Pertama-tama kami akan menjelaskan beberapa masalah yang dapat membantu menjawab pertanyaan di atas:
Pertama, kebanyakan ayat-ayat Al-Quran diturunkan untuk dipahami oleh semua orang; oleh karena itu, apa yang difahami oleh semua orang tentang ayat-ayat Al-Quran sedapat mungkin adalah hujjah bagi mereka. Atas dasar inilah para ahli ilmu Ushul meyakini bahwa dhahir (apa yang nampak) dari ayat-ayat Qur’an adalah hujjah.[1]
Kedua, ada juga ayat-ayat khusus dalam Al-Quran yang hanya dapat dipahami oleh nabi dan orang-orang yang betul-betul berilmu, yang mana orang awam tidak dapat memahami ayat-ayat itu tanpa bantuan mereka.
Ketiga, dalam Al-Quran, banyak ayat-ayat umum (‘âm) dan khusus (khâsh), mutlak (mutlaq) dan tak mutlak (muqayyad), menghapus (nâsikh) dan dihapus (mansukh), sedemikian sehingga untuk melakukan penafsiran yang benar seorang mufasir harus menguasai seluruh ayat-ayat itu.
Keempat, sebagian ilmu meskipun tidak berkaitan langsung dengan ilmu Tafsir, namun sangat diperlukan karena merupakan syarat dalam memahami Qur’an; yang mana tanpa ilmu-ilmu tersebut kita tidak mungkin dapat memahami Al-Quran dengan benar. Ilmu-ilmu itu misalnya seperti: ilmu Nahwu, Sharaf, Ma’ani dan Bayan, Bahasa Arab, dan seterusnya… Maka seorang mufasir harus menguasai ilmu-ilmu tersebut.
Dengan dijelaskannya poin-poin di atas, tiba saatnya menjawab pertanyaan anda.
Tafsir dengan pendapat pribadi dan tidak perlunya berfikir
Dilarangnya penafsiran Al-Quran dengan pendapat pribadi bukan berarti kita tidak boleh berfikir dalam memahami ayat-ayat Allah Swt. Karena justru tidak berfikir dan bertadabur dalam memahami Al-Quran adalah tercela. Allah Swt befirman: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (Qs. Muhammad [47]:82)
Ia juga memuji orang-orang yang dapat memahami hal-hal baru dari dalam Al-Quran. Allah Swt berfirman: “…tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” (Qs. An-Nisa’ [4]:83)
Allah Swt juga berfirman: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Qs. An-Nisa’ [4]:82)
Dalam ayat tersebut, Allah Swt menjelaskan bahwa sebab ketersesatan orang-orang musyrik adalah dikarenakan mereka tidak mau berfikir dan bertadabur terhadap ayat-ayat Al-Quran.
Dalam haji Wada’, di Ghadir Khum, Rasulullah Saw bersabda: “Wahai umatku, telitilah dan berfikirlah dalam membaca Al-Quran. Pahamilah ayat-ayat-Nya. Pandanglah ayat-ayat Qur’an yang jelas (muhkamat) dan jangan kalian mencari yang tak jelas (mutasyabihat).[2]
Jadi ayat dan riwayat mendorong umat manusia untuk berfikir dan memahami ayat-ayat Al-Quran dengan pemahaman yang sebenarnya.
Adapun tafsir dengan pendapat pribadi (tafsir bi ra’y), yang mana sangat dicela oleh pemimpin-pemimpin agama kita, adalah penafsiran Al-Quran tanpa memperhatikan hadits-hadits dan metode penafsiran yang benar terkait dengan ayat-ayat Al-Quran. Serta penafsiran suatu ayat tanpa memperhatikan ayat-ayat lain yang berhubungan dengannya. Penafsiran seperti ini hanya bersandar pada dugaan, sangkaan dan pendapat pribadi yang tak berdasar dan berdalil, dengan tujuan menisbatkan pemikirannya kepada Al-Quran serta membuktikan bahwa Al-Quran sejalan dengan pemikiran pribadinya.
Tafsir seperti ini jelas tidak diterima; dan diriwayatkan bahwa orang yang melakukan penafsiran seperti ini bakal mendapatkan tempat di neraka.[3]
Berdasarkan penjelasan ini, orang yang menafsirkan Al-Quran sesuka hatinya tanpa memperhatikan kaidah-kaidah penafsiran serta tanpa menguasai ilmu-ilmu yang perlu dalam tafsir seperti ilmu Ushul, Bahasa Arab, Nahwu, Hadits, dan lain sebagainya, adalah orang yang telah terpisah jauh dari Tuhan dan Rasulullah Saw bersabda bahwa orang seperti itu bakal menempati neraka sebagai tempat tinggalnya.[4]
Sedangkan tafsir secara intelektual yang bertumpu pada kaidah-kaidah yang benar, bukanlah tafsir dengan pendapat pribadi.
Salah satu prinsip penting dalam menafsirkan Al-Quran adalah memperhatikan baik-baik riwayat yang sampai ke tangan kita dari para maksumin. Karena Allah swt telah mensyaratkan kesucian untuk menyentuh Al-Quran.[5] Maksudnya, untuk memahami Al-Quran, dibutuhkan kesucian; dan kesucian itu tak hanya kesucian lahir namun juga batin. Sebagaimana disyaratkan bersuci untuk menyentuh Al-Quran, juga disyaratkan kesucian jiwa dan batin untuk memahami kandungannya. Karena para maksumin memiliki jiwa yang suci,[6] maka mereka adalah orang-orang yang paling berhak menafsirkan Al-Quran dan penafsiran mereka adalah tafsiran terbaik.
Selain para imam maksum dan nabi, juga ada orang-orang yang dapat menafsirkan Al-Quran dengan baik dan benar; namun mereka harus:
Pertama, menguasai ilmu-ilmu tafsir dan segala ilmu yang berkaitan dengannya atau harus difahami untuk memahami tafsir; kedua, tidak bertentangan dengan riwayat-riwayat dan hadits-hadits dari para maksum yang berkenaan dengan penafsiran ayat; dan ketiga, tidak menafsirkan ayat-ayat Al-Quran berdasarkan kecenderungan-kecenderungan dan pendapat pribadi yang telah dimiliki sebelumnya.
[1]. Silahkan merujuk ke pertanyaan berikut: Pertanyaan No. 5144 (Site: 5370).
[2]. Thabrasi, Ahmad bin Ali, Al-Ihtijâj, jil. 1, hal. 60, Morteza, Mashhad, 1403 H.
[3]. Syaikh Shaduq, Tauhid, hal. 91, Jamiah Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum, 1357 H.S.
[4]. “Barang siapa menafsirkan Qur’an dengan pendapat pribadinya, maka tempatnya ada di neraka.” Fakhruddin Razi, Mafâtih al-Ghaib, jil. 7, hal. 148, Dar Ihya’ Turats Arabi, Beirut, Cetakan Ketiga 1420 H.
[5]. “…tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (Qs. Al-Waqi’ah [56]:79)
[6]. “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (Qs. Al-Ahzab [33]:33)