shmah secara leksikal bermakna keterpeliharaan dan keterjagaan. Adapun secara teknis berarti terpelihara dan terjaga dari perbuatan salah, tercela dan dosa. Kesucian dari kesalahan dan perbuatan dosa ini mempunyai dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama adalah pada masa hayatnya (semenjak lahir sampai meninggal) seorang maksum terbebas dari kesalahan dan kelupaan dalam proses pembelajaran, pengajaran dan pemberlakuan syariat agama Ilahi. Pengertian maksum ini hanya mencakupi dalam diri para nabi dan imam As dan tidak ada satu dalil pun yang menunjukkan kepemilikan manusia lain terkait kedudukan ini (selain para malaikat).[1] Kemungkinan yang lainnya adalah kemaksuman (ishma) relatif yang mempunyai derajat kekuatan dan ragam kelemahan, berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, dan mempunyai sifat yang tidak tetap.
Dalam masalah agama, bisa saja seseorang, setelah melalui usaha yang keras, sungguh-sungguh dan pendislipinan latihan-latihan tertentu serta usaha sungguh-sungguh yang ia lakukan namun demikian tiada jaminan bahwa ia akan dapat menjaga segala perbuatannya sampai akhir hayatnya.
Karena itu, kemaksuman relatif ini, dengan memperhatikan intensitas dan kelemahannya, dapat dibandingkan dengan yang lain. Kondisi sedemikian pada manusia biasa galibnya disebut sebagai “malakah adalat” (sifat mental); yaitu ia tidak lagi terlihat tergelincir melalukan dosa yang disengaja atau dosa besar.
Syiah tidak mengakui adanya kemaksuman secara sempurna selain untuk para imam (Sayidah Zahra dan 12 Imam) dan para nabi. Akan tetapi, Syiah meyakini akan adanya kemaksuman secara relatif dan nisbi yang dimiliki oleh keturunan nabi dan juga para ulama. Namun demikian, dengan tetap menjunjung kehormatan kepada para keturunan imam dan kerabatnya demikian juga kepada ulama unggul dan terkemuka, toh mereka tidak terlepas dari perbuatan dosa dan tidak terpuji. Karena itu, menafikan kemaksuman dari selain nabi dan imam tidak bermakna menyandarkan perbuatan dosa atau tudingan kepada mereka.
Terkait ibu-ibu para imam, saudari-saudari perempuan dan sudara-saudara lelaki mereka yaitu kemaksuman yang bermakna mutlak itu tidak dapat disandarkan kepada mereka. Sebagaimana penyandaran kelupaan atau dosa kepada mereka tertolak.
Tentang para bunda imam, di antaranya bunda Imam Mahdi Ajf juga termasuk dalam kategori ini karena menurut catatan sejarah, ia adalah seorang kanizah (budak perempuan) sebagaimana sebuah nukilan sejarah menyatakan, “Malikah (Shaiqal) putri Yasyu’a putra mahkota Kaisar Roma dan ibunya adalah salah seorang cucu Syam’un bin Hamun, wasi Nabi Isa As dan sebagai tawanan perang, ia dibeli Imam Hadi As untuk kemudian diserahkan kepada Imam Hasan ‘Askari As.” Dan menurut nukilan sejarah lainnya, “Seorang budak yang berada di rumah Hakimah binti Ali Hadi As yang kemudian ia serahkan kepada abangnya.”
Sebagian usianya ia lalui sebagai seorang non-Muslim. Setelah menjadi tawanan ia memasuki rumah wahyu, lalu menjadi seorang Muslimah dan menerima pendidikan secara islami dan terbersihkan dari perbuatan syirik dan akhirnya layak untuk menjadi istri Imam (Hasan Askari) kemudian hamil dan melahirkan manusia maksum. Sebagaimana nasib sebagian bunda para imam yang lain.[2]
Tidak diragukan lagi bahwa untuk menjadi seorang ibunda dari pada manusia maksum, tidak hanya diperlukan kelayakan yang luar biasa dan harus mempunyai kelebihan yang tinggi. Namun juga diperlukan rahim yang suci, yang merupakan nilai khusus yang dimiliki oleh para imam As. Oleh karena itu, dalam buku panduan berziarah kepada para maksum kita bersaksi bahwa: Allah telah memindahkan inayah-Nya kepadamu dari tulang sulbi yang suci dan berasal dari kerabat yang suci sehingga kalian tersucikan dari kotoran jahiliyah. Engkau adalah suci dan disucikan. Ayah-ayah dan Ibu-ibumu adalah manusia suci dan disucikan.[3]
Dalam buku panduan ziarah khusus kepada Imam Zaman Ajf di Samara juga terdapat ungkapan:
Salam bagi bunda imam dan juga kepada amanat utusan rahasia Ilahi dan pembawa manusia yang paling mulia, salam bagimu wahai yang tuturannya selalu benar yang selalu diridhai,….. salam bagimu wahai yang suci dan bertakwa… Aku bersaksi bahwa engkau telah mengasuh (anakmu) dengan baik dan telah pula menyampaikan amanah yang engkau pikul. Semoga Allah Swt ridha padamu dan membuatmu bahagia dan menjadikan surga sebagai tempat kembalimu dan peristirahatan. Dia telah mencurahkan berbagai kenikmatan dan memberimu kemuliaan yang dengannya Dia memampukanmu.[4]
Kesimpulannya adalah bahwa Ibunda Imam Zaman Ajwf itu tidaklah mempunyai kemaksuman yang dimiliki oleh 14 maksum. Namun, setelah beliau memasuki kediaman Imam Hasan Askari As, ia memiliki tingkat kemaksuman relatifsehingga mempunyai kelayakan untuk mengandung Imam Zaman Ajf, memberikan ASI kepadanya dan ia menjadi jaminan baginya dan bagi wanita-wanita yang lainnya dan bagi aimmah dan pengikut syiah, ia dihormati dan mempunyai kedudukan yang khusus.[]
[1] . Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi, Ma’ârif Qur’an (Rah wa Rahnama Syenasi), Jil. 4 dan 5, Hal. 147-212
[2] . Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Âmuzesy ‘Aqâid, Pel. 24-26, jil. 1 dan 2, Hal. 232-360
[3] . Qumi, Syaikh Abbas, Mafâtih al-Jinân, Ziarah Aimah Baqi’ As dan juga ziarah yang lainnya.
[4] . Ibid, Ziarah orang tua Hadrat Qaim Ajwf