Apakah makna dari ayat berikut, “Tuhan akan memberikan hidayah kepada siapapun yang Dia kehendaki dan akan menyesatkan siapapun yang Dia kehendaki”?

 

 

Pada beberapa masalah dalam Al-Quran al-Karim, Tuhan Yang Maha Tinggi mengetengahkan tentang persoalan hidayah dan kesesatan dengan penjelasan yang berbeda.

 

Sebelumnya penting untuk diperhatikan bahwa sebagian dari ayat-ayat al-Quran tidak bisa menafsirkan dan mengambil kesimpulan secara sendiri, melainkan untuk memahami makna hakikinya harus menggunakan peran ayat-ayat yang lain.

 

Berikut ini adalah beberapa ayat yang serupa:

 

Pada surah an-Nahl (16) ayat ke 93, Tuhan berfirman, “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikanmu satu umat (saja dan memaksamu untuk beriman). Tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan.”

 

Pada surah al-Kahf (18) ayat ke 17, berfirman, “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.”

 

Sedangkan surah al-A’raf (7) ayat ke 286, berfirman, “Barang siapa yang Allah sesatkan, maka ia tidak memiliki orang yang akan memberi petunjuk. Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kezaliman mereka.”

 

Demikian juga pada surah al-Zumar (35) ayat ke 36-37, Tuhan berfirman, “Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun yang menjadi pemberi petunjuk baginya. Dan barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak seorang pun yang dapat menyesatkannya. Bukankah Allah Maha Perkasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) mengazab?”

 

Pada tafsir Al-Mizan ketika menjelaskan tentang ayat ke 93 dari surah An-Nahl (16), Alamah Thabathabai Ra berkata, “Maksudnya adalah bahwa Tuhan mampu menciptakan seluruh manusia dalam satu tingkatan dari sisi hidayah dan kebahagiaan. Sedangkan yang dimaksud dengan disesatkannya sebagian dan diberinya petunjuk pada sebagian yang lain bukanlah petunjuk dan kesesatan yang telah ditentukan sejak awal, melainkan merupakan kesesatan dan petunjuk yang bersifat imbalan dan konsekuensi, karena seluruh mereka, baik yang terhidayahi maupun yang tersesat, pada awalnya memiliki hidayah. Orang yang akan disesatkan oleh Tuhan adalah mereka yang memilih jalan kesesatannya sendiri, yaitu mereka yang melakukan maksiat dan tidak menyesali tindakannya, sedangkan orang yang dihidayahi oleh Tuhan adalah mereka yang tidak kehilangan hidayah fitrinya dan menapakkan langkahnya berdasarkan hidayah fitri tersebut, atau senantiasa berada dalam ketaatan, atau jikapun ia melakukan dosa dan maksiat, maka dia akan kembali ke jalan yang lurus dan kembali kepada sunnah Ilahi yang tidak akan mengalami perubahan.

 

Pada dasarnya ayat yang berbunyi, “Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan”, merupakan sebuah kalimat untuk menghilangkan sangkaan yang mungkin saja akan muncul dalam benak manusia yaitu bahwa keberadaan hidayah dan kesesatan di tangan Tuhan akan membatalkan dan menghilangkan kebebasan manusia, selanjutnya dengan batalnya kebebasan ini maka persoalan kenabian dan risalah pun akan menjadi batal. Untuk menghilangkan sangkaan seperti ini maka jawabannya adalah, tidak, masalah ikhtiar dan kebebasan masih tetap ada, dan keberadaan hidayah serta kesesatan di tangan Tuhan tidak akan membatalkan kebebasan kalian, karena Tuhan tidaklah menetapkan kesesatan dan hidayah ini sejak awal, kesesatan yang diberikan oleh-Nya merupakan imbalan, yaitu seseorang yang menginginkan kesesatan untuk dirinya sendiri maka dia akan mendapatkannya, demikian juga seseorang yang menghendaki petunjuk dan hidayah, maka dia akan melangkah dalam hidayah, dan kesimpulannya adalah apapun yang kalian kehendaki, maka Tuhan akan membantunya dan Dia akan melangkah lebih awal dalam apa yang kalian pilih.”[1]

 

Keberadaan ayat-ayat al-Quran adalah saling menyempurnakan dan sebagian ayat akan menafsirkan ayat yang lainnya, di sini Tuhan yang berfirman, “Dia akan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya”, tak lain adalah Tuhan yang berfirman, “Allah akan menyesatkan orang-orang yang tersesat”[2], dan tak beda dengan Tuhan yang berfirman, “Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu”[3], atau berfirman, “Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang kafir.”[4]

 

Dengan demikian benar apabila dikatakan bahwa Tuhan akan menyesatkan siapapun yang Dia kehendaki, akan tetapi yang harus diketahui di sini adalah hamba seperti apakah yang terancam dalam kesesatan ini?

 

Tuhan hanya akan menyesatkan orang-orang yang zalim, pendusta, fasik, berlebih-lebihan, kafir, dan mereka yang tidak mentaati perintah-Nya. Jadi mukadimah dan pendahuluan dari penyesatnya Tuhan sebenarnya berada di tangan hamba-Nya itu sendiri. Demikian juga halnya dalam kaitannya dengan hidayah, dalam masalah inipun terdapat syarat-syaratyang harus terpenuhi. Jika Tuhan berfirman, “memberikan petunjuk kepada siapa yang dihendaki” hal ini dengan artian bahwa Dia akan memberikan petunjuk dan hidayah kepada siapapun yang dihendaki-Nya. Terdapat pula ayat-ayat yang membahas tentang syarat-syarat hidayah, di antaranya dalam salah satu ayat yang berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami.”[5], sementara di tempat lain berfirman, “Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang fasik”, “Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang kafir”, “Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada mereka yang merencanakan penghianatan”, … yaitu Tuhan akan menafikan hidayah-Nya bagi mereka yang tidak berada dalam posisi terhidayahi.

 

Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa orang-orang yang shaleh dan bertakwa sama sekali tidak layak untuk tersesat dan mereka yang membangkang sudah pasti tidak akan layak untuk mendapatkan hidayah. Memaparkan poin berikut ini menjadi urgen bahwa penyajian metode berada dalam tanggung jawab Pencipta, sedangkan pelaksanaan dan kewajibannya berada di tangan makhluk, yaitu untuk mengambil jalan yang telah ditunjukkan kepadanya supaya sampai pada tujuan yang sesungguhnya, dan jika tidak demikian, apabila dia menyimpang dari jalannya dan hasilnya adalah pembangkangan, maka tanggung jawabnya berada di tangannya sendiri. Dalam al-Quran al-Karim Tuhan berfirman, “Allah menyeru (manusia) ke Dârus Salâm (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”[6], yaitu Tuhan memanggil seluruh ciptaan-Nya untuk menuju ke bumi kebahagiaan dan keselamatan. Demikian juga Dia berfirman, “Siapapun yang berkehendak, maka dia bisa memilih jalan Tuhannya, dan akan memperoleh kecenderungan dan kedekatan untuk mendatangi Kami dan Kami akan membimbing dan memberikan hidayah kepadanya”. Dan jika tidak demikian, mereka yang tidak memiliki keinginan dan kecenderungan untuk ke arah-Nya, menyimpang dari jalannya yang hak, dan tidak beriman kepada ayat-ayat, rasul-Nya, dan hari kiamat, maka dia akan termasuk dalam golongan ayat berikut, “Barang siapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, (dia akan mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (maka sesungguhnya dia tidak berdosa). Akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah akan menimpanya dan baginya azab yang besar.”[7]

 

Jika kita cermati ayat-ayat di atas maka tidak akan tersisa sedikitpun keraguan bahwa Tuhan memberikan kebebasan, ikhtiar dan kemandirian kepada semuanya, sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan (yang lurus) kepadanya; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.”[8]

 

Dan kesimpulannya adalah bahwa Tuhan tidak akan memberikan hidayah dan petunjuk-Nya kepada orang-orang yang zalim, pendusta, dan orang-orang yang menyimpang, karena sesungguhnya kelompok ini telah berada dalam kesesatan yang nyata, dimana Tuhan berfirman, “Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah tersesat, dalam kesesatan yang nyata.”[9], jadi orang yang tidak taat kepada-Nya dan kepada rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dan berada dalam kesesatan yang nyata. Dengan demikian bagi mereka yang berhak untuk mendapatkan hidyah maka Tuhan akan menunjukkan jalannya ke surga dan tidak ada seorang pun yang akan mampu menyesatkannya, dan bagi mereka yang berhak untuk mendapatkan siksa dan terseret ke dalam api neraka, tidak akan ada seorangpun yang akan mampu menjaganya dari siksaan adzab ini. Akan tetapi baik mereka yang berhak mendapatkan adzab ataupun mereka yang berhak mendapatkan pahala, pilihan tersebut pada awalnya telah diserahkan di tangan manusia.

 

Jika seseorang menjadi zalim, maka Tuhan tidak akan memberinya petunjuk, berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk-Nya kepada orang-orang yang zalim”, dan jika seseorang berada dalam ketakwaannya maka Tuhan akan memberikan hidayah kepadanya, sebagaimana firman-Nya, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu (kekuatan) pembeda (antara yang hak dan yang batil di dalam hatimu), menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu.”[10]

 

Oleh karena itu memilih jalan yang baik ataupun yang buruk, sejak awal telah berada di dalam kewenangan kita dan hakikat ini diterima oleh kalbu setiap manusia yang manapun.[]

 

 

 

 

 

[1] . Al-Mizân, Alamah Thabathabai, Muhammad Husein, jil. 12, hal. 48 pada penjelasan ayat ke93 surah an-Nahl, dengan terjemahan bahasa Persia.

 

[2] . Qs. Ibrahim (14): 27.

 

[3] . Qs. Al-Ghafir (50): 34.

 

[4] . Qs.Al-Ghafir (50): 74.

 

[5] . Qs. Al-Ankabut (29):69.

 

[6] . Qs.Yunus (10):25.

 

[7] . Qs. An-Nahl (16): 106.

 

[8] . Qs. Ad-Dahr (76): 3.

 

[9] . Qs. Al-Ahzab (33): 36.

 

[10] . Qs. Al-Anfal (8): 29.

 

© 2024 Tanya Islam. All Rights Reserved.