Dengan
Nama-Nya Yang Mahatinggi
Pengguna Site Tanya Islam Yang Budiman,
Sebelumnya kami mohon maaf
atas keterlembatan menjawab pertanyaan Anda. Hal itu disebabkan karena
banyaknya pertanyaan yang masuk ke meja redaksi kami.
Sehubungan dengan pertanyaan Anda harus
dikatakan terlebih dahulu tentang apa itu salat musafir. Salat Musafir adalah salat yang dilakukan seseorang ketika melakukan
perjalanan (safar). Bagi mereka yang sedang dalam keadaan
safar (melakukan perjalanan) maka ia harus meringkas (qashar) salat yang
tadinya empat rakaat menjadi dua rakaat.
Untuk lebih jelasnya kami meminta Anda
mencermati beberapa poin berikut:
a. Kewajiban
untuk mengqasar dalam safar (perjalanan)
Dalam safar, dengan syarat-syarat yang akan
dijelaskan nantinya, salat yang tadinya empat rakaat harus dilakukan secara
qasar (menjadi dua rakaat). (Istifta’ dari Kantor Rahbar, Bab Salat, masalah
152)
Catatan: Kewajiban qasar hanya khusus pada salat-salat
harian yang berjumlah empat rakaat, yait salat Zuhur. Asar dan Isya. Sedangkan
pada salat Subuh dan Magrib tidak terdapat qasar. (Ajwibah al-Istifta’at, no.
639)
b. Syarat-syarat
alat musafir
Dengan terpenuhi delapan syarat-syarat berikut,
seorang musafir harus melakukan salat empat rakaatnya menjadi dua rakaat:
Syarat pertama :
Perjalanannya seukuran dengan masafah (jarak tempuh) syar’i yaitu, perjalanan
pergi atau perjalanan pulang, atau gabungan antara perjalanan pergi-pulang
berjarak delapan farsakh (kira-kira 45 km). Dengan syarat, jarak kepergiannya
tidak boleh kurang dari empat farsakh.
Syarat kedua : Sejak
awal telah memiliki tujuan untuk menempuh perjalanan sepanjang delapan farsakh.
Karena itu apabila dari awal tidak memiliki tujuan untuk menempuh jarak delapan
farsakh atau memiliki tujuan untuk menempuh jarak kurang dari depalan farsakh
dan setelah sampai di tempat tujuan memutuskan akan pergi ke suatu tempat yang
jaraknya dari tujuan pertama tidak sampai masafah (jarak tempuh syar’i),
sekalipun dari tempat tinggalnya hingga tempat tersebut seukuran masafah, maka
dia harus menyempurnakan salatnya.
Syarat ketiga : Tidak
berpaling dari tujuannya menempuh masafah syar’i. Karena itu, jika pada
pertengahan jalan sebelum sampai pada empat farsakh seseorang berpaling dari
tujuannya semula atau ragu, maka hukum safar setelah itu tidak berlaku lagi
baginya, meskipun salat-salat qasar yang dia lakukan sebelum berpaling dari
tujuannya, dihukumi sah.
Syarat keempat : Pada
pertengahan perjalanannya menempuh masafah syar’i tidak ada niat untuk
menghentikan perjalanan dengan melintasi kota tempat tinggalnya (wathan) atau
memiliki tujuan untuk bermukim di satu tempat selama sepuluh hari atau lebih.
Syarat kelima :
Perjalanan yang dilakukannya merupakan perjalanan yang diperbolehkan (mubah).
Karena itu, apabila perjalanannya tergolong perjalanan yang maksiat dan haram,
baik karena perjalanan itu sendiri yang haram, seperti melarikan diri dari
medan perang, atau karena tujuan perjalanannya yang haram seperti melakukan
perjalanan untuk merampok, maka perjalanan ini tidak memiliki hukum safar
sehingga harus melakukan salat secara sempurna (tamam).
Syarat keenam : Musafir
bukan dari orang-orang yang membawa serta rumahnya dalam perjalanannya, seperti
sebagian dari nomad yang tidak memiliki tempat tinggal tetap (namun selalu
membawa serta rumah-rumah mereka) dan selalu melakukan perjalanan di
jalan-jalan dan akan tinggal di mana saja ketika menemukan air dan rerumputan.
Syarat ketujuh : Tidak
menjadikan safar sebagai pekerjaannya seperti pengangkut barang, sopir, pelaut
dan sebagainya, dan seseorang yang pekerjaannya dalam perjalanan tergolong dari
kelompok ini.
Syarat kedelapan :
Perjalanan telah mencapai batas tarakhkhush, yaitu tempat yang tidak terdengar
lagi suara azan kota yang ditinggalkannya dan tidak terlihat lagi
dinding-dinding kota tersebut, meskipun tidak jauh dari kemungkinan bahwa
ketidakterdengarannya suara azan telah mencukupi untuk menentukan batas
tarakhkhush. (Ajwibah al-Istifta’at, no. 640)
Singkatnya bahwa untuk dapat melakukan
kewajiban salat secara qasar harus memastikan jarak antara batas kota tempat
tinggal dengan batas kota yang dituju, sebagaimana syarat pertama. Setelah
jarak tersebut sudah dipastikan dan syarat-syarat lainnya juga terpenuhi, maka
ketika ingin melakukan salat qasar harus juga memperhatikan batas tarakhkhush.
Batas tarakhkhush yaitu suatu tempat dimana sudah dibolehkan melakukan salat
qasar dan iftar puasa. Untuk menentukan batas tarakhkhush cukup dengan tidak
terdengarnya lagi suara azan kota. Dengan kata lain ketika seseorang azan di
perbatasan kota tanpa mik, secara normal dan wajar, maka pada sejauh jarak
azannya itu tidak terdengar lagi, maka tempat itulah dinamakan batas
tarakhkhush dan di tempat itulah mulai dibolehkannya mengqasar salat. Untuk detilnya silahkan rujuk buku Daras
Fikih bab salat musafir mulai hal. 260 – 282. [Tanya Islam.Net]