Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat.
Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera terlintas dalam benak adalah bahwa alasan utama Nabi Saw melakukan dakwah sembunyi-sembunyi ini karena adanya rasa takut terhadap perlawanan sengit kaum musyrik dan bahaya yang akan mengancam dakwah Islam yang baru saja dimulai.
Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Nabi Muhammad Saw melakukan dakwah sembunyi-sembunyi ini selama tiga tahun;[1] karena situasi dan kondisi kota Mekah belum kondusif untuk memulai dakwah secara terang-terangan. Beliau dalam tiga tahun ini melakukan dakwah sembunyi-sembunyi kepada orang-orang yang dinilai memiliki kesiapan untuk menerima. Rasulullah Saw mengajak mereka kepada tauhid dan penyembahan kepada-Nya serta kenabiannya. Dalam masa ini, Quraisy mengetahui klaim yang disampaikan oleh Nabi Saw dan tatkala mereka melihatnya di suatu tempat, mereka berkata, “Pemuda Bani Abdul Muthhalib berbicara sesuatu dari langit.”[2] Lantaran ia tidak menyampaikan klaimnya itu di hadapan khalayak ramai, mereka tidak mengetahui kandungan dakwah Nabi Saw karena itu mereka tidak menunjukkan reaksi apa pun.
Dakwah sembunyi-sembunyi ini dilakukan dengan tujuan fondasi-fondasi awal bangunan agung Islam dapat dipancangkan dan berdiri tegak; karena benih-benih pertama tanaman ini harus disemai secara diam-diam dan penyemaian benih-benih pertama seperti ini di hadapan umum sebelum ia memiliki akar yang kokoh dan dalam serta ranting yang kuat maka ia akan berada dalam ancaman kehancuran dan kebinasaan.
Setiap benih pemikiran baru mau tak mau harus pada langkah-langkah awal disebarkan pada hati-hati yang beriman kepadanya dan kemudian berbicara secara terang-terangan tentangnya. Demikian juga harus terbentuk sebuah kelompok yang menjadi pioner dan pembuka jalan dakwah; karena setiap pemikiran baru laksana sebuah janin dalam rahim ibu tidak menjejakkan kakinya pada tataran eksistensi utuh sehingga harus dibantu dan harus berjibaku melawan segala faktor penghancurnya. Dalam masa perkembangannya, ia akan memanfaatkan segala unsur untuk tetap eksis dan melengkapi dirinya dengan segala media kekuatan. Atas dasar itu, ajakan dan seruan kepada pemikiran baru menuntut dilakukannya ajakan secara diam-diam untuk menyebarkan pemikiran ini dan kemudian secara perlahan setelah segala sesuatunya telah siap dinyatakan dengan terbuka. Atas dasar itu, tingkatan pertama dakwah dilakukan dengan cara seperti ini dan kemudian tingkatan-tingkatan selanjutnya setelahnya.[3] [iQuest]
[1]. Ibnu Syahr Asyub Mazandarani, Manaqib Alu Abi Thalib As, jil. 1, hal. 43, Allamah, Cetakan Pertama, 1379 H; Ali bin al-Husain Mas’udi, Muruj al-Dzahab wa Ma’âdin al-Jauhar, Riset oleh Dagir As’ad, jil. 2, hal. 275-276, Qum, Dar al-Hijrah, Cetakan Kedua, 1409 H.
[2]. Ahmad bin Yahya Baladzuri, Ansâb al-Asyrâf, Riset oleh Suhail Zukar dan Riyadh Zarkili, jil. 1, hal. 115, Beirut, Dar al-Fikr, Cetakan Pertama, 1417 H.
[3]. Husain Shabiri, Khatam Payambarân Saw, jil. 1, hal. 570, Masyhad, Bunyad Pazyuhesy-ha Islami Astan Quds Radhawi, Cetakan Ketiga, 1380 S.