Apa penafsiran Khalifah dalam ayat 26 surah Shad itu?

Pada surah Shad (38) ayat 26 disebutkan yang dialamatkan kepada Nabi Daud As. Allah Swt berfirman, “
﴿یا داوُدُ إِنَّا جَعَلْناکَ خَلِیفَةً فِی الْأَرْضِ فَاحْکُمْ بَیْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ … 
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil.”
 
Allah Swt menyatakan dengan firman-Nya ini kepada Nabi Daud yang menjadi khalifah dan representasi-Nya di tengah umat manusia[1] sehingga dapat berperan sebagaimana para nabi sebelumya yang menyeru masyarakat kepada tauhid dan akhlak mulia.
Pada ayat ini, di samping meletakkan tanggung jawab risalah, Allah Swt juga membebani tugas peradilan dan menyelesaikan sengketa di antara masyarakat di atas pundak Nabi Daud As. Masyarakat membawa persoalan dan persengketaannya di hadapan Nabi Daud  dan  Nabi Daud mengadili persoalan tersebut lalu menyampaikan yang benar kepada mereka.
Kemudian Allah Swt melanjutkan firman-Nya:
﴿وَ لا تَتَّبِعِ الْهَوى‏ فَیُضِلَّکَ عَنْ سَبِیلِ اللَّهِ
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan
kamu dari jalan Allah.”
 
Ayat ini menandaskan bahwa tatkala menyelesaikan sengketa dan mengeluarkan hukum dan mengadili tidak berdasarkan kecendrungan pribadi karena hukum seperti ini akan membuat manusia berpaling dari kebenaran dan hakikat. Dalam masalah menyelesaikan sengketa dan mengeluarkan hukum, ayat di atas menggunakan kata hak bahwa hukum dan peradilan harus berdasarkan kebenaran dan fakta yang ada sehingga tiada satu pun yang dizalimi dari dua pihak yang bersengketa.
Kalimat “Jangan mengikut hawa nafsu” menegaskan bahwa hawa nafsu dan pelbagai kecendrungan manusiawi berseberangan dengan kebenaran dan membuat orang berpaling dari jalur Ilahi sehingga harus dijauhi.
Kalimat ini dialamatkan kepada Nabi Daud As, padahal dikarenakan kedudukan maksum, sangat mulia dan suci dari bersandar pada kecendrungan-kecendrungan dan keinginan-keinginan pribadinya dalam menyelesaikan sengketa masyarakat.
Dalam hal ini harus dikatakan bahwa pertama, ayat berada pada tataran pensyariatan hukum Ilahi dan layak untuk mendapat penegasan. Kedua, peradilan dan menyelesaikan sengketa, merupakan salah satu hukum Ilahi dimana pada agama-agama samawi telah diperbaharui dan ditegaskan pada masa Nabi Daud. Tentunya hal ini tidak bertentangan dengan masalah kemaksuman seorang nabi. Karena adanya kemaksuman tidak menjadi dalil dicabutnya ikhtiar dari seorang maksum dan seorang maksum sebagaimana orang lain juga menjalankan kewajiban dan meninggalkan larangan. Namun kemaksuman tidak menjadi halangan munculnya penentangan. Dengan kata lain, kemaksuman tidak menjadi penghalang taklif bagi seorang maksum.
Namun sebagian ahli tafsir[2]  berkata bahwa Allah Swt memerintahkan Nabi Daud As untuk menghukumi berdasarkan kebenaran dan keadilan dan melarangnya untuk tidak mengikuti hawa nafsu merupakan peringatan bagi orang lain; artinya setiap orang yang memikul tugas melayani masyarakat maka yang harus menjadi panglima adalah kebenaran dan tidak mengikuti hawa nafsu. Karena disebabkan oleh kemaksuman yang dimilikinya, sekali-kali Nabi Daud tidak menghukumi kecuali berdasarkan kebenaran dan tidak mengikut kebatilan.
Perlu untuk disebutkan adanya kritikan yang dilontarkan kepada ahli tafsir di atas bahwa adanya khitab kepada Nabi Daud adalah peringatan bagi orang lain tidak dapat menjadi dalil bahwa karena ia maksum maka ayat ini tidak dialamatkan kepadanya; karena sebagaimana yang telah dijelaskan kemaksuman tidak menjadi sebab hilangnya ikhtiar melainkan dengan adanya kemaksuman maka ikhtiar seorang maksum tetap pada tempatnya. Dan selagi ada ikhtiar maka taklifnya sah bahkan wajib sebagaimana hal ini juga sah berkaitan dengan orang lain; karena apabila taklif tidak diarahkan kepada mereka maka wajib dan haram tidak dapat digambarkan, ketaatan dan kemaskiatan tidak lagi dapat dibedakan. Hal ini sendiri menjadi penyebab batalnya kemaksuman; lantaran tatkala kita berkata Daud As itu maksum maka hal itu bermakna bahwa beliau tidak melakukan dosa dan dosa merupakan cabang dari taklif.[3]
Akhir frase ayat ini adalah,
﴿إِنَّ الَّذِینَ یَضِلُّونَ عَنْ سَبِیلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذابٌ شَدِیدٌ بِما نَسُوا یَوْمَ الْحِسابِ
“Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Qs. Shad [38]:26)
 
Secara umum adanya penegasan dan halangan dari kesesatan dan pelanggaran tugas Ilahi, entah itu berada pada posisi menyelesaikan persengketaan hukum, atau pelanggaran dosa besar yang akan menjadi sebab manusia layak mendapatkan azab. Sumber dan sebab seluruh kesesatan dan maksiat adalah kelalaian, berpaling dari hari kiamat dan pengingkaran terhadap hari perhitungan kelak di hadapan Allah Swt, mengabaikan dan melupakan perhitungan dan hukuman atas setiap maksiat, kesesatan dan penyimpangan di hari kiamat.
Dengan kata lain, kalimat ini merupakan dalil atas larangan mengikuti hawa nafsu. Mengikuti hawa nafsu adalah faktor utama manusia lalai dan lupa akan hari perhitungan. Lupa akan hari kiamat buntutnya adalah azab yang pedih. Yang dimaksud lupa di sini adalah tidak mengindahkan akan hari kiamat.
Ayat ini menunjukkan bahwa tiada penyimpangan dan kesesatan dari jalan Allah, atau dengan kata lain tiada satu pun maksiat dari maksiat yang dilakukan terlepas dari lalai dan lupa dari hari perhitungan.[4] Artinya bahwa akar seluruh maksiat dan pembangkangan itu adalah lalai dan lupa akan hari kiamat.  
 

[1]. Meski sebagian ahli tafsir berkata bahwa yang dimaksud dengan khilafah dan suksesor adalah khilafah para nabi, bukan khilafah Ilahi sebagaimana yang disebutkan pada ayat, “Aku ingin jadikan di bumi seorang khalifah.” Silahkan lihat, Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 17, hal. 195, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1417 H.  
[2]. Sayid Mahmud Alusi, Ruh al-Ma’âni fi Tafsir al-Qur’ân al-Azhim, jil. 12, hal. 179, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 1415 H.  
[3].  Al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 17, hal. 195.
[4]. Sayid Muhammad Husain Husaini Hamadani,  Anwâr Derakhsyan, jil. 14, hal. 115-116, Kitabpurusyi Luthfi, Tehran, 1404 H; al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 17, hal. 194-196.  
© 2024 Tanya Islam. All Rights Reserved.