Para juris dan marja agung sehubungan dengan memandikan (jenazah) pria dan wanita memberikan fatwa sebagai berikut:
Tidak sah[1] mandinya apabila pria yang memandikan (jenazah) wanita dan wanita yang memandikan (jenazah) pria.[2] Namun wanita dapat memandikan (jenazah) suaminya sendiri dan suami dapat memandikan (jenazah) istrinya sendiri.[3] Kendati mengikut prinsip ihtiyath mustahab baiknya wanita tidak memandikan (jenazah) suaminya dan suami tidak memandikan (jenazah istrinya).[4]
Namun sehubungan dengan pemandian jenazah (ghusl mayyit) wanita apabila tidak ada wanita yang lain yang dapat memandikannya maka pria-pria yang memiliki hubungan kekerabatan dan mahram dengannya, atau mahram yang disebabkan oleh susuan, dapat memandikan wanita tersebut dari bawah kain.
Karena itu, dalam kondisi normal suami tidak dapat memandikan ibu mertuanya; karena satu-satunya yang dikecualikan dalam masalah ini, mengikut fatwa sebagian marja, adalah istri dan suami.[5] [iQuest]
[1]. Ayatullah Bahjat: Kalau tidak berada dalam kondisi darurat.
[2]. Ayatullah Khui dan Ayatullah Zanjani: Diharamkan bagi pria memandikan wanita dan wanita memandikan pria.
[3]. Ayatullah Tabrizi: Tidak dibenarkan pria memandikan wanita dan wanita memandikan pria; Ayatullah Zanjani dan Ayatullah Shafi: (Supaya tidak memandikannya apabila tidak berada dalam kondisi darurat); Ayatullah Siistani: Pria tidak dapat memandikan wanita non-mahram dan demikian juga wanita tidak dapat memandikan pria non-mahram. Istri dan suami dapat memandikan satu sama lain.
[4]. Ayatullah Makarim: Pria tidak dapat memandikan wanita dan demikian juga wanita tidak dapat memandikan pria kecuali (berstatus) suami dan istri yang masing-masing dapat memandikan diri satu sama lain. Meski mengikut prinsip ihtiyâth mustahab baiknya tidak melakukan hal ini apabila tidak berada dalam kondisi darurat.
[5]. Taudhih al-Masâil (al-Muhassya lil Imam al-Khomeini), jil. 1, hal. 319-320, Masalah 559.