Dalam riwayat disebutkan Allah Swt melimpahkan dosa-dosa orang-orang Syiah kepada Rasulullah Saw dan kemudian mengampuninya. Ayat yang menyatakan, “Allah hendak mengampuni dosa-dosamu baik yang telah lalu maupun yang akan datang) tengah menyinggung persoalan ini! Apakah keyakinan seperti ini ada benarnya? Bukankah keyakinan seperti ini mirip dengan keyakinan orang-orang Kristen terkait dengan penebusan dosa?

Riwayat yang dipertanyakan, dengan sedikit perbedaan yang disebutkan pada teks pertanyaan, dinukil seperti ini, “Imam Shadiq As ditanya tentang firman Allah Swt, “Allah hendak mengampuni dosa-dosamu baik yang telah lalu maupun yang akan datang?” Beliau menjawab, “Rasulullah Saw tidak memiliki dosa dan juga tidak memiliki kehendak untuk melakukan dosa, namun Allah Swt melimpahkan dosa-dosa orang Syiah Ali ke pundaknya kemudian memaafkan mereka untuk Rasulullah Saw.”
Agak repot kita menerima makna lahir ayat ini. Karena itu kita harus memaknai riwayat ini tidak berdasarkan makna lahir. Misalnya dapat dikatakan bahwa maksud Fathu Makkah atau Perjanjian Damai Hudaibiyah menjadi penyebab semakin kuatnya Islam dan buntutnya pada Hajjatul Wada Islam dijelaskan secara sempurna kepada masyarakat.
Hasilnya ruang untuk menggembleng dan membina kaum Mukminin sejati dan Syiah sejati Amirul Mukminin tersedia, mereka adalah orang-orang  yang layak menerima ampunan ketimbang orang lain dan lebih cepat menerima ampunan.
Akan tetapi ungkapan Rasulullah Saw menerima limpahan dosa dan kemudian diampunkan merupakan ungkapan urf yang umum dipakai oleh masyarakat. Misalnya orang yang menjadi perantara dalam pemberian ampunan  orang-orang berkata kami memaafkannya demi Anda, orang yang menjadi perantara berkata, “Dosa mereka Anda masukkan dalam catatan amal saya.”
Dalam pada itu harus dicamkan bahwa syafaat ini sangat jauh berbeda dengan konsep penebusan dosa (redemption) yang mentradisi dalam agama Kristen.
 
 
Berdasarkan dalil-dalil definitif akal dan riwayat, Rasulullah Saw memiliki makam kemaksuman dan beliau sama sekali tidak pernah melakukan dosa. Namun demikian, ada sebagian ayat dan bahkan riwayat yang secara lahir menyatakan bahwa beliau tidak maksum.
Salah satu ayat yang secara lahir berseberangan dengan konsep kemaksuman adalah ayat:
﴿إِنَّا فَتَحْنا لَکَ فَتْحاً مُبیناً لِیَغْفِرَ لَکَ اللهُ ما تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِکَ وَما تَأَخَّرَ وَ یُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَیْکَ وَ یَهْدِیَکَ صِراطاً مُسْتَقیماً﴾
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Supaya Allah memberi ampunan terhadap dosa yang telah lalu dan yang akan datang (yang disandarkan oleh kaummu kepadamu) serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memberikan petunjuk kepadamu kepada jalan yang lurus.” (Qs al-Fath [48]:1-2)
Ayat ini dengan beberapa dalil tidak berseberangan dengan konsep ishmah (kemaksuman); Imam Ali As bersabda, “Tatkala ayat ini diturunkan, Rasulullah Saw bertanya kepada Jibril, ‘Apa maksudnya dosa yang telah lalu dan akan datang (pada ayat ini)?’ Jibril menjawab, ‘Engkau tidak memiliki dosa apa pun sehingga Allah Swt harus mengampuninya.’”[1]
Para mufassir (ahli tafsir) melontarkan beberapa pandangan terkait dengan makna dzanb sehingga tidak bertentangan dengan kemaksuman[2] sehingga makna tersebut dapat sejalan dengan kemaksuman.[3]
Pada kesempatan ini kami akan menyebutkan dua dari pandangan ahli tafsir terkati dengan makna dzanb pada ayat di atas:
  1. Dalam sebuah riwayat disebutkan, “Makmun berkata kepada Imam Ridha As, “Apa makna “liyaghfira lakallah” (liyaghfirallahu laka)? Imam Ridha As dalam menjawab pertanyaan ini berkata. “Dalam pandangan orang-orang Musyrik Mekkah, tiada orang yang lebih berdosa daripada Nabi Muhammad Saw; karena sebelum diutusnya Rasulullah Saw, mereka menyembah 360 berhala dan tatkala Rasululah Saw datang, beliau mengajak mereka kepada kalimat tayyibah (la ilaha illallah). Hal ini terasa berat bagi mereka.
﴿أَ جَعَلَ الْآلِهَةَ إِلهاً واحِداً إِنَّ هذا لَشَیْ‏ءٌ عُجابٌ. وَ انْطَلَقَ الْمَلَأُ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوا وَ اصْبِرُوا عَلى‏ آلِهَتِکُمْ إِنَّ هذا لَشَیْ‏ءٌ یُرادُ. ما سَمِعْنا بِهذا فِی الْمِلَّةِ الْآخِرَةِ إِنْ هذا إِلَّا اخْتِلاقٌ‏.
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. Dan para pemimpin mereka keluar (seraya berkata), “Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu. Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki (oleh mereka untuk menyesatkanmu).Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang lain; ini (mengesakan Allah) tidak lain hanyalah ajaran yang diada-adakan.” (Qs. Shad [38]:5-7)
Dan ketika itu Allah Swt menaklukkan kota Mekkah untuk Rasul-Nya. Allah Swt berfirman, “(Wahai Muhammad!) Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” Yaitu penduduk kota Mekkah menilai perbuatan Rasulullah Saw yang mengajak mereka kepada tauhid – sebelum dan sesudahnya – sebagai dosa, …..dan dengan menangnya Rasullah Saw atas mereka, apa yang menjadi dosa dalam anggapan mereka, telah tertutupi.[4] Karena itu, dari riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan dosa adalah apa yang dipandang oleh kaum musyrikin Mekkah sebagai dosa dan menyandarkannya kepada Rasulullah Saw. Namun dengan adanya penaklukan kota Mekkah penyandaran ini pun ikut hilang. Sebagian ahli tafsir menerima pandangan ini dalam menafsirkan ayat di atas.[5]
  1. Sayid Murtadha Rah teolog terkemuka Syiah juga memiliki pandangan terkait dengan ayat di atas. “Dzanb” merupakan masdar dan masdar boleh ditambahkan pada pelaku (fâ’il) dan obyek (maf’ul). Pada ayat di atas, dzanb ditambahkan kepada maf’ul dan maksud ayat jadinya, “ma taqaddama min dzanbihim ilaik.” Artinya Allah Swt mengampunkan dosa-dosa orang kafir yang menghalangimu masuk kota Mekkah dan Masjidul Haram.”
Karena itu, takwil ayat ini adalah maghfirah bermakna Allah Swt telah melenyapkan hukum-hukum orang-orang musyrik dan musuh-musuh Rasulullah Saw. Artinya Allah Swt telah menghilangkan halangan ini darimu dan dengan penaklukan kota Mekkah (Fathu Mekkah) kamu akan memperoleh kekuatan tatkala memasuki kota Mekkah. Oleh itu, penaklukan ini bermakna sebuah ganjaran atas jihad yang dilakukan Rasulullah Saw. Namun apabila Allah Swt memaksudkan ampunan ini adalah ampunan untuk dosa-dosa Rasulullah Saw, maka redaksi ayat, “(Wahai Muhammad!) Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Supaya Allah memberi ampunan terhadap dosa yang telah lalu dan yang akan datang (yang disandarkan oleh kaummu kepadamu).”  Tidak akan artinya. Lantaran pengampunan dosa-dosa  tidak ada kaitannya dengan kemenangan dan tentu tidak dapat disebutkan setelah ayat kemenangan.[6] Karena itu, ucapan ini, “ma taqaddam” dan “ma taakkhar” juga akan menjadi berarti dan hubungan kemenangan dan pengampunan dosa juga akan dengan jelas dapat disimpulkan.
Analisa yang telah diuraikan atas ayat ini masih perlu dikaji lebih jauh dan maksud dzanb itu menyangkut dosa orang-orang beriman yang dilimpahkan kepada Rasulullah Saw dan kemudian mendapatkan ampunan. Umar bin Yazid berkata, “Saya bertanya kepada Imam Shadiq As ditanya tentang firman Allah Swt, Supaya Allah memberi ampunan terhadap dosa yang telah lalu dan yang akan datang (yang disandarkan oleh kaummu kepadamu)?” Beliau menjawab, “Rasulullah Saw tidak memiliki dosa dan juga tidak memiliki kehendak untuk melakukan dosa, namun Allah Swt melimpahkan dosa-dosa orang Syiah Ali ke pundaknya kemudian memaafkan mereka karena Rasulullah Saw.”[7]
Riwayat ini juga memiliki nukilan yang lain; terkadang disebutkan sebagai bagian dari riwayat yang panjang dan terkadang disebutkan secara terpisah dengan kata-kata yang berbeda.[8]
Sebagian ahli tafsir juga menjelaskan makna ini ketika menafsirkan ayat ini.[9] dan sebagian lainnya, “Supaya Allah memberi ampunan terhadap dosa yang telah lalu” artinya kesalahan yang dilakukan oleh bapakmu Adam dan engkau berada dalam tulang sulbinya; adapun “dan yang akan datang” yaitu dosa-dosa umatmu; karena engkau adalah pemimpin dan hujjah mereka. [10]
Bagaimanapun agak rumit bagi kita menerima makna lahir ayat ini. Karena itu kita harus memaknai riwayat ini tidak berdasarkan makna lahir. Misalnya dapat dikatakan bahwa maksud Fathu Makkah atau Perjanjian Damai Hudaibiyah menjadi penyebab semakin kuatnya Islam dan buntutnya pada Hajjatul Wada Islam dijelaskan secara sempurna kepada masyarakat.
Hasilnya ruang untuk menggembleng dan membina kaum Mukminin sejati dan Syiah sejati Amirul Mukminin tersedia, mereka adalah orang-orang  yang layak menerima ampunan ketimbang orang lain dan lebih cepat menerima ampunan.
 
Akan tetapi ungkapan Rasulullah Saw menerima limpahan dosa dan kemudian  merupakan ungkapan urf yang umum dipakai oleh masyarakat. Misalnya orang yang menjadi perantara dalam pemberian ampunan  orang-orang berkata kami memaafkannya demi Anda, orang yang menjadi perantara berkata, “Dosa mereka Anda masukkan ke dalam catatan saya.”
Dalam pada itu harus dicamkan bahwa setiap orang yang menganggap dirinya sebagai Syiah tidak akan menjadi personifikasi riwayat ini – dengan asumsi riwayat ini diterima. Menjadi Syiah memerlukan syarat-syarat tertentu dan terkadang berat di antaranya menjalankan ibadah dan beriman dan tentu saja hal ini sangat jauh berbeda dengan konsep penebusan dosa (redemption) yang mentradisi dalam agama Kristen yang tentunya bukan tempatnya di sini untuk membahas hal itu. 
 

[1]. Abu al-Qasim Furat Kufi, Tafsir Furât al-Kufi, Riset oleh Muhammad Kazhim Mahmudi, hal. 419, Intisyarat Wizarat Irsyad Islami, Tehran, Cetakan Pertama, 1410 H.  
[2]. Silahkan lihat indeks berikut untuk telaah lebih jauh:
 1857; Kemaksuman Rasulullah Saw dan Tark Aula
7880; Tark Aula dari Maksum
[3]. Syaikh Shaduq, ‘Uyun Akhbâr al-Ridhâ As, Riset dan Edit oleh Mahdi Lajuardi, jil. 1, hal. 202, Nasyr Jahan, Tehran, Cetakan Pertama, 1378 S.  
[4]. Nasir Makarim Syirazi,  Tafsir Nemuneh, jil. 22, hal. 20-22, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Pertama, 1374 S.
[5]. Ali bin Husain, Alam al-Huda, Tanzih al-Anbiyâ (Alaihim al-Salam), hal. 117, Dar al-Syarif al-Radhi, Qum, Cetakan Pertama, 1377 S. 
[6]. Ali bin Ibrahim Qummi, Tafsir Qummi, Riset oleh Sayid Thayyib Musawi Jazairi, jil. 2 , hal. 314, Dar al-Kitab, Qum, Cetakan Keempat, 1367 S.
[7]. Syaikh Shaduq, Ma’âni al-Akhbâr, Riset dan edit, Ali Akbar Ghaffari, al-Nash, hal. 352, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Pertama, 1403 H; Syaikh Shaduq, ‘Ilal al-Syara’i, jil. 2, hal. 175, Kitabpurusyi Dawari, Qum, Cetakan Pertama, 1385 S.  
[8]. Muhammad bin Muhammad Ridha Qumi Masyhadi, Tafsir Kanz al-Daqâiq wa Bahr al-Gharâib, Riset oleh Husain Dargahi, jil. 12, hal. 269, Intisyarat Wizarat Irsyad Islami, Tehran, Cetakan Pertama, 1368 S; Ali Astarabadi, Ta’wil al-Âyât al-Zhâhirah fi Fadhâil al-‘Itrah al-Thâhirah, Riset dan edit oleh Husain Ustad  Ali, hal. 575, Muassasah al-Nasyr Islami, Qum, Cetakan Pertama, 1409 H.  
[9]. Silahkan lihat, Muhammad Muhsin Faidh Kasyani, al-Wâfi, Riset dan edit oleh Dhiya al-Din Husaini Isfahani, jil. 13, hal. 826, Kitabkhane Imam Amir al-Mukminin Ali As, Isfahan, Cetakan Pertama, 1406 H; Muhammad bin Makki, Syahid Awwal, al-Arba’un Haditsan, hal. 73, Madrasah Imam Mahdi Ajf, Qum, Cetakan Pertama, 1407 H; Rajab bin Muhammad Hafizh Bursi, Masyâriq Anwâr al-Yaqin fi Asrâr Amir al-Mu’minin As, Riset dan edit oleh Ali Asyur, hal. 193, ‘Alami, Beirut, Cetakan Pertama, 1422 H.
[10]. Abu Muhammad Sahl bin Abdullah Tustari, Tafsir al-Tustari, Riset oleh Muhammad Basil ‘Uyun al-Saud, hal. 147, Mansyurat Muhammad Ali Baidhun, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, 1423 H.  
«إِنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ حَمَلَ مُحَمَّداً ذُنُوبَ شِیعَةِ عَلِیٍّ ثُمَّ غَفَرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْهَا وَ مَا تَأَخَّر»
© 2024 Tanya Islam. All Rights Reserved.