebih tinggi terkadang sampai pada titik dimana ia tidak hanya bersedih bahkan ia bergembira dan memandangnya sebagai tugas kemanusiaannya (melakukan dosa dan kesalahan).

 

Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat Pertanyaan 631 (Site: 690) Indeks: Hidayah untuk Umat Manusia dan Pertanyaan 1553 (Site: 1578) Indeks Pengetahuan Tuhan dan Penciptaan Manusia-manusia Jahat.

 

Pertanyaan lain yang berkaitan dengan ayat-ayat di atas adalah bahwa apabila orang-orang kafir ini tidak dapat memperoleh petunjuk lantas mengapa para nabi bersikeras menghendaki supaya mereka diberi petunjuk?

 

Dengan mencermati satu poin maka jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi jelas. Poin itu adalah bahwa hukuman-hukuman dan hajaran-hajaran Ilahi senantiasa bertautan dengan segala perbuatan dan tindakan manusia. Seseorang tidak dapat dihukum hanya karena hatinya jahat, melainkan pertama-tama ia harus diajak kepada kebenaran apabila ia tidak mengikut dan kekotoran batin terefleksi pada perbuatannya maka dalam kondisi ini ia harus mendapatkan hukuman. Selain itu, akan menjadi obyek qisash sebelum terjadinya kejahatan; hukuman sebelumnya terjadinya pelanggaran. Dengan kata lain, ganjaran dan pahala perbuatan harus diberikan setelah manusia mengerjakan sebuah perbuatan baik. Karena itu semata-mata mempersiapkan dan memiliki potensi mental dan pikiran untuk melakukan perbuatan baik tidak mencukupi. Di samping itu, hal ini dilakukan untuk menuntaskan hujjah bagi mereka sehingga mereka tidak berkata sekiranya para nabi datang kepada kami dan membimbing kami niscaya kami akan memperoleh petunjuk. [iQuest]

 

 

 

 

 

[1]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 82, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S.

 

[2]. Dalam surah al-Nisa, ayat 155 kita membaca, “bal thaba’aLlâhu ‘alaiha bikufrihim” (Bahkan, sebenarnya Allah telah mengunci mati hati mereka karena kekafirannya). Pada surah al-Mukmin, ayat 35, kita membaca, “Kadzalika yathba’uLlâh ‘ala kulli qalbi mutakkabirin jabbârin.” (Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang). Demikian juga pada surah al-Jatsiyah, ayat 23 kita membaca, “afaraita manittakhadza ilahahu hawahu wa adhlaLlahu ‘ala ilmi wa khatama ‘ala sam’ihi wa qalbihi wa ja’ala ‘ala basharihi ghisyâwatun.” (Pernahkah kamu pernah melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya (bahwa ia tidak layak lagi memperoleh petunjuk), serta Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan di atas penglihatannya?)

 

 

© 2024 Tanya Islam. All Rights Reserved.