Apa yang dimaksud dengan dzikir? Ada berapa jenis dzikir? Apakah mengamalkan dzikir harus sesuai dengan makam dan kedudukan spiritual seseorang? Apakah dzikir nama-nama Tuhan berpengaruh pada manusia untuk memasuki alam ghaib?

Dengan Nama-Nya Yang Mahatinggi


Pengguna Site Tanya Islam Yang Budiman, 
Dzikir bermakna mengingat yang diekspresikan melalui lisan, melalui kidung, pujian, doa dan wirid dan sebagainya.[1] Dalam tuturan-tuturan para arif, zikir  bermakna mendisiplikan amalan, menjaga, taat, shalat, Qur’an, dan seterusnya.[2]

Salah satu jelmaan teriindah hubungan kasih dengan Tuhan dan merupakan jalan fundamental sair dan suluk adalah dzikir. Dzikirullah (mengingat Tuhan) adalah mengingat entitas wujud manusia yang terbatas dan berada dalam lintasan mengingat nama-nama Tuhan dan kontinuitasnya. Mengingat Tuhan  akan mengeliminir segala dosa dari hati manusia; lantaran lalai dan lupa dari mengingat Tuhan akan menodai dan melegamkan hati manusia. Berangkat dari sini, salah satu risalah para wali Allah dan kitab-kitab samawi adalah melenyapkan kelegaman dan noda ini. Atas dasar itu, “dzikir” disebut sebagai salah satu sifat Rasulullah Saw dan sebuah nama dari nama-nama al-Qur’an. Sebagaimana al-Qur’an menyinggung sifat dzikr ini bagi Rasulullah Saw, “Qad anzalaLlâh ilaikum dzikrâ Rasulân yatlu ‘alaikum Ayatillâh…” (Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu, dan (mengutus) seorang rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah, Qs. Thalaq [65]:10-11)

Demikian juga salah satu nama al-Qur’an adalah dzikir sebagaimana hal itu dinyatakan dalam, “Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun.” (Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. Qs. Al-Hijr [15]:9)

Alasan penamaan Rasulullah Saw dan al-Qur’an sebagai dzikir lantaran keduanya mengingatkan manusia kepada Allah Swt; lantaran mengingatkan bergantung pada pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dan para nabi dan kitab-kitab samawi inilah yang telah berhasil menyingkirkan tirai kelalaian dan kelupaan dari hati mereka dan memendarkan cahaya Ilahi atasnya. Karena itu, mengingat Tuhan akan melesakkan manusia kepada puncak spiritual meninggalkan penjara dunia dan menghidupkan harapan pada manusia dan melenyapkan segala putus asa dan putus harapan mansuia atas kesempitan kehidupan dunia materi dan kalkulasi-kalkulasi manusiawi. 

Bagian dan Tingkatan Zikir

Mengingat bahwa zikir merupakan salah satu ibadah kepada Tuhan; seperti ibadah lainnya maka ia terbagi menjadi beberapa bagian: seperti zikir umum dan zikir khusus; zikir umum tidak terkhusus pada satu makhluk tertentu, melainkan dapat dijumpai pada segala sesuatu; artinya seluruh entitas dan makhluk berzikir kepada Allah Swt. Zikir khusus, dilakukan utamanya oleh jenis tertentu dari makhluk-makhluk; seperti zikir khusus malaikat atau khusus manusia. Zikir terkadang bermuara dari hati dan terkadang bersumber dari lisan. Akan tetapi pembagian ini tidak eksklusif terbatas pada manusia; lantaran entitas-entitas lainnya yang memiliki inteleksi berbeda terkadang berzikir dengan hati mereka dan terkadang berzikir mengingat Allah dengan lisan yang terkhusus  buat mereka yaitu zikir lisannya.

Imam Muhammad Ghazali dalam Kimiyâ Sa’âdat berkata bahwa zikir memiliki empat derajat:

Pertama: Dengan lisan dan hati lalai dari apa yang diungkapkan oleh lisan; pengaruh dari jenis zikir semacam ini lemah. Namun tetap memberikan pengaruh. Karena lisan yang sibuk melayani (berzikir) masih lebih baik ketimbang lisan yang menganggur atau berkata-kata tanpa ada makna. Sekaitan dengan itu, Imam Khomeini Ra terkait dengan zikir lisan berkata, “Kendati mengingat Tuhan (dzikruLlah) merupakan salah satu sifat hati dan apabila kalbu berzikir maka seluru faidah dan manfaat bagi orang yang berzikir akan ia peroleh. Akan tetapi lebih baik zikir kalbu yang mengekor pada zikir lisan. Sesempurna dan seutama tingkatan zikir adalah zikir yang dilakukan pada sumber-sumber tingkatan kemanusiaan dan efeknya merajalela terhadap lahir dan batin, terang-terangan atau diam-diam… Zikir lisan juga merupakan suatu ha yang terpuji dan ideal dan pada akhirnya akan mengantarkan manusia kepada hakikat. Karena itu, dalam riwayat dan hadis juga banyak memuji zikir lisan ini.[3]

Kedua, zikir yang ada dalam hati namun tidak bersemayam di dalamnya.

Ketiga, zikir hati yang bersemayam dalam hati yang diraup dengan usahanya memanifestasikan zikir itu dalam setiap kegiatannya.

Keempat, yang berkuasa dalam hati dan penguasa itu adalah Allah Swt, bukan lagi zikir.[4]

Pengaruh Zikir

Mengingat Tuhan (dzikrulLah) adalah hubungan spiritual seorang hamba pesalik dengan Rabb Malik. Hubungan ini memiliki efek dan pengaruh yang sangat menakjubkan dimana masing-masing dari efek tersebut sangat berperan dalam mengerangka dan mengonstruksi mental dan moral manusia. Sebagian efek dan pengaruh penting tersebut adalah sebagai berikut:

Efek pertama mengingat Tuhan dan dzikrulLâh  adalah Tuhan juga mengingat manusia, “Fadzkuruni adzkurkum..” (Ingatlah aku, Aku akan mengingatmu, Qs. Al-Baqarah [2]:152) Karena itu, pada ayat ini zikir Tuhan kepada hamba bersyarat pada zikir hamba kepada Tuhan. Dari ayat ini satu poin penting yang dapat dipahami yaitu dua gambaran zikir dari sisi Tuhan: Pertama, zikir umum. Kedua, zikir khusus.

Zikir umum adalah petunjuk umum Ilahi yang mencakup seluruh makhluk dan entitas serta tidak terkhusus pada kelompok tertentu dan buktinya zikir umum terdapat di seantero alam. Zikir tersebut merupakan anugerah dan pemberian beragam Tuhan kepada seluruh makhluk. Dan zikir ini yang merupakan emanasi intens Ilahi yang sekali-kali tidak akan terputus. Akan tetapi zikir khusus terkait dengan para hamba khusus Tuhan dan dzâkir (pengingat) dan satu model perhatian dan kepedulian (inâyah) dari sisi Tuhan.

Allah Swt menjadikan zikir kepadanya sebagai penerang dan hidupnya hati. Imam Ali As dalam nasihatnya kepada Imam Hasan Mujtaba dalam suratnya kepada putranya menulis, Bahwa sebelum segala sesuatunya hendaknya memikirkan bagaimana menghidupkan hati: “Fainni ushika bitaqwallâhi Ya Bunayya! Wa Luzumu amrih wa imâratun qalbik bidzikrih.” Aku menasihatkan kepadamu  nanda untuk bertakwa dan menjalankan perintah-perintah Tuhan, menghidupkan hati dan ruh dengan berzikir kepada-Nya…”[5]

Satu faktor yang paling berpengaruh mengobati matinya hati dan untuk menghidupkannya kembali adalah berlindung dengan berzikir kepada Allah Swt. Dzikrullaâ (mengingat Allah) adalah cahaya dan intens melakukan zikir akan menyelamatkan hati dari kegelapan, keputus asaan dan kekerasan hati. Serta memberikan kehangatan dan keceriaan padanya. Hasil zikir dapat kita jumpai pada tuturan Imam Ali As: InnaLlaha ta’ala ja’ala al-dzikr jilâ’an lilqulûb tusma’u bihi ba’da waqra dan tubshir bih ba’d ‘usywat wa tanqâdu bihi ba’d al-mu’ânid.” Allah Swt menjadikan zikir (kepada-Nya) sebagai penerang hati dan hasil (dari zikir) adalah telinga akan mendengar setelah ketulian, mata akan melihat setelah kebutaan, dan melalui zikir hati akan tenang dan taat setelah pembangkangan dan permusuhan.”[6]

Pengaruh positif ketiga mengingat Allah adalah ketentraman hati manusia. Sesuai dengan ungkapan al-Qur’an, tuma’ninah dan sukun al-qalb adalah salah satu pengaruh lansung dzikrullah, “Alladzina Âmanû tathmainnu qulubûhum bidzikriLlâh ala bidzikriLlâh tathmainnu al-qulûb.”  (Mereka adalah orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram, Qs. Al-Ra’ad [13]:28)

Mengingat Tuhan merupakan obat maknawi segala jenis stress dan depresi dimana dalam pandangan para psikolog sebab-sebab stress dan depresi adalah: takut, masa depan yang suram, ketakutan untuk kalah, ketakutan terhadap penyakit dan kerisauan-kerisauan terhadap faktor-faktor natural. Terlepas dari depresi, tuntutan untuk hidup tentram dan tenang berakar pada fitrah manusia dan pada nurani manusia terpendam tuntutan untuk hidup tentram dan kebanyakan aktifitas manusia sejatinya untuk menjawab seruan Ilahiah fitrah ini.

Tatkala manusia menengok kehidupan pribadi dan kehidupan orang lain di sekeliling kita, kita saksikan bahwa kebanyakan tujuan perbuatan kita adalah untuk sampai pada mutiara berharga berupa ketentraman ini . Artinya manusia sepanjang hidupnya, selama hayat di kandung badan, berupaya untuk sampai pada ketenangan dan ketentraman (serenitas). Pada poin ini tidak terdapat perbedaan di antara manusia, akan tetapi perbedaan mencuat ke permukaan tatkala ktia ingin menentukan dan mengidentifikasi apa saja yang mendatangkan ketenangan dalam kehidupan manusia. Terdapat banyak orang memandang bahwa mutiara berharga ini terpendam pada mengumpulkan sebanyak-banyaknya harta dan hidup sejahterah. Sebagian lainnnya meyakini terkandung pada status sosial dan ketenaran dan seterusnya. Akan tetapi al-Qur’an menandaskan bahwa satu-satunya jalan untuk meraup ketenangan adalah dengan mengingat Allah Swt. “ala bidzikriLlâh tathmainnu al-qulûb.” Dan terkait dengan shalat, Allah Swt berfirman, “Aqimisshalat lidzkri.” (Tunaikanlah shalat untuk mengingat-Ku, Qs. Thaha [20]:14)

Di antara pengaruh positif dan konstruktif lainnya mengingat Allah Swt adalah berseminya ketakwaan dan sifat takut kepada Allah Swt. Al-Qur’an menandaskan, “Innama al-Mu’minuna alladzina idzâ dzakaraLlâhu wajilat qulûbûhum…” (Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka,  Qs. Al-Anfal [8]:2)

Di antara pengaruh dan buah ukhrawi mengingat Allah Swt adalah ampunan Ilahi yang akan diperoleh orang-orang yang mengingat Tuhan (dzâkirun billah) dan di samping itu, Allah Swt menjanjian ganjaran dan pahala besar kepada mereka. Al-Qur’an dalam hal ini menyatakan, “Wa al-DzakirinaLlâh katsiran wa al-Dzakirâtu a’addaLlâh lahum maghfiratan wa ajran ‘azhima.” (Dan Laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar, Qs. Al-Ahzab [33]:35)

Allah Swt menjadikan pelbagai amalan dan jalan sebagai media pengampunan para hamba. Dan siapa saja dengan media tersebut memohon ampunan. Salah satu media tersebut adalah mengingat Allah Swt.

Salah satu pengaruh positif lain dari zikir adalah kematangan akal, kesempurnaan dan kebijaksanaan (wisdom). Zikir menyebabkan semakin bertambahnya fakultas pemahaman manusia dan kematangan pemikiran. Jiwa manusia memiliki kelayakan untuk merefleksikan hakikat-hakikat ghaib pada dirinya dan Allah Swt akan memberikan pertolongan pada pikiran dan akal orang-orang ini. Realitas ini dituturkan oleh Imam Ali As dalam sabdanya,  “Allah Swt – dengan segala nikmatnya yang agung – pada setiap masa dan waktu ketika tidak ada nabi, memiliki orang-orang yang berbisik-bisik dengan-Nya dalam pikiran-pikiran mereka, dan berbicara melalui pikiran mereka. Mereka adalah pelita hidayah yang menghidupkan dengan cahaya kesadaran pada telinga, mata dan hati.” [7]

Zikir dan Kedudukan Spiritual Orang-orang Berzikir

Mengingat  bahwa zikir terdiri dari dua makna ingat (mengingat) dan wirid yaitu mengulang-ngulang nama-nama Allah – baik secara lisan atau non-lisan –karena itu dalam pembahasan tingkatan zikir dan hubungannya dengan kedudukan spiritual orang-orang berzikir (dzâkirun) juga harus dibahas pada dua makam ini.

Terkait dengan zikir yang bermakna mengingat harus dikatakan bahwa setiap manusia dan setiap pesalik dalam proses zikirnya, sejatinya sibuk mengingat lintasan perjalanan yang bermula dari Tuhan sampai pada “asfal al-safilin” (kedudukan sedimenter). Artinya salik mengingat lintasan perjalanan ini sebagai jalan kembali kepada Tuhan dan proses mengingat ini disertai dengan gelombang kondisi maknawi dan irfani yang terkadang disebut sebagai mengingat sahabat, tanah tumpah darah dan mengingat masa perjumpaan; lantaran ruh manusia adalah unggas arasy yang terpisah dan terasing di dunia dan secara perlahan mengingat kembali kediaman aslinya dan bergerak mudik ke arahnya. Jalur mudik ini adalah melalui jalur dzikruLlah. Seseorang mengingat sesuatu yang sebelumnya ia lihat dan kini telah dilupakannya. Demikian juga dalam al-Qur’an kandungan seperti ini disebutkan, orang-orang yang melupakan Tuhan sesungguhnya telah melupakan diriya sendiri. “Wala takunu kalladzîna nasuLlâh faansahum anfûsahum.” (Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Qs. Al-Hasyr [59]:19)

Karena itu, shalat, al-Qur;’an, nabi dan urusan lainnya yang semuanya berada dalam daur dan siklus zikir.  Dan tatkala beberapa hal ini diartikan sebagai zikir maka semuanya merupakan hikayat dari mengingat ini dan karena itu mereka juga disebut sebagai zikir.

Dari sudut pandang ini jelas bahwa setiap orang berdiri di tingkatan khusus zikir. Dan boleh jadi orang-orang yang sama sekali tidak memiliki pengaruh dari hakikat Ilahianya dan tidak mengingat hubungan fitrawinya dengan Tuhan kemudian mencukupkan diri semata-mata dengan zikir lisan.

Sebagian lainnya menyadari identitas Ilahiahnya ini dan menuntut untuk mudik kepada Tuhan kemudian bergerak di jalur zikir, sedemikian ia bergerak sehingga antara dzâkir (yang mengingat) dan madzkûr (yang diingat) menjadi satu. Karena itu, dari sudut pandang ini setiap orang dapat mengkhususkan dirinya pada makam khusus zikir tertentu.

Akan tetapi terkait dengan zikir yang bermakna wirid dan mengulang-ngulang nama-nama Allah harus dikatakan bahwa masalah ini mendapatkan sorotan dan perhatian dari dua dimensi berbeda dalam Islam:

Pada dimensi syariat kita dapat menyinggung banyak hadis yang di dalamnya menganjurkan zikir-zikir dan wirid-wirid suci dimana dengan melakukan hal tersebut akan menyebabkan kemajuan maknawi dan taqarrub kepada Allah Swt dan akan menuai hasil yang diharapkan oleh Sang Pemilik Syariat (Syâre’). Dari sisi ini, seluruh zikir dan wirid memiliki nilai ideal tersendiri. Barang siapa pada setiap makam dan tingkatan maknawi, ia dapat menyebutkan zikir-zikir ini. Misalnya zikir shalawat yang banyak dianjurkan atau zikir istighfar dan zikir la haula wa la quwwata illa biLlah dan seterusnya yang disebutkan pada kitab-kitab doa dan riwayat.

Zikir ini pada umumnya mengikut pada kondisi-kondisi tertentu dan tipikal yang dilakukan oleh para ahli irfan (urafa). Zikir juga ini tidak terkhusus pada individu atau kelompok atau makam-makam spiritual tertentu dan seluruh zikir ini sejatinya mempersiapkan hati untuk melakukan mikraj maknawi dan perjalanan batin mudik kepada Tuhan yang dimulai pada seseorang.

2. Akan tetapi dari dimensi irfani umumnya pada sebagian aturan-aturan praktis (dastur al-‘amal) irfani kita saksikan seorang salik dianjurkan untuk melakukan sebuah zikir tertentu pada bilangan tertentu, hari tertentu (pada satu putaran empat puluh hari) dan menuai hasil-hasil mental dan kejiwaan tertentu. Hal yang patut mendapat perhatian dalam masalah ini adalah bahwa aturan-aturan praktis irfani ini memerlukan guru dan izin serta tidak dapat dianjurkan kepada setiap orang. Akan tetapi, pada tingkatan ini, setiap zikir dan wirid sesuai dengan tingkatan spiritual dan makam salik serta sekaligus akan menjadi penghalang-penghalang pada tingkatan tertentu baginya. Karena itu, seyogyanya ada seorang guru sempurna, sesuai dengan ilmunya, yang memotivasi murid dan salik dengan program tertentu dari zikir-zikir dan wirid-wirid. Sejatinya zikir dan wirid ini akan menjadi satu media spiritual yang diperoleh dari pengaruh-pengaruh zikir-zikir ini.

Dari sudut pandang tarekat, wirid-wirid dan zikir-zikir digunakan sebagai satu faktor pembantu, hingga tingkatan-tingkatan mikraj spiritual atau masuknya pada makam-makam ghaibi dan maknawi bagi seorang salik yang telah sampai pada tingkatan tertentu dari zikir dalam artian mengingat alam-alam maknawi.

Di sebutkan bahwa terkadang pada sebagian kitab-kitab dinukil hal-hal dan aturan-aturan praktis yang mencakup wirid-wirid tertentu untuk mengakses urusan-urusan metafisis dan ghaib. Melakukan wirid-wirid seperti ini tanpa perantara seorang guru dan arif akan menyebabkan kebingungan salik; karena itu memiliki guru sempurna dan penyambung dalam perjalanan ini merupakan sebuah hal yang harus dan niscaya dipenuhi untuk meniti jalan mudik kepada Tuhan. [Tanya Islam.Net]

Sumber: Islam Quest


[1]. Gul Babai Sa’idi, Farhangg-e Isthilâhât-e Ibnu Arabi, hal. 228, Intisyarat-e Syafi’i, Cetakan Kedua, Teheran, 1384.  

[2]. Sayid Ja’far Sajjadi, Farhangg-e Isthilâhât-e ‘Irfâni, hal. 402, Intsiyarat-e Thahuri, Cetakan Keempat, Teheran, 1478.  

[3]. Imam Khomeini, Syarh Cihil Hadits, hal. 292-293, Muassasah Nasyr Atsar Imam Khomeini, Teheran, Cetakan 28, 1378.  

[4]. Ghazali, Kimiyâ Sa’âdat, jil. 1, hal. 254, Intisyarat-e Ilmi wa Farhanggi, Teheran, Cetakan Ketuju, 1375.  

[5]. Nahj al-Balâgha, Surat 31

[6]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 222.  

[7]. Nahj al-Balâgha, Khutbah 222.  

© 2024 Tanya Islam. All Rights Reserved.