Bagaimana penafsiran irfani ayat 12 surah al-Fusshilat itu?

Pada ayat yang menjadi obyek pertanyaan kita membaca,
«فَقَضاهُنَّ سَبْعَ سَماواتٍ فی‏ یَوْمَیْنِ وَ أَوْحى‏ فی‏ کُلِّ سَماءٍ أَمْرَها
وَ زَیَّنَّا السَّماءَ الدُّنْیا بِمَصابیحَ وَ حِفْظاً ذلِکَ تَقْدیرُ الْعَزیزِ الْعَلیم»
 
 “Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan (batu-batu meteor dari kejahatan setan). Demikianlah ketentuan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”
Di samping makna lahir ayat yang tentu saja tetap patut mendapat perhatian, juga terdapat penafsiran batin atau irfani atas ayat di atas:
  1. Faqadhâhunna sab’a samâwât (Maka Dia menjadikannya tujuh langit): Yang dimaksud dengan tujuh langit adalah tingkatan langit manusia atau lathaif tujuh jenis hati manusia.[1] Terkait dengan hati tujuh lapisan sedemikian diyakini sehingga tingkatan ketujuhnya, hubb al-qalb yaitu batin qalbu yang merupakan lokus tajalli, penyingkapan dan tempat rahasia-rahasia dan turunnya cahaya-cahaya spiritual.[2] Namun sebagian ahli tafsir menafsirkan bahwa tujuh langit itu sebagai batin tujuh jenis dan batin tujuh jenis itu adalah fakultas batin, nafs, qalb, sir, ruh, khafa dan haq.” Mereka berkata bahwa ketujuh jenis batin ini adalah identitas setiap orang.[3]
  2. Fi yaumain (dalam dua masa): Terdapat beberapa makna irfani yang telah dijelaskan terkait dengan redaksi ayat ini:
  1. Hari pembentukan, pengadaan dan penjadian atau hari pengaturan-pengaturan (mudabirrat)  dan hari mujarradat.[4]
  2. Yaumain artinya adalah hari terpancarnya cahaya primordial Ilahi atas langit-langit dan hari terbitnya matahari atas langit-langit tersebut.[5]
  3. Dengan memperhatikan penafsiran tujuh langit sebagai tujuh tingkatan batin manusia maka yang dimaksud dengan dua hari ini adalah dua bulan terakhir masa kehamilan.[6]
 
  1. Wa awha fi kulli samain amrahâ (Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya): Mewahyukan bermakna memberikan emanasi ilmu baik dengan perantara atau tanpa perantara malaikat. Namun karena berkaitan dengan hal-hal non material, ilmu adalah identik dengan zat, maka arti dari emanasi ini adalah penciptaan non materi tersebut dengan sifat ilmu.[7] Hal-hal yang diwahyukan ini adalah khazanah-khazanah rahasia dan lathâif cahaya-cahaya Ilahi serta hakikat-hakikat takdirnya yang tidak diketahui semua orang dan hanya orang-orang seperti malaikat, para nabi dan wali Ilahi mengetahui sebagian darinya.[8] Demikian juga disebutkan bahwa urusan-urusan yang telah diwahyukan ke pelbagai tingkatan langit batin manusia adalah amalan-amalan (a’mâl), pemahaman-pemahaman (idrâkât), penyingkapan-penyingkapan (mukasyafât), penyaksian-penyaksian (musyahâdat), hubungan-hubungan lekat (muwâshalât), cengkerama-cengkerama penuh kemesraan (munaghiyât) dan manifestasi-manifestasi (tajalliyât).[9]
  2. Wa zayyannâ al-samâ al-dunyâ bimashâbih wa hifzhan (Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan (batu-batu meteor dari kejahatan setan).
Terkait dengan redaksi ayat mulia ini juga terdapat penafsiran irfani yang telah dijelaskan sebagaimana berikut:
Pertama: Sebagaimana Allah Swt menghiasi bumi dengan para nabi dan wali, Allah Swt juga menghiasi langit-langit dengan bintang-bintang cemerlang. Demikian juga hati para arif dengan cahaya surya tajalli sifat Ilahi dan dengan bintang-bintang rahasia-rahasia malakut dan jabarut.[10]
Kedua:  Dalam menjelaskan ayat ini terdapat sebuah penafsiran yang disandarkan kepada Imam Shadiq As, “Panca indra dan anggota batin orang-orang beriman kami indahkan dengan pelayanan mereka terhadap sesama.”[11]
Ketiga: Ibnu Atha dalam menjelaskan ayat ini berkata, “Hati orang-orang beriman kami hiasi dengan cahaya makrifat dan menjadikannya sebagai pelita hidayah dan cahaya tauhid (bagi semesta).[12]
Keempat: Allah Swt menghiasi hati-hati dengan cahaya-cahaya dimana cahaya-cahaya itu adalah: cahaya akal, cahaya pemahaman, cahaya ilmu, cahaya yakin,cahaya makrifat dan cahaya tauhid.[13]
Kelima: Langit dunia ini dipandang sebagai akal yang merupakan bagian batin terdekat dengan hati manusia yang terjaga dengan perantara cahaya-cahaya argumentasi dan demonstrasi dari setan-setan fantasi dan ilusi.[14]
 
  1. “Dzalika taqdir al-‘aziz al-‘alim (Demikianlah ketentuan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui): Dia adalah Tuhan yang Mahaperkasa yang tiada seorang pun dapat menaklukkannya dan menjadi penghalang pelbagai pengaturan-Nya. Demikian juga Dia adalah Tuhan yang Mahamengetahui dan tiada sesuatu apa pun yang tidak diketahuinya khususnya hal-hal yang berkaitan dengan pelbagai kemaslahatan kerajaan-Nya.[15] 
 

[1]. Sultan Muhammad Gunabadi, Tafsir Bayân al-Sa’âdah fi Maqâmât al-‘Ibâdah, jil. 4, hal. 33, Muassasah al-A’lami Mathbu’at, Beirut, Cetakan Kedua, 1408 H.  
[2]. Ismai Haqqi Buruswi, Tafsir Ruh al-Bayân, jil. 8, hal. 238, Dar al-Fikr, Beirut, Cetakan Beirut, Tanpa Tahun.  
[3]. Ibnu ‘Arabi, Tafsir Ibnu ‘ArabiTa’wilât Abdurrazzaq, Riset Samir Mustafa Rubab, jil. 2, hal. 220, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Pertama, 1422 H.  
[4]Tafsir Bayân al-Sa’âdah fi Maqâmât al-‘Ibâdah, jil.4, hal. 33.  
[5].  Ruzbihan Baqli Syirazi, Tafsir ‘Arâis al-Bayân fi Haqâiq al-Qur’ân, Riset oleh Ahmad Farid al-Mazidi, jil. 3, hal. 245, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, Cetakan Pertama, 2008 M.
[6].  Tafsir Ibnu ‘Arabi, jil. 2, hal. 221.  
[7]Tafsir Bayân al-Sa’âdah fi Maqâmât al-‘Ibâdah, jil. 4, hal. 33.  
[8]Tafsir ‘Arâis al-Bayân fi Haqâiq al-Qur’ân, jil. 3, hal. 245.   
[9]. Tafsir Ibnu ‘Arabi, jil. 2, hal. 221.  
[10]Tafsir ‘Arâis al-Bayân fi Haqâiq al-Qur’ân, jil. 3, hal. 245.  
[11]. Tafsir yang disandarkan kepada Imam Ja’far Shadiq, Tafsir Imam Ja’f’ar al-Shadiq As,  jil. 1, hal. 53, Markaz Nasyr Danesygahi, Teheran, Cetakan Pertama, 1369 S.
[12]. Ibid, hal. 177.  
[13]. Abu al-Qasim  Abdul Karim Qusyairi, Lathâif al-Isyârat, Riset oleh Ibrahim Busaini, jil. 2, hal. 611, al-Haiat al-Mishriyyah al-Ammah lil Kitab, Mesir, Cetakan Ketiga, 1981 M.  
[14]Tafsir Ibnu ‘Arabi, jil. 2, hal. 220-221.  
[15]. Sayid Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil.7, hal. 288, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Kelima, 1417 H.
© 2024 Tanya Islam. All Rights Reserved.